BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat
ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan
ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana
(yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi
idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai
nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat
bahkan keyakinan kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada
sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia, seperti batua-batuan, binatang, tumbuhan, atau manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris. Pengetahuan keilmuan mengenai obyek-obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks, dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu tidak bermaksud “memotret” atau “memproduksikan” suatu kejadian tertentu dan mengabstraksikan dalam bahasa keilmuan.
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia, seperti batua-batuan, binatang, tumbuhan, atau manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris. Pengetahuan keilmuan mengenai obyek-obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks, dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu tidak bermaksud “memotret” atau “memproduksikan” suatu kejadian tertentu dan mengabstraksikan dalam bahasa keilmuan.
Ontologi merupakan salah satu kajian
kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan
yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh
tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris. Ontologi merupakan
salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan
teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik
(al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontologi
merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat
tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas yang ada yang memiliki sifat
universal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dapat kami uraikan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
struktur pengetahuan ilmiah?
2.
Bagamanakah asumsi-asumsi ilmu?
3.
Bagaimanakah batas-batas
penjelajahan ilmu itu?
4.
Apa saja karakteristik filsafat ilmu?
5.
Apa saja yang termasuk konsep ontologi
itu?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut di
atas, maka dapat diketahui tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk
mengetahui struktur pengetahuan ilmiah
2.
Untuk mengetahui sumsi-asumsi ilmu
3.
Untuk mengetahui batas-batas
penjelajahan ilmu
4.
Untuk mengetahui karakteristik
filsafat ilmu
5.
Untuk mengetahui konsep ontologi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Struktur
Pengetahuan Ilmiah
Ontologi
yang dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos (ada,
keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Ada beberapa pengertian dasar
mengenai apa itu “ontologi”. Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri
“esensial” dari yang ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang
hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya
yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada
dalam dirinya sendiri?” Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah
cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas
mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti : ada/menjadi,
aktualitas/potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada.
Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba melukiskan
hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal tergantung padanya
bagi eksistensinya. Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang
filsafat yang melontarkan pertanyaan, apa arti. Ada dan berada dan juga
menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan
ada. Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang filsafat a)
menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek penerapan atau
persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah bilangan itu nyata?”
“apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis realitas yang dimiliki
hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi?
Pikiran “ dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut
realitas. Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa
ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada”.
Istilah
ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan
filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hal yang sama.
Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’.
Oleh sebab itu, orang bisa menggunakan ontologi dengan filsafat pertama
Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun pada kenyataannya,
ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika, yakni teori mengenai yang
ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki
dan secara langsung termasuk ada tersebut.
Beberapa
ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama
lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka ada
beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada
sebagai bagian cabang filsafat yang sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi
sebagai studi tentang predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari
semua hal pada umumnya. Ia sering menggunakan istilah “metafisika universal”
dan ”filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi. Heidegger memahami ontologi
sebagai analisis konstitusi “ yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan
keterbatasan eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.
Ontologi
merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling menyeluruh.
Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih
bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala
yang merangkum semua cakrawala lainnya, pendirian yang meliputi segala
pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang ‘ontologi’ selalu mengajukan
pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’ ini muncul. Pertanyaannya selalu
berangkat dari situasi kongkrit. Dengan demikian ontologi menanyakan sesuatu
yang tidakserba tidak terkenal. Andaikata memang sesuatu tidak terkenal maka
mustahil pernah akan dapat ditanyakan. Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak
di antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkrit dan
prapengertian ‘mengada’ yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub
ini saling menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari
dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga, prapemahaman
tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit dan
membuatnya terpahami sungguh-sungguh.
B. Asumsi-asumsi
Ilmu
Objek
telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi
banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek
Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat
seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas
atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi
aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Hanya
dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode
dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga
tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk,
dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu
objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri
semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum
yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi
adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh
Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan
pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term
tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Sedangkan pembuktian a posteriori
secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah
menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik. Bandingkan tata
silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi
akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Ontologi menurut Anton Bakker (1992)
merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan paling menyeluruh.
Penyelidikannya meliputi gejala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih
bersifat bagian. Ontologi berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala
sesuatu yang mengada segenapnya. Ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam
jangkauan pengalaman manusia. Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau
nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan
tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan
martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
Hakekat kenyataan atau realitas
memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
a) Kuantitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
b) Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu? seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga
mawar yang berbau harum.
Secara
sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau
kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni
realisme, naturalisme, empirisme.
C. Batas-batas
Penjelajahan Ilmu
Dasar
ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada sebuah pertanyaan dasar yaitu :
apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara eksplisit
menjadi : apakaj yang menjadi bidang telaah ilmu? Berbeda dengan agama atau
bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada
bkejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian ilmu ada dalam
jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan
yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu
mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan
, hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat
disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di
luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan
tersebut.
Untuk
mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai objek-objek
empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima
asumsi yang dikemukakannya. Secara lebih terperinsi ilmu mempunyai tiga asumsi
yang dasar. Asumsi pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai
keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan
sebagainya. Asumsi kedua, ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu . Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari
tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi ketiga, ilmu
menganggap bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat
kebetulan. Tiap gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu yang
bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Dalam penegartian ini ilmu
mempunyai sifat deterministik. Namunpun demikian dalam determinisme dalam
pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).
D. Karakteristik
Filsafat Ilmu
Ilmu
sebagai salah satu bidang dalam filsafat, di abad modern ini memang mendapat
tempat dan porsi terbesar, Perkembangan ilmu saat ini banyak mendorong
terjadinya perubahan-perubahan peradaban, Abad modern memang sangat didorong
oleh kemunculan rasionalitas ilmu sebagai dasar dominan rasionalitas modern.
Ilmu sebagai sebuah konsep memang mengandung pengertian yang cukup komplek.
Ilmu dalam bahasa inggris ‘science’, dari bahasa Latin ‘scientia’
(pengetahuan). Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah ‘
episteme’. Pada prinsipnya ‘ilmu’ merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara
ilmu sosial dan ilmu alam, karena permasalahan-permasalahan teknis yang
bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi ‘filsafat ilmu alam’
dan filsafat ilmu sosial’.
Karakteristik
ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah
metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana
tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu
yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya
mempunyai bahasa-bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain.
Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu
menekankan unsur “bebas nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa
ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri. Ada banyak model
dan cara kerja ilmu yagn berkembang sesuai dengan perkembangan filsafat
manusia. Jika kita lihat di sana akan ditemukan pengertian-pengertian
Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Rasionalitas Kritis, Konstruktivisme. Masing-masing
mempunyai metodologi yang khas tetapi masih dalam kesatuan ciri khas kerja
sebuah ilmu.
Filsafat
ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan menggali sebab-musabab pertama dari
gejala ilmu pengetahuan, di antaranya paham tentang kepastian, kebenaran dan
objektivitas. Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan pada prinsipnya adalah
sebuah penelitian tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu tersebut terjadi dan
berkembang. Batas-batas Kerja Ilmu Jika kita mempertanyakan apa batas kerja
ilmu atau batas penjelajahan ilmu maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan dan berhenti di batas pengalaman
manusia. Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia,
maka ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan
neraka. Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat
pembantu untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas pengalamannya.
Ilmu
membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia. Metode yang
dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empiris.
Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak cabang ilmu yang diakibatkan
karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah berhenti. Dari
sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan” dan “modernisme” sebagai anak kandung
dari cara kerja berpikir keilmuan.
Ahli
ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar tentang keberadaan sesuatu
dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling ideal. Pertanyaan-pertanyaan
utama dalam ontologi adalah:
·
Atas dasar apakah ”sesuatu” itu
dikatakan sebagai ”ada”?
·
Jika ”sesuatu” itu dikatakan ”ada”,
bagaimana cara mengelompokkannya?
Kedua
pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi
entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau kategori.
Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga
beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan,
kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi
dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan IT.
Pengembangan
dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah mendorong ahli filsafat untuk
berpikir lebih keras dan memacu perkembangan ontologi dan aplikasinya dalam
berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan dalam ontologi.
Kedua
pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi
entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau kategori.
Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga
beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan,
kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi
dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan IT.
Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan dalam. ontologi:
Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan dalam. ontologi:
·
Apa yang dimaksud dengan ”ada”?
·
Apakah ”ada” memiliki sesuatu atau
properti?
·
Jika ”sesuatu” tersusun atas
entitas, maka entitas manakah yang fundamental?
·
Bagaimana properti dari sebuah obyek
dapat berhubungan dengan obyek tersebut?
·
Apa ciri yang paling penting dari
sebuah obyek?
·
Jika ”ada” memiliki tingkatan
(level), berapa jumlah level yang dimiliki oleh sebuah ”ada”?
·
Apa yang dimaksud dengan obyek
fisik?
·
Apakah bukti yang dapat menyatakan
bahwa suatu obyek fisik itu dikatakan sebagai ”ada”?
·
Apakah bukti yang dapat menyatakan
bahwa suatu obyek fisik memiliki entitas atau unsur non-fisik?
E. Konsep
Ontologi
Konsep-konsep
yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu:
1.
Umum (universal) dan Tertentu
(particular)
Umum
(universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu, misalnya:
karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau disederhanakan melalui
cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing
berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau
”menjadi hijau”.
Tertentu
(particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu.
Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular), seseorang
tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa menambahkan sesuatu
yang baru pada tiruannya.
2.
Substansi (substance) dan Ikutan
(accident)
Substansi adalah petunjuk yang dapat
menggambarkan sebuah obyek, atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah
obyek. Jika tanpa properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi.
Ikutan
(accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak mungkin
dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, ”ikutan” adalah kualitas yang
dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur, ukuran, bentuk
dsb.
3.
Abstrak dan Kongkrit
Abstrak adalah obyek yang ”tidak
ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu yang tertentu,
contohnya: ide, permainan tenis (permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis
adalah kongkrit).
Kongkrit adalah obyek yang ”ada”
pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya:
awan, badan manusia.
4.
Esensi dan Eksistensi
Esensi adalah adalah atribut atau
beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut
merupakan penguat dari obyek, jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan
identitas.
Eksistensi (existere: tampak,
muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat
dirasakan oleh indera.
5.
Determinisme dan Indeterminisme
Determinisme adalah pandangan bahwa
setiap kejadian (termasuk perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan)
adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian
sebelumnya.
Indeterminisme merupakan perlawanan
terhadap determinisme. Para penganut indeterinisme mengatakan bahwa tidak semua
kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor
kesempatan (chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan
faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan
(necessity) dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan sesuai
asalnya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diambil simpulan sebagai betikut :
1. Struktur pengetahuan ilmiah
Ontologi
merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling menyeluruh.
Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih
bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala
yang merangkum semua cakrawala lainnya, pendirian yang meliputi segala
pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang ‘ontologi’ selalu mengajukan
pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’ ini muncul. Pertanyaannya selalu
berangkat dari situasi kongkrit. Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak di
antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkrit dan
prapengertian ‘mengada’ yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub
ini saling menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari
dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga, prapemahaman
tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit dan
membuatnya terpahami sungguh-sungguh.
2. Asumsi-asumsi ilmu
Istilah
ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat
ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
a. Objek formal
b. Metode dalam ontologi
3. Batas-batas penjelajahan ilmu
Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin
berbicara pada sebuah pertanyaan dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu
? Atau bisa dirumuskan secara eksplisit menjadi : apakah yang menjadi bidang
telaah ilmu? Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu
membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana
objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia.
4. Karakteristik filsafat ilmu
Karakteristik
ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah
metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana
tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu
yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya
mempunyai bahasa-bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain.
Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu
menekankan unsur “bebas nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa
ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri.
5. Konsep ontologi
Konsep-konsep yang berkembang dalam
ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu:
a.
Umum (universal) dan Tertentu
(particular)
b.
Substansi (substance) dan Ikutan
(accident)
c.
Abstrak dan Kongkrit
d.
Esensi dan Eksistensi
B. Saran
Meskipun
penulis telah berusaha untuk menyelesaikan makalah dengan tepat waktu, namun
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu, penulis megharapkan kritik dan saran dari pihak-pihak terkait,
guna perbaikan pada tulisan yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar