TOKO 0SCAR CLASSER

Selasa, 04 Februari 2014

syarat - syarat , pengangkatan dan pemberhentian hakim



BAB I
  PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat tentu perlu adanya aturan-aturan yang bisa membuat masyarakat terutama hak-haknya tidak terlangkahi oleh orang lain apalagi mengambil hak mereka. Dalam menjamin akan dilaksanakannya aturan-aturan tersebut ialah tentu dengan memberikan sanksi. Akan tetapi dalam pemberian sanksi ini haruslah juga mempertimbangkan hak-hak terdakwa atau yang bersalah dalam membela dirinya sendiri yang diharapkan tentunya nanti dalam keputusan final tidak ada pihak yang merasa dirugikan, maka untuk menjamin akan tercipta suasana seperti yang diharapkan diatas perlu danya seseorang yang mempunyai hak dalam menghakimi tersebut (hakim) benar-benar kredibel dan bisa dipertanggungjawaban segala keputuannya. Maka dalam rangka itu perlu adanya syarat-syarat yang diperlukann bagi seorang hakim berikut tata cara pengangkatan dan tata cara pemecatan yang bisa dijadikan pedoman dalam menjamin kekredibelan terhadap segala keputusan hakim maupun tindak-tanduknya dalam perjalanannya sebagai hakim.
B. Rumusan Masalah
 1. Apa syarat-syarat menjadi hakim?
2. Bagaimana pengangkatan seorang hakim?
3. Bagaimana pemberhentian (pemecatan) seorang hakim?










BAB II
 PEMBAHASAN


A. Syarat Pengangkatan Menjadi Hakim (Qodli)
Adapun syarat-syarat seseorang itu bisa diangkat menjadi qodli terjadi perbedaan pendapat diantara fuqaha ada yang mengatakan 15 syarat, ada yang 7 dan ada yang 3. Akan tetapi, walaupun demikian hakikatnya sama. Adapun secara global ialah sebagai berikut:
1.      Laki-laki.
Menurut madzhab Imam Abu Hanifah bahwa perempuan boleh diangkat menjadi qodli selain urusan had dan qishash karena ke dalam dua hal tersebut kesaksian perempuan tidak diterima. Akan tetapi Ibnu Jarir mengatakan At-thabari mengatakan boleh perempuan itu menjadi qodli tanpa terkecuali.
Imam Al-Mawardi menambahkan dalam syarat ini berarti seseorang haruslah balig.
Baligh merupakan konsekuensi dari adanya konsep taklif dalam amal perbuatan, dimana tindakan hukum seseorang baru sah dan berimplikasi hukum setelah mencapai baligh. Tentang wanita dalam jabatan kehakiman, Imam Abu Hanifah berkata,” Wanita diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia dibenarkan menjadi saksi di dalamnya, dan tidak diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia tidak boleh menjadi saksi di dalamnya.”
Ada perbedaan pendapat di dalam seorang perempuan menjadi hakim diantaranya ialah madzhab Imam Hambali yang mengatakan bahwa seorang perempuan itu tidak boleh menjadi hakim.
2.      Berakal (cerdas) dan mumayyiz.
Seorang hakim harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang penting untuk diketahui, sehingga ia mampu membedakan segala sesuatu dengan benar, cerdas, dan jauh dari sifat lupa.
3.      Islam.
Karena syarat seseorang yang hendak menjadi saksi juga haruslah Islam, akan tetapi menurut Imam Hanifah ialah tidak apa-apa mengangkat hakim selain Islam jika untuk orang Islam.


4.      Adil.
Yaitu benar dalam perkataan, dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari segala yang dilarang, jujur dalam keadaan tidak suka atau suka, maka tidak boleh mengangkat hakim yang fasik.
5.      Berpengetahuan.
Berpengetahuan disini ialah mengenai pokok-pokok hukum agama, dan cabang-cabangnya dan dapat membedakan yang hak dan yang bathil.
6.      Sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan.
7. Faqih dan mujtahid.



B. Pengangkatan Qodli
Adapun pengangkatan seorang qodli oleh penguasa, hukumnya adalah wajib dan tidak dibedakan antara pemberian wewenang kepada qadli oleh pihak penguasa atau dengan jalan pelimpahan wewenang kepada pembantu-pembantu pemerintah untuk tugas-tugas khusus dibidang peradilan, dan atas dasar ini, maka sebenarnya seorang hakim menyandarkan putusan hukumnya atas pengangkatannya dari pihak penguasa.
Adapun seorang qodli walaupun non-Islam dan tidak adil selama masih bisa memutuskan hukum dengan benar tidak apa-apa. Adapun poin yang sangat penting dalam pengangkatan ini ialah seorang hakim tersebut harus diangkat oleh penguasa pemerintahan atau wakilnya.
Dalam pengangkatan hakim ini ada beberapa masalah diantaranya:
1.      Pengangkatan hakim dengan madzhab yang berbeda.
Orang yang menganut madzhab Imam Syafi’i diperbolehkan mengangkat hakim dari orang yang menganut madzhab Abu Hanifah, karena hakim itu bertugas berijtihad dengan pendapatnya dalam keputusannya. Namun sebagian melarang.
Dalam hal seorang Muwalli (pengangkat hakim) menganut madzhab yang berbeda dengan yang diangkat kemudian si penguasa mensyaratkan dalam setiap keputusan hakim tersebut harus mengikuti madzhab penguasa yang mengangkat maka dalam hal persyaratan ini ada dua:
a.      Ia mensyaratkan umum dalam semua hukum maka persyaratan tersebut tidak sah.
b.      Persyaratan khusus pada hukum tertentu. Jika ini disyaratkan dalam hal pengangkatan hakim maka tidak sah kalau tidak maka sah.
Dalam hal otoritas seorang hakim dalam menangani permasalahan ada dua pendapat juga:
a.      Seorang hakim tidak boleh menangani hal-hal yang dilarang karena hal tersebut bukan otoritasnya.
b.      Boleh seorang hakim menangani hal-hal yang dilarang (bukan otoritasnya) selama hal tersebut bukan termasuk persyaratan dalam pengangkatannya.
Dalam hal pengangkatan ini ada dua cara.
a. Dengan sharih diantaranya, qalladtuka (aku mengangkatmu), wallaituka (aku menguasakan kepadamu), astakhlaftuka (aku menempatkanmu), dan astanbattuka (aku mewakilkan kepadamu).
b. Dengan kinayah diantaranya, i’tamadtu ‘alaika (aku bergantung kepadamu), awwaltu ‘alaika (aku meletakkan kepercayaan kepadamu), dll.
Disamping pengangkatan seperti diatas jabatan, hakim sah dengan empat syarat:
• Muwalli mengetahui bahwa muwalla (pihak yang diangkat) memiliki sifat yang membuatnya layak untuk diangkat.
• Muwalli mengetahui hak muwalla terhadap jabatan hakim.
• Muwalli menyebutkan secara jelas jenis pengangkatannya apakah seorang hakim atau gubernur dll.
• Daerah kerja harus disebutkan dalam pengangkatan.


2.      Pengangkatan dua hakim dalam satu daerah.
Pengangkatan dalam hal diatas tidak terlepas dari tiga bentuk:
a. Daerah kedua hakim tersebut dalam menjalankan tugasnya.
b. Kedua perkaranya beda.
c. Keduanya ditugaskan menangani kasus-kasus hukum di seluruh wilayah negara. Akan tetapi, dalam hal ini terjadi perbedaan ada yang mengatakan boleh dan ada yang tidak.
Dan bagaimanakah jika seorang perempuan yang menjadi hakim (qodli)? Para ulama juga berbada pendapat tentang hal ini. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa seorang wanita itu boleh menjadi qodli. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa wanita itu boleh menjadi qodli, jika perkara yang dihadapi berhubungan dengan harta. At-Thabari bahkan lebih ekstrim lagi dengan mengatakan wanita boleh menjadi qodli dalam semua perkara yang diadukan kepadanya.
C. Pemberhentian (pemecatan) Qodli
Pemerintah (penguasa) mempunyai hak untuk memecat qodli yang ia angkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab, demikian menurut madzhab Syafi’i, karena hal itu dikaitkan dengan kemashlahatan kaum muslimin dan hak umat, maka tidak dibenarkan tindakan pemecatan terhadap qodli yang tidak bersalah,
 karena hal itu disamakan dengan wakalah (perwakilan) apabila ada kaitannya dengan hak orang lain. Dan menurut satu pendapat, dibolehkan tindakan pemecatan tanpa adanya kesalahan, karena ada suatu riwayat, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat Abdul Aswad sebagai qodli kemudian dipecatnya. Lalu Abdul Aswad bertanya: mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan tidak melakukan tindakan kesalahan? Ali menjawab: sesungguhnya aku melihat kamu tinggi ucapanmu terhadap pihak-pihak yang berperkara. Dan karena penguasa berhak memecat pejabat-pejabat bawahannya termasuk juga para qodli.
Dan berlakulah pemecatan itu sejak ia (yang dipecat itu) mengetahui tentang pemecatan dirinya. Abu Yusuf berkata: berlakunya pemecatan itu sejak pengganti telah diangkat demi menjaga hak-hak manusia. Demikian juga, qodli boleh mengundurkan diri, dan berlakulah pengunduran diri itu sejak ia meninggalkan tugasnya. Menurut pendapat Jumhur bahwa qodli yang mengundurkan diri itu tidak terhenti kelangsungan tugasnya sampai diangkatnya pejabat baru, karena dalam hal ini tidak seorang pun dapat membatalkan suatu hak, dan menurut suatu pendapat dikatakan, bahwa qodli yang demikian itu belum terlepas selama hal pengunduran dirinya itu belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya, dan kalau diqiyaskan dengan pendapat Abu Yusuf, maka sebenarnya ia belum terlepas sampai ia menerima surat pemberhentian, dan inilah yang sesuai dengan apa yang berjalan di masa sekarang.
Dan atas dasar itu, maka selama surat pemecatan itu belum disampaikan, maka segala putusannya masih tetap sah demikian juga segala putusan itu tetap dapat dilaksanakan selama secara resmi pengunduran dirinya itu belum diterima.
Dan kalau seorang qodli meninggal dunia atau dipecat oleh orang yang tidak berhak memecatnya, maka tidak terpecat dan tidak diperlukan pengangkatan baru, sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum di bidang peradilan dari umat dan mengadili atas namanya.          
BAB III
 KESIMPULAN



Dari penjelasan makalah di atas, maka dapat diambil kesimpulan diantaranya:
1. Syarat-syarat menjadi seorang hakim adalah:
a. Laki-laki
b. Berakal (cerdas) dan mumayyiz
c. Islam
d. Adil
e. Berpengetahuan
f. Sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan
g. Faqih dan mujtahid
2. Qodli diangkat oleh penguasa, dan hukumnya adalah wajib.
3. Pemerintah (penguasa) mempunyai hak untuk memecat qodli yang ia angkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab.














DAFTAR PUSTAKA


Al-Mawardi, Imam. 2006. Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Hukum-Hukum Penyelenggaan Negara dalam Syari’at Islam). Jakarta: Darul Falah
Madkur, Muhammad Salam. 2003. Peradilan dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset
Muhammad, Muhammad Addul Jawwad. 1977. Buhus fi al-Syari’ati al-Islamiyah wa al-Qanun, Kairo: al-Mu’arif
Musyarrifah, Atiyah Mustafa. 1966. Al-Qada fil al-Islam, Timur Tengah: Darul Ghad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar