TOKO 0SCAR CLASSER

Rabu, 29 Oktober 2014

HUKUM SYARA DAN UNSUR – UNSURNYA

BAB 1
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang

Pembahasan terhadap hukum syara’ dan unsur-unsurnya menjadi sebuah tuntutan yang harus dilakukan oleh seseorang yang hendak mengkaji ushul Fiqh dan menerapkannya dalam menetapkan hukum bagi persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya. Pemahaman mengenai hukum, hakim, mahkum bih dan mahkum Fih, serta mahkum ‘alaih. Mudah-mudahan Anda dapat memahami secara menyeluruh apa yang diuraikan dalam bagian ini, sebab pemahaman tersebut akan menjadi dasar dalam memahami, memutuskan dan mengaplikasikan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan makalah ini disajikan mengenai: Pengertian Hukum, pembagian hukum dan perbedaan hukum wtaklifi dan hukum wadl’i,  tentang pengetian hakim dan kemampuan akal mengetahui syari’at, mengenai pengertian mahkum bih dan mahkum fih, syarat-syarat mahkum bih, dan macam-macam mahkum fih; Dalam kegiatan belajar 4 diuraikan mengenai pengertian mahkum ‘alaih, taklif, ahliyah, dan halangan-halangan ahliyah.


B. Rumusan Masalah

1.      Pengertian Hukum
2.      Sebutkan Apa Saja Pembagian Hukum?
3.      Apa Pengertian Hakim?
4.       Mahkum Bih Dan Mahkum Fih
5.      Apa  Pengertian Mahkum Alaih?









BAB 2
PEMBAHASAN



HUKUM
1.     Pengertian Hukum
Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum”, yang secara etimologi berarti “memutuskan”, “menetapkan”, dan “menyelesaikan”. Dalam arti yang sederhana, hukum adalah  seperangkat peraturan tentang tingkah laku  anusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluurh anggotanya (Amir Syarifuddin, 2008: 307). Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum adalah Kalam Allah yang menyangkut perbuatan oran dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sesuai sebab, syarat dan penghalang”. Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha’) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntuan itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud takhyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama. Sementara yang dimaksud wadh’i (mendudukkan sesuautu) adalah memposisikan sesuatu sebagai penghubunga hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang. Definisi hukum di atas merupakan definisi hukum sebagai kaidah, yakni patokan perilaku manusia (Racmat Syafe’i, 1999: 295-296).

2.     Pembagian Hukum

a.   Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan (Rachmat Syafe’i, 1999: 296). Hukum taklifi berbentuk tuntutan atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua, yaitu tuntutan untuk memperbuat dan tuntutan untuk mneinggalkan. Sedangkan dari segi bentuk tuntitan juga terbagi kepada dua, yaitu tuntutan secara pasti dan tuntutan tidak secara pasti. Adapun pilihan terletak antara memperbuat dan meninggalkan (Amir Syarifuddin, 2008: 310). Contoh firman Allah Q.S. al-Nur ayat 56 yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
Artinya, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu
diberi rahmat”.

Contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 188 yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
Artinya, “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan batil”.
Contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat a87 yang bersifat memilih (fakultatif).

Artinya, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar”.

Adapun bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam, yaitu:

1) Iftiradh, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil qath’i. Misalnya, tuntutan untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat. Ayat dan hadits yang mengandung tuntutan mendirikan shalat dan membayar zakat sifatnya adalah qath’i.
2) Ijab, yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi mellaui dalil yang bersifat dzanni (relative benar). Misalnya, kewajiban membayar zakat fitrah, membaca al-Fatihah dalam shalat, dan ibadah kurban. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, tuntutannya bersifat ijab dan wajib dilaksankaan, tetapi kewajibannya didasarkan atas tuntutan yang zhanni.
3) Nadb, maksudnya sama dengan yang dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
4) Ibahah, maksudnya sama dengan yang dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
5) Karahah tanzihiyyah, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya larangan berpuasa pada hari Jumat. Karahah tanzihiyyah di kalangan Hanafiyah sama pengertiannya dengan karahah di kalangan Jumhur ulama Ushul Fiqh.
6) Karahah Tahrimiyyah, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Apabila pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan itu dikerjakan, maka ia dikenakan hukuman. Hukum ini sama dengan haram yang dikemukakan Jumhur Ulama Ushul Fiqh.
7) Tahrim, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i. Misalnya, larangan membunuh orang seperti yang dikemukakan surat al-Isra ayat 23, dan berbuat zina, seperti yang dikemukakan surat al-Nur ayat 2 (Rachmat Syafe’i, 1999: 301-302).


b.      Hukum Wadl’i
Hukum wadh’i adalah Firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa hukum wadh’i itu ada 3 macam, yaitu sebab, syarat dan mani’ (penghalang).
1.    Sebab, menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan illat.
2.    Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara.
3.   Mani’ (penghalang), yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab
4.   Shihhah, yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani.
5.     Bathal, yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak  ada akibat hukum yang ditimbulkannya.
6.    ‘Azimah, yaitu hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.
7.    Rukhshah adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena udzur, mislanya kebolehan mengerjakan shalat zhuhur dua rakaat bagi para musafir, maka hukum itu disebut rukhshah..

3.      Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadl’i

Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadl’i, antara lain:
a. Dalam hukum al-taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadl’i, hal ini tidak ada, melainkan. mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara dapat dijadikan sebab, syarat, atau penghalang.
b. Hukum al-taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-Wad’I tidak diamksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum al-Wadl’I ditentukan agar hukum al-taklif dapat dilaksanakan;

c. Hukum al-taklifi harus sesuai dnegan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum al-taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqah).dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalamhukum al-wadl’i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqah dan haraj dalam hukum al-wadl’i adakalanya dapa dipikul mukallaf, seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan, dan adakalanya di luar kemampuan mukalaf, seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat zhuhur.
d. Hukum al-taklifi ditujukan kepada para mukallaf, sedangkan hukum al-wadl’I dutujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila (Racmat Syafe’i, 1999: 316 & Chaerul Uman, 1998: 250-251




HAKIM
(Pembuat Hukum)
1.     Pengertian Hakim
Secara etimologi, hakim memiliki dua arti, yaitu:
Pertama:
  “Pembuat hukum yang menetapkan dan memunculkan sumber hukum”.

Kedua:
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.

Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalahAllah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), maupun yang berkaitan dengan hukum wadl’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhshah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad saw., maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya
untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah. Dalam hal ini para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah:

Artinya, “Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”.

pemahaman kaidah tersebut, para ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai pemilihan, maupun wad’i.




2.      Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at
                                                                          
Dalam menentukan kemampuan akal untuk menetapkan hukum sebelum turunnya syari’at, para ulama terbagi kepada tiga golongan:
Pertama, menurut ahlu sunnah waljama’ah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya dapat menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainya.
 Kedua, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan seelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehinga akal dapat menentukan syari’at. Menurut kaum Mu’tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik
ataupun buruk adalah akal manusia, bukan syara’.
Ketiga, Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas. Mereka berpen dapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara’ menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang buruk pada zatnya. Adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak ada pada zatnya, syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya.


MAHKUM BIH DAN MAHKUM FIH
(OBJEK DAN PERISTIWA HUKUM)

1.     Pengertian Mahkum Bih dan Mahkum Fih

Yang dimaksud dengan objek hukum atau mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk, dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pad perbuatan dan bukan pada dzat.

2. Syarat-syarat Mahkum Bih
Perbuatan, sebagai objek hukum itu melekat pada manusia, hingga bila pada suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif.
Para ulama Ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakannya. Misalnya, seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat sebelum ia tahu rukun, syarat, dan kaifiyah sholat.

b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanankan titah Allah semata.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditingalkan dan berada dalam kemampuannya untuk dilaksanakan.


3. Macam-macam Mahkum Bih

Para ulama ushul membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaannya
secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.  Dari segi keberadaanya dan syara’, mahkum bih terdiri dari:
a. Perbuatn yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf tetapi perbuatan makan dan minum itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash;
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat;
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual-beli dan sewa menyewa.


Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan, maka mahkum bih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak yang semata-mata hak Allah ini menurut ulama ushul fiqh ada 8 macam, yaitu: (1) ibadah mahdlah, seperti rukun iman dan rukun islam; (2) ibadah yang didalmnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah; (3) Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil bumi; (4) Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap hukuman bagi orang-orang yang tidak ikut jihad; (5) Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindakan pidana seperti dera/ rajam sebagai hukuman berbuat zina; (6) Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi hak waris karena ia membunuh pemilik harta; (7) Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah; dan (8) Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam.

b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak;

c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf. Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, termasuk hak Allah, dan dari sisi  enghilangkan malu dari orang yang dituduh, termasuk hak hamba.
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.

4.      Kaitan objek hukum dengan pelaku perbuatan

Setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang  dibebani taklif itu. Dapat tidaknya taklif itu dilakukan oleh orang lain berhubungan erat  dnegan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini, objek hukum terbagi tiga:

a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri prinadi yang dikenai taklif; umpamanya shalat dan puasa;
b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dnegan harta benda pelaku taklif; umpamanya kewajiban zakat.
c. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diir pribadi dan harta dari pelaku taklif; umpamanya kewajiban haji.


MAHKUM ‘ALAIH

1.      Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih adalah orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ulama ushul ��iqh
telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab
Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf.
 Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang
diebani hukum, sedangkan dalam istlah ushul Fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ’alaih
(subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum,
baik yang berhubungan dnegan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.


2.      Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu
untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak heran jika sebagian besar ulama Ushul Fiqh
berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan
pemahaman. Orang yang belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syari’ (Allah dan Rasul-Nya).yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa karena dalam keadaan tidak sadar.
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf dapat dikenai taklif jika telah
memenuhi dua syarat, yaitu:
a.       Orang itu telah memahami khithab syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah
b.      Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul Fiqh disebut ahlun li al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut dengan al-ahliyah adalah: kepantasan untuk menerima taklif (Amir Syarifuddin, 2008: 390). Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.

3.      Ahliyyah

Secara Adapun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushul fiqih harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara termonologi ahliyyah adalah sifat yang menujukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.

Menurut para ulama ushul fiqh, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
Pertama, Ahliyyah al-ada’, yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat posiif maupun negativ.
Kedua, Ahliyah al-Wajib, yaitu sifat dan kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.  Menurut ulama Ushul Fiqh, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub  adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh kecerdasan, dan lainlain
 Para ahli ushul fiqih membagi ahliyyah al-wujub menjadi dua bagian:
Pertama, ahliyyah al-wujub al-naqishah, yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Para ulama Ushul sepakat, ada empat hak bagi
seorang janin, yaitu: (a) hak keturunan dari ayahnya; (b) hak warisan dari pewarisan yang meninggal dunia. (c) wasiat yang ditujukan kepadanya; dan (d) harta wakaf yang ditujukan kepadanya. Kedua, ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih seperti orang gila.




4.      Halangan (‘Awaridl) Ahliyyah

Ulama ushul menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh al-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang  berlanjut dengan kematian), dan lupa;
b. Awaridh al-muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa .

a.    Halangan yang dapat menyebbakan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali, sepeti gila, tidur, dan terpaksa., bersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.
b.    Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi dapat membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum.
c.   Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orang yang berutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh.



























BAB 3

PENUTUP
                                               
A. Kesimpulan

Ada beberapa Hukum Syara’ dan unsur-unsurnya di antaranya yaitu: Hukum, Hakim (Pembuat Hukum), Mahkum Bih dan Mahkum Fih (Objek dan Peristiwa Hukum), dan Mahkum Alaih.

Hukum menurut Ulama Ushul terbagi dalam dua bagian yaitu:
1.      Hukum Taklifi dan
2.      Hukum Wadh’i

Dalam menentukan kemampuan akal untuk menetapkan hukum sebelum turunnya syariat, para ulama terbagi atas tiga golongan:
1.      Ahlusunnah Wal Jama’ah
2.      Mu’tailun
3.      Muturudiyah

B. Saran

1.      Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa lebih memahami akan arti dari apa itu Hakim, Hukum, dan Mahkum Alaih, dan lainnya.
2.      Sehingga kita dapat mengetahui lebih dalam lagi tentang Hukum Syara’ dan Unsur-unsurnya.














Daftar Pustaka


Beik, Muhammad Khudlari, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam 1978
-----------, Kaidah-kaidah Hukum Islam, alih bahasa Moch. Tolhah, dkk., Bandung, Risalah, 1985
Riva’i, M., Ushul Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif, 1987
Shiddiqy, M. Hasbi Ash-, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1958
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1998
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008
Uman, Khairul & Achyar Aminudin, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001
Yahya, Muctar & Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, PT. al-Ma’arif, 1986




KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang senantiasa memberikan rahmat dan inayah-Nya kepada kami. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahcurahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat dan semua umatnya.
Makalah ini kami buat dengan judul makalah “ Ushul Fiqh tentang Hukum Syara dan Unsur – Unsurnya” serta harapan dapat memberikan manfaat dalam mengembangkan kreativitas kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
Makalah ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan, saran, pendapat, serta kelengkapan sarana dan prasarana yang terdapat di lingkungan IAIC Tasikmalaya. Untuk itulah kami menyampaikan terimakasih.
Dengan segala kerendahan hati, kami mohon pada semua pihak, khususnya dosen mata kuliah untuk senantiasa memberikan perbaikan dan pengarahannya, juga kritik dan sarannya untuk kami.
      Tasikmalaya, Oktober  2014



Penyusun


MAKALAH

HUKUM SYARA DAN UNSUR – UNSURNYA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
 Mata Kuliah Ushul Fiqh





Disusun oleh :
A.    Lukmanul Hakim
Fak/jur : Dakwah /KPI


INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2014


               
                                                                         i

                               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar