TOKO 0SCAR CLASSER

Jumat, 15 Januari 2016

Ontologi Ilmu Filsafat



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia, seperti batua-batuan, binatang, tumbuhan, atau manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris. Pengetahuan keilmuan mengenai obyek-obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks, dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu tidak bermaksud “memotret” atau “memproduksikan” suatu kejadian tertentu dan mengabstraksikan dalam bahasa keilmuan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris. Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas yang ada yang memiliki sifat universal.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dapat kami uraikan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah struktur pengetahuan ilmiah?
2.      Bagamanakah asumsi-asumsi ilmu?
3.      Bagaimanakah batas-batas penjelajahan ilmu itu?
4.      Apa saja karakteristik filsafat ilmu?
5.      Apa saja yang termasuk konsep ontologi itu?

C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut di atas, maka dapat diketahui tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui struktur pengetahuan ilmiah
2.      Untuk mengetahui sumsi-asumsi ilmu
3.      Untuk mengetahui batas-batas penjelajahan ilmu
4.      Untuk mengetahui karakteristik filsafat ilmu
5.      Untuk mengetahui konsep ontologi







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Struktur Pengetahuan Ilmiah
Ontologi yang dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Ada beberapa pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi”. Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari yang ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam dirinya sendiri?” Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti : ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada. Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya. Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan, apa arti. Ada dan berada dan juga menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ada. Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang filsafat a) menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek penerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran “ dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas. Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada”.
Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hal yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’. Oleh sebab itu, orang bisa menggunakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.
Beberapa ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering menggunakan istilah “metafisika universal” dan ”filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi. Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi “ yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.
Ontologi merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya, pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang ‘ontologi’ selalu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’ ini muncul. Pertanyaannya selalu berangkat dari situasi kongkrit. Dengan demikian ontologi menanyakan sesuatu yang tidakserba tidak terkenal. Andaikata memang sesuatu tidak terkenal maka mustahil pernah akan dapat ditanyakan. Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak di antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkrit dan prapengertian ‘mengada’ yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub ini saling menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga, prapemahaman tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh.

B.     Asumsi-asumsi Ilmu
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1.      Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.      Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik. Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Ontologi menurut Anton Bakker (1992) merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala sesuatu yang mengada segenapnya. Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
a)      Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
b)      Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu? seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
C.    Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada sebuah pertanyaan dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara eksplisit menjadi : apakaj yang menjadi bidang telaah ilmu? Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada bkejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Secara lebih terperinsi ilmu mempunyai tiga asumsi yang dasar. Asumsi pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi kedua, ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu . Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi ketiga, ilmu menganggap bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Dalam penegartian ini ilmu mempunyai sifat deterministik. Namunpun demikian dalam determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).

D.    Karakteristik Filsafat Ilmu
Ilmu sebagai salah satu bidang dalam filsafat, di abad modern ini memang mendapat tempat dan porsi terbesar, Perkembangan ilmu saat ini banyak mendorong terjadinya perubahan-perubahan peradaban, Abad modern memang sangat didorong oleh kemunculan rasionalitas ilmu sebagai dasar dominan rasionalitas modern. Ilmu sebagai sebuah konsep memang mengandung pengertian yang cukup komplek. Ilmu dalam bahasa inggris ‘science’, dari bahasa Latin ‘scientia’ (pengetahuan). Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah ‘ episteme’. Pada prinsipnya ‘ilmu’ merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi ‘filsafat ilmu alam’ dan filsafat ilmu sosial’.
Karakteristik ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya mempunyai bahasa-bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain. Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu menekankan unsur “bebas nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri. Ada banyak model dan cara kerja ilmu yagn berkembang sesuai dengan perkembangan filsafat manusia. Jika kita lihat di sana akan ditemukan pengertian-pengertian Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Rasionalitas Kritis, Konstruktivisme. Masing-masing mempunyai metodologi yang khas tetapi masih dalam kesatuan ciri khas kerja sebuah ilmu.
Filsafat ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan menggali sebab-musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan, di antaranya paham tentang kepastian, kebenaran dan objektivitas. Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan pada prinsipnya adalah sebuah penelitian tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu tersebut terjadi dan berkembang. Batas-batas Kerja Ilmu Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan ilmu maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia, maka ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan neraka. Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat pembantu untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas pengalamannya.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia. Metode yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empiris. Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak cabang ilmu yang diakibatkan karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan” dan “modernisme” sebagai anak kandung dari cara kerja berpikir keilmuan.
Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar tentang keberadaan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling ideal. Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah:
·         Atas dasar apakah ”sesuatu” itu dikatakan sebagai ”ada”?
·         Jika ”sesuatu” itu dikatakan ”ada”, bagaimana cara mengelompokkannya?
Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau kategori. Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan, kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan IT.
Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan dalam ontologi.
Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau kategori. Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan, kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan IT.
Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan dalam. ontologi:
·         Apa yang dimaksud dengan ”ada”?
·         Apakah ”ada” memiliki sesuatu atau properti?
·         Jika ”sesuatu” tersusun atas entitas, maka entitas manakah yang fundamental?
·         Bagaimana properti dari sebuah obyek dapat berhubungan dengan obyek tersebut?
·         Apa ciri yang paling penting dari sebuah obyek?
·         Jika ”ada” memiliki tingkatan (level), berapa jumlah level yang dimiliki oleh sebuah ”ada”?
·         Apa yang dimaksud dengan obyek fisik?
·         Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik itu dikatakan sebagai ”ada”?
·         Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik memiliki entitas atau unsur non-fisik?


E.     Konsep Ontologi
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu:
1.      Umum (universal) dan Tertentu (particular)
Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu, misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau disederhanakan melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau ”menjadi hijau”.
Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu. Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular), seseorang tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa menambahkan sesuatu yang baru pada tiruannya.
2.      Substansi (substance) dan Ikutan (accident)
Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek, atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi.
Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, ”ikutan” adalah kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur, ukuran, bentuk dsb.
3.      Abstrak dan Kongkrit
Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis (permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit).
Kongkrit adalah obyek yang ”ada” pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia.



4.      Esensi dan Eksistensi
Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek, jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas.
Eksistensi (existere: tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera.
5.      Determinisme dan Indeterminisme
Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya.
Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap determinisme. Para penganut indeterinisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor kesempatan (chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan (necessity) dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan sesuai asalnya.











BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Berdasarkan beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil simpulan sebagai betikut :
1.      Struktur pengetahuan ilmiah
Ontologi merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya, pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang ‘ontologi’ selalu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’ ini muncul. Pertanyaannya selalu berangkat dari situasi kongkrit. Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak di antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkrit dan prapengertian ‘mengada’ yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub ini saling menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga, prapemahaman tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh.
2.      Asumsi-asumsi ilmu
Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
a.      Objek formal
b.      Metode dalam ontologi


3.      Batas-batas penjelajahan ilmu
Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada sebuah pertanyaan dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara eksplisit menjadi : apakah yang menjadi bidang telaah ilmu? Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia.
4.      Karakteristik filsafat ilmu
Karakteristik ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya mempunyai bahasa-bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain. Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu menekankan unsur “bebas nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri.
5.      Konsep ontologi
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu:
a.      Umum (universal) dan Tertentu (particular)
b.      Substansi (substance) dan Ikutan (accident)
c.       Abstrak dan Kongkrit
d.      Esensi dan Eksistensi
e.       Determinisme dan Indeterminisme
B.     Saran
Meskipun penulis telah berusaha untuk menyelesaikan makalah dengan tepat waktu, namun penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, penulis megharapkan kritik dan saran dari pihak-pihak terkait, guna perbaikan pada tulisan yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar