BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan
terhadap hukum syara’ dan unsur-unsurnya menjadi sebuah
tuntutan yang harus dilakukan oleh seseorang yang hendak mengkaji ushul Fiqh
dan menerapkannya dalam menetapkan hukum bagi persoalan baru yang belum ada ketentuan
hukumnya. Pemahaman
mengenai hukum, hakim, mahkum
bih dan mahkum Fih, serta mahkum ‘alaih. Mudah-mudahan Anda dapat memahami
secara menyeluruh apa yang diuraikan dalam bagian ini, sebab pemahaman tersebut
akan menjadi dasar dalam memahami, memutuskan dan mengaplikasikan hukum dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan makalah ini disajikan mengenai: Pengertian
Hukum, pembagian hukum dan perbedaan hukum wtaklifi dan hukum wadl’i, tentang pengetian hakim dan kemampuan akal mengetahui
syari’at, mengenai pengertian mahkum bih dan mahkum fih, syarat-syarat mahkum
bih, dan macam-macam mahkum fih; Dalam kegiatan belajar 4 diuraikan mengenai
pengertian mahkum ‘alaih, taklif, ahliyah, dan halangan-halangan ahliyah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hukum
2. Sebutkan Apa
Saja Pembagian Hukum?
3. Apa Pengertian
Hakim?
4. Mahkum Bih Dan Mahkum Fih
5. Apa Pengertian Mahkum Alaih?
BAB 2
PEMBAHASAN
HUKUM
1. Pengertian Hukum
Kata hukum berasal dari bahasa Arab
“hukum”, yang secara etimologi berarti “memutuskan”, “menetapkan”, dan “menyelesaikan”.
Dalam arti yang sederhana, hukum adalah seperangkat
peraturan tentang tingkah laku anusia
yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku
dan mengikat untuk seluurh anggotanya (Amir Syarifuddin, 2008: 307). Mayoritas
ulama ushul mendefinisikan hukum
adalah Kalam Allah yang menyangkut perbuatan oran dewasa dan berakal sehat,
baik bersifat imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sesuai sebab, syarat
dan penghalang”. Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha’)
adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya
yakni melarang, baik tuntuan
itu bersifat
memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud takhyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara
melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama. Sementara yang dimaksud wadh’i (mendudukkan
sesuautu) adalah memposisikan
sesuatu sebagai
penghubunga hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang. Definisi hukum di
atas merupakan definisi hukum
sebagai kaidah, yakni
patokan
perilaku manusia (Racmat Syafe’i, 1999: 295-296).
2.
Pembagian Hukum
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah
yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan (Rachmat
Syafe’i, 1999:
296). Hukum taklifi berbentuk
tuntutan atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua,
yaitu tuntutan untuk memperbuat dan tuntutan untuk mneinggalkan. Sedangkan dari segi bentuk tuntitan juga
terbagi kepada dua, yaitu
tuntutan secara
pasti dan tuntutan tidak secara pasti. Adapun pilihan terletak antara memperbuat dan meninggalkan (Amir
Syarifuddin, 2008: 310). Contoh firman Allah Q.S. al-Nur ayat 56 yang bersifat
menuntut untuk melakukan perbuatan:
Artinya, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul,
supaya kamu
diberi rahmat”.
Contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 188
yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
Artinya, “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan
batil”.
Contoh
firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat a87 yang bersifat memilih (fakultatif).
Artinya, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang
hitam,
yaitu fajar”.
Adapun bentuk hukum taklifi menurut ulama
Hanafiyah ada tujuh macam, yaitu:
1) Iftiradh, yaitu
tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil qath’i. Misalnya,
tuntutan untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat. Ayat dan hadits yang mengandung tuntutan
mendirikan shalat
dan membayar
zakat sifatnya adalah qath’i.
2) Ijab, yaitu tuntutan
Allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi mellaui dalil yang
bersifat dzanni (relative
benar). Misalnya,
kewajiban membayar zakat fitrah, membaca
al-Fatihah dalam shalat, dan
ibadah kurban. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama Hanafiyah,
tuntutannya bersifat ijab dan wajib dilaksankaan, tetapi kewajibannya
didasarkan atas tuntutan yang zhanni.
3) Nadb, maksudnya sama
dengan yang dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
4) Ibahah, maksudnya sama dengan
yang dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
5) Karahah tanzihiyyah, yaitu
tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat
memaksa. Misalnya larangan berpuasa pada hari Jumat. Karahah tanzihiyyah di
kalangan Hanafiyah sama pengertiannya dengan karahah
di kalangan Jumhur ulama Ushul Fiqh.
6) Karahah
Tahrimiyyah, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni.
Apabila pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan itu dikerjakan, maka ia dikenakan hukuman. Hukum ini sama
dengan haram yang dikemukakan Jumhur Ulama Ushul Fiqh.
7) Tahrim,
yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan didasarkan pada
dalil yang qath’i. Misalnya, larangan membunuh orang seperti yang dikemukakan surat al-Isra
ayat 23, dan berbuat
zina, seperti
yang dikemukakan surat al-Nur ayat 2 (Rachmat Syafe’i, 1999: 301-302).
b.
Hukum Wadl’i
Hukum wadh’i adalah Firman Allah
SWT. yang menuntut untuk menjadikan
sesuatu sebagai
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut
ditunjukkan bahwa hukum wadh’i itu ada 3 macam, yaitu sebab, syarat dan mani’ (penghalang).
1. Sebab, menurut
bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang
dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat
yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan
illat, walaupun sebenarnya ada
perbedaan antara sebab dengan illat.
2. Syarat, yaitu
sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan
adanya hukum syara.
3. Mani’
(penghalang), yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau
tidak ada sebab
4. Shihhah, yaitu
suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab,
syarat dan tidak ada mani.
5. Bathal, yaitu
terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat
hukum yang ditimbulkannya.
6. ‘Azimah, yaitu
hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.
Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak
disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.
7. Rukhshah adalah
hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena udzur, mislanya
kebolehan mengerjakan shalat zhuhur dua rakaat bagi para musafir, maka hukum
itu disebut rukhshah..
3.
Perbedaan Hukum
Taklifi dengan Hukum Wadl’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadl’i,
antara lain:
a. Dalam hukum al-taklifi terkandung
tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum
wadl’i, hal ini tidak ada,
melainkan.
mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara dapat dijadikan sebab, syarat,
atau penghalang.
b. Hukum al-taklifi merupakan tuntutan
langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat. Sedangkan hukum
al-Wad’I tidak
diamksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum al-Wadl’I ditentukan agar hukum al-taklif dapat
dilaksanakan;
c. Hukum
al-taklifi harus sesuai dnegan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum
al-taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqah).dan kesempitan (haraj) yang
tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalamhukum al-wadl’i hal seperti
ini tidak dipersoalkan, karena masyaqah dan haraj dalam hukum al-wadl’i adakalanya
dapa dipikul mukallaf, seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam
pernikahan, dan adakalanya di luar kemampuan mukalaf, seperti tergelincirnya
matahari bagi wajibnya shalat zhuhur.
d. Hukum
al-taklifi ditujukan kepada para mukallaf, sedangkan hukum al-wadl’I dutujukan
kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil
dan orang gila (Racmat Syafe’i, 1999: 316 & Chaerul Uman, 1998: 250-251
HAKIM
(Pembuat Hukum)
1.
Pengertian
Hakim
Secara etimologi, hakim memiliki dua arti, yaitu:
Pertama:
“Pembuat hukum yang menetapkan
dan memunculkan sumber hukum”.
Kedua:
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan”.
Dari pengertian pertama tentang hakim
di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalahAllah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan
satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at,
kecuali dari Allah baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram), maupun yang berkaitan dengan hukum wadl’i
(sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhshah). Menurut
kesepakatan para ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah melalui Nabi
Muhammad saw., maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath,
seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya
untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah. Dalam hal ini para ulama
ushul fiqh menetapkan kaidah:
Artinya, “Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”.
pemahaman kaidah tersebut, para ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum
sebagai pemilihan, maupun wad’i.
2. Kemampuan
Akal Mengetahui Syari’at
Dalam menentukan kemampuan akal untuk
menetapkan hukum sebelum turunnya
syari’at, para
ulama terbagi kepada tiga golongan:
Pertama, menurut ahlu sunnah waljama’ah, akal
tidak memiliki kemampuan untuk
menentukan
hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya dapat menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan al-Quran
dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainya.
Kedua, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal
dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan seelum datangnya syara’ meskipun
tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh
zatnya, sehinga akal dapat menentukan syari’at. Menurut kaum Mu’tazilah,
prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik
ataupun buruk adalah akal manusia,
bukan syara’.
Ketiga, Maturidiyah berusaha menengahi kedua
pendapat di atas. Mereka berpen
dapat bahwa perkataan atau perbuatan itu
adakalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara’ menyuruh untuk mengerjakan
perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan
perbuatan yang buruk pada zatnya. Adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang
kebaikan dan keburukannya tidak ada pada zatnya, syara’ memiliki wewenang untuk
menetapkannya.
MAHKUM BIH DAN MAHKUM FIH
(OBJEK DAN PERISTIWA HUKUM)
1.
Pengertian
Mahkum Bih dan Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan objek hukum atau
mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk, dilakukan atau ditinggalkan
oleh manusia; atau dibiarkan
oleh Pembuat
Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, yang disebut
mahkum bih atau objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.
Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pad perbuatan dan bukan pada dzat.
2.
Syarat-syarat Mahkum Bih
Perbuatan, sebagai objek hukum itu
melekat pada manusia, hingga bila pada suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka
berlaku pada manusia
yang mempunyai
perbuatan itu beban hukum atau taklif.
Para ulama Ushul mengemukakan beberapa
syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf
mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat
dilaksanakannya. Misalnya, seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat sebelum ia
tahu rukun, syarat, dan kaifiyah sholat.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber
taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah sehingga ia
melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanankan titah Allah
semata.
c. Perbuatan harus mungkin untuk
dilaksanakan atau ditingalkan dan berada dalam kemampuannya untuk dilaksanakan.
3. Macam-macam Mahkum Bih
Para ulama ushul membagi mahkum fih dari dua
segi, yaitu dari segi keberadaannya
secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam
perbuatan itu sendiri. Dari segi keberadaanya dan syara’, mahkum bih terdiri
dari:
a. Perbuatn
yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
Makan dan minum adalah perbuatan
mukallaf tetapi
perbuatan makan dan minum itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b. Perbuatan
yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash;
c. Perbuatan
yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan,
seperti shalat dan zakat;
d. Perbuatan
yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah,
jual-beli dan sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat
dalam perbuatan, maka mahkum bih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Semata-mata
hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak
yang semata-mata hak Allah ini menurut ulama ushul fiqh ada 8 macam, yaitu: (1)
ibadah mahdlah, seperti rukun iman dan rukun islam; (2) ibadah yang didalmnya mengandung
makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah; (3) Bantuan/santunan yang
mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil bumi; (4) Biaya/santunan yang
mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap hukuman
bagi orang-orang yang tidak ikut jihad; (5) Hukuman secara sempurna dalam
berbagai tindakan pidana seperti dera/ rajam sebagai hukuman berbuat zina; (6)
Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi hak waris karena ia
membunuh pemilik harta; (7) Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti
kafarat sumpah; dan (8) Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban
mengeluarkan seperlima harta terpendam.
b. Hak hamba
yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak;
c. Kompromi
antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak
pidana qadzaf. Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, termasuk hak Allah, dan dari sisi enghilangkan malu dari orang yang dituduh, termasuk hak hamba.
d. Kompromi
antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.
4. Kaitan objek
hukum dengan pelaku perbuatan
Setiap
perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif
itu. Dapat tidaknya taklif itu dilakukan oleh orang lain berhubungan erat dnegan kaitan
taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini, objek hukum terbagi tiga:
a. Objek hukum
yang pelaksanaannya mengenai diri prinadi yang dikenai taklif; umpamanya shalat dan puasa;
b. Objek hukum
yang pelaksanaannya berkaitan dnegan harta benda pelaku taklif; umpamanya kewajiban zakat.
c. Objek hukum
yang pelaksanaannya mengenai diir pribadi dan harta dari pelaku taklif; umpamanya kewajiban haji.
MAHKUM ‘ALAIH
1.
Pengertian
Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih adalah orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ulama ushul ��iqh
telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya
dikenai khithab
Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai
orang yang
diebani hukum, sedangkan dalam istlah
ushul Fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ’alaih
(subjek hukum). Mukallaf adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak hukum,
baik yang berhubungan dnegan perintah
Allah maupun dengan larangan-Nya.
2.
Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif
adalah mereka yang sudah dianggap mampu
untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak
heran jika sebagian besar ulama Ushul Fiqh
berpendapat bahwa dasar pembebanan
hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan
pemahaman. Orang yang belum berakal
dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syari’ (Allah dan Rasul-Nya).yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan
lupa karena dalam keadaan tidak sadar.
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa
seorang mukallaf dapat dikenai taklif jika telah
memenuhi dua syarat, yaitu:
a.
Orang itu telah
memahami khithab syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah
b.
Seseorang harus
mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul Fiqh disebut
ahlun li al-taklif. Kecakapan menerima taklif
atau yang disebut dengan al-ahliyah adalah: kepantasan untuk menerima taklif (Amir Syarifuddin, 2008:
390). Dengan demikian,
seluruh
perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Ahliyyah
Secara Adapun arti ahliyyah secara
terminologi, menurut para ahli ushul fiqih harfiyah, ahliyyah berarti
kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara termonologi ahliyyah adalah
sifat yang menujukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
Menurut para ulama ushul fiqh, ahliyyah
terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
Pertama, Ahliyyah al-ada’, yaitu sifat
kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang
bersifat posiif maupun negativ.
Kedua, Ahliyah al-Wajib,
yaitu sifat dan kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum mampu
untuk dibebani seluruh kewajiban.
Menurut ulama Ushul Fiqh, ukuran yang
digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak
dibatasi oleh umur, baligh kecerdasan, dan lainlain
Para ahli ushul fiqih membagi ahliyyah al-wujub
menjadi dua bagian:
Pertama, ahliyyah al-wujub al-naqishah,
yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Para ulama Ushul sepakat, ada empat hak
bagi
seorang janin, yaitu: (a) hak keturunan
dari ayahnya; (b) hak warisan dari pewarisan yang meninggal dunia. (c) wasiat yang ditujukan
kepadanya; dan (d) harta wakaf yang ditujukan kepadanya. Kedua, ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu kecakapan
menerima hak bagi seorang anak
yang telah
lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih
seperti orang gila.
4.
Halangan (‘Awaridl)
Ahliyyah
Ulama ushul menyatakan bahwa kecakapan
bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh
al-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu,
perbudakan, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan kematian), dan lupa;
b. Awaridh al-muktasabah,
yaitu halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa .
a. Halangan yang
dapat menyebbakan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’)
hilang sama sekali, sepeti gila, tidur, dan terpaksa., bersalah, berada di
bawah pengampunan dan bodoh.
b.
Halangan yang
dapat mengurangi ahliyyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya
tidak hilang sama sekali, tetapi dapat membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum.
c. Halangan yang
sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orang yang berutang, pailit, di bawah
pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa Hukum Syara’ dan
unsur-unsurnya di antaranya yaitu:
Hukum, Hakim
(Pembuat Hukum), Mahkum Bih dan Mahkum Fih (Objek dan Peristiwa Hukum), dan
Mahkum Alaih.
Hukum menurut Ulama Ushul terbagi dalam
dua bagian yaitu:
1.
Hukum Taklifi
dan
2.
Hukum Wadh’i
Dalam menentukan kemampuan akal untuk menetapkan hukum sebelum turunnya
syariat, para ulama terbagi atas tiga golongan:
1.
Ahlusunnah Wal
Jama’ah
2.
Mu’tailun
3.
Muturudiyah
B. Saran
1.
Semoga dengan
adanya makalah ini kita bisa lebih memahami akan arti dari apa itu Hakim,
Hukum, dan Mahkum Alaih, dan lainnya.
2.
Sehingga kita
dapat mengetahui lebih dalam lagi tentang Hukum Syara’ dan Unsur-unsurnya.
Daftar Pustaka
Beik,
Muhammad Khudlari, Ushul Fiqh, Dar
al-Fikr
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu
Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam 1978
-----------, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, alih bahasa Moch. Tolhah,
dkk., Bandung, Risalah, 1985
Riva’i, M., Ushul
Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif, 1987
Shiddiqy, M. Hasbi Ash-, Pengantar
Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1958
Syafe’i, Rachmat, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1998
Syarifuddin, Amir, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008
Uman, Khairul & Achyar Aminudin, Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001
Yahya, Muctar & Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung,
PT. al-Ma’arif,
1986
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang senantiasa memberikan
rahmat dan inayah-Nya
kepada kami. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahcurahkan kepada Nabi
Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat dan semua umatnya.
Makalah
ini kami buat dengan judul makalah
“ Ushul Fiqh tentang Hukum Syara dan Unsur – Unsurnya” serta
harapan dapat memberikan manfaat dalam mengembangkan kreativitas
kami khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Makalah
ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan, saran, pendapat, serta
kelengkapan sarana dan prasarana yang terdapat di lingkungan IAIC Tasikmalaya.
Untuk itulah kami menyampaikan terimakasih.
Dengan
segala kerendahan hati, kami mohon pada semua pihak, khususnya dosen mata
kuliah untuk senantiasa memberikan perbaikan dan pengarahannya, juga kritik dan
sarannya untuk kami.
Tasikmalaya,
Oktober 2014
Penyusun
MAKALAH
HUKUM
SYARA DAN UNSUR – UNSURNYA
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqh
Disusun
oleh :
A. Lukmanul Hakim
Fak/jur : Dakwah /KPI
INSTITUT AGAMA ISLAM
CIPASUNG
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2014
i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar