TOKO 0SCAR CLASSER

Senin, 29 September 2014

PENGERTIAN ILMU FIQIH, USHUL FIQIH, DAN PERBEDAANNYA. THAHARAH, SHALAT, ZAKAT, PUASA, HAJI DAN UMRAH


 BABI
PENDAHULUAN


       Latar belakang

Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia; baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun muamalah berupa tindak pidana maupun perdata, masalah akad atau pengelolaan, dalam syariat islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Al Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi syariat islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.
Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan tindakan manusia yang diambil dari nash-nash yang ada atau dari pembentukan hukum berdasarkan dalil syarat yang tidak ada nashnya, terbentukalah ilmu Fiqih
. 
Ilmu Fiqih menurut  syara’ adalah pengetahuan tenyang hukum syariat yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya secara detail.
Berdasarkan penelitian, para ulama telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat yaitu:
1.      Al-Qur’an,
2.      Al-Sunnah,
3.      Al-Ijma, dan
4.      Al-Qiyas.
Dan bahwa sumber  pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum syariat adalah al-Qur’an kemudian al-Sunnah sebagai penjelas atas keglobalan al-Qur’an, pembatasan keumumannya, pengikat kebebasannya dan sebagai penerangan serta penyempurna. Dari keseluruhan kaidah dan hasil penelitian tentang hukum islam, maka terlahirlah  Ushul Fiqih.
Ushul fiqih adalah kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Untuk lebih jelasnya saya akan membahas tentang Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan perbedaannya pada bab selanjutnya.













BAB II
Pengertian Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan Perbedaannya.



1.      Ilmu Fiqih

A.     Pengertian Ilmu Fiqih

Fiqih menurut bahasa bermakna : tahu dan paham, sedangkan menurut istilah, banyak ahli fiqih (fuqoha’) mendefinisikan berbeda-beda tetapi mempuyai tujuan yang sama diantaranya :
Ulma’ Hanafi mendifinisikan fiqih adalah :
عِلْمٌ يُبَيِّنُ اْلحُقُوْقَ وَاْلوَاجِبَآتِ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ اْلمُكَلَّفِيْنَ
“Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan amalan para mukalaf”.
Sedangkan menurut pengikut Asy Syafi’i mengatakan bahwa fiqih     (ilmu fiqih) itu ialah :
العِلْمُ الَّذِي يُبَيِّنُ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ اْلمُكَلَّفِيْنَ اْلمُسْتَنْبِظَةِ مِنْ اَدِلَّتِهَآ التَّفْصِيْلِيَّةِ
“ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang dikeluarkan (diistimbatkan) dari  dalil-dalil yang jelas (tafshili)”.
Sedangkan Jalalul Mahali mendifinisikan fiqih sebagai :
الأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ العَمَلِيَّةُ المُكْتَسِبَةُ مِنْ اَدِلَّتِهَآ التَفْصِيْلِيَّةِ
“ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliyah yang diusahakan memperolehnya dari dalil yang jelas (tafshili)”.
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf pengertian fiqih adalah :
“pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam memngenahi perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci”.
Jadi dapat disimpulkan dari difinisi-definisi di atas, fiqih adalah : ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam.
 Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqih itu ialah ilmu pengetahuan yang membiacarakan/ membahas/ memuat hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber pada Al-Qur’an, Al-Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih. Dengan demikian berarti bahwa fiqih itu merupakan formulasi dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh ummatnya. Hukum itu berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam).

B  B. Objek Kajian Fiqih

Hukum yang diatur dalam fiqih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Meskipun ada perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka sama-sama mengambil dari sumber yang sama.
 Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik (bab-bab) kajian fiqih. Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqih secara awam, objek pembahasan fiqih itu adalah empat, yang sering disebut Rubu diantaranya:
1)      Rubu’ ibadat;
2)      Rubu ‘ muamala;
3)      Rubu’ munakaha, dan
4)      Rubu’jinayat.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab ibadah, bab mu’amalat, bab ’uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) objek kajian:
a)      Ibadah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini:
1)      Tharah (bersuci);
2)      Ibadah (sembahyang);
3)      Shiyam (puasa);
4)      Zakat;
5)      Haji, dan lain-lain.

b)      Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan:
1)      Nikah;
2)      Khitbah;
3)      Mu’asyarah;
4)      Talak;
5)      Fasakh, dan lain-lain.


c)      Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah:
1)      Buyu’ (jual-beli);
2)      Khiyar;
3)      Riba’;
4)      Sewa- menyewa;
5)      Pinjam meminjam;
6)      Waqaf, dan lain-lain.
* Dari segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok ibadah, tetapi dari segi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok muamalah.

d)      Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi;
1)      Status milik bersama baitul mal;
2)      Sumber baitul mal;
3)      Cara pengelolaan baitul mal, dan lain-lain.

e)      Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukum)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqih ada yang menyebut jinayah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi;
1)      Pelanggaran;
2)      Qishash;
3)      Diyat;
4)      Hukum pelanggaran, kejahatan, dan lain-lain.

f)        Murafa’ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi:
1)      Peradilan dan pendidikan;
2)      Hakim dan Qadi;
3)      Gugatan;
4)      Pembuktian dakwah;
5)      Saksi, dan lain-lain.

g)      Ahkamud Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1)      Kepala Negara dan waliyul amri;
2)      Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3)      Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4)      Hak dan kewajiban rakyat;
5)      Musyawarah dan demokrasi;
6)      Batas-batas toleransi dan persamaan, dan lain-lain.

h)      Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi;
1)      Hubungan antar negara, sesama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang;
2)      Ketentuan untuk orang dan damai;
3)      Penyerbuan;
4)      Masalah tawanan;
5)      Upeti, Pajak, rampasan;
6)      Perjanjian dan pernyataan bersama;
7)      Perlindungan;
8)      Ahlul ’ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9)      Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
Setelah memperhatikan begitu luasnya objek kajian fiqih. dapatlah kita bayangkan seluas apa pula ruang lingkup pengajaran agama.

C.     C. Tujuan fiqih

tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukun syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqih menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukhallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia. juga mengenalkan kepada mikallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya.
Dengan ilmu fiqih, kita dapat mengetahui bagaimana kita menyelenggarakan nikah, talak, bagaimana memelihara jiwa, harta dan kehormatan, tegasnya menetahui hukum-hukum yang harus berlaku dalam masyarakat umum.


2.      Perbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

 Jelaslah perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih, bahwa ushul fiqih merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan  dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqih adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqih" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqih" yang berarti asal-usul Fiqih. Maksudnya, pengetahuan Fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqih. Pengetahuan Fiqih adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqih. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqih.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.






BAB III
PENGERTIAN DAN BAGIAN-BAGIAN IBADAH, THAHARAH, SHOLAT, ZAKAT, PUASA DAN HAJI

I. IBADAH
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1.      Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2.      Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3.      Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).
Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58]

II. PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah berarti bersih ( nadlafah ), suci ( nazahah ) terbebas ( khulus ) dari kotoran ( danas ). Seperti tersebut dalam surat Al- A’raf ayat 82 :
إنّهم انا س يتطهّرون
Yang artinya : “ Sesungguhnya mereka adalah orang – orang yang berpura – pura mensucikan diri “. Dan pada surat Al – Baqorah ayat 222 :
إنّ الله يحبّ التّوّابين و يحبّ المتطهّرين
Yang artinya : “ Sesungguhnya Allah menyukai orang – orang yang bertaubat dan orang – orang yang mensucikan diri “
Menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat ( menghilangkan ) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Dengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis.
Thaharah dari hadats
Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk tayammum.
a. Wudhu’
Menurut lughat ( bahasa ), adalah perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu. Dalam istilah syara’ wudhu’ adalah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat. Mula – mula wudhu’ itu diwajibkan setiap kali hendak melakukan sholat tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats. Dalil – dalil wajib wudhu’ :
1. Ayat Al – Qur’an surat Al – Maidah ayat 6 yang artinya “ Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan ke dua mata kaki …”
2. Hadits Rasul SAW
لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya :
“Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi )
a). Fardhu wudhu’ yaitu :


1. Niat
2. Membasuh muka
3. Membasuh tangan
4. Menyapu kepala
5. Membasuh kaki
6. Tertib


b). Sunat wudhu’ yaitu :
1. Membaca basmalah pada awalnya
2. Membasuh ke dua telapak tangan sampai ke pergelangan sebanyak tiga kali, sebelum berkumur – kumur, walaupun diyakinin tangannya itu bersih
3. Madmanah, yakni berkumur – kumur memasukan air ke mulut sambil mengguncangkannya lalu membuangnya.
4. Istinsyaq, yakni memasukan air ke hidung kemudian membuangnya
5. Meratakan sapuan keseluruh kepala
6. Menyapu kedua telinga
7. Menyela – nyela janggut dengan jari
8. Mendahulukan yang kanan dari kiri
9. Melakukan perbuatan bersuci itu tiga kali – tiga kali
10. Muwalah, yakni melakukan perbuatan tersebut secara beruntun
11. Menghadap kiblat
12. Mengosok – gosok anggota wudhu’ khusus nya bagian tumit
13. Menggunakan air dengan hemat
c). Terdapat tiga pendapat mengenai kumur – kumur dan menghisap air di dalam wudhu’ yaitu :
1. Kedua perbuatan itu hukumnya sunah. Ini merupakan pendapat Imam Malik, asy- Syafi’I dan Abu hanifah.
2. Keduanya fardhu’ , di dalam wudhu’. Dan ini perkataan Ibnu abu Laila dan kelompoka murid Abu Daud
3. Menghisap air adalah fardhu’, dan berkumur-kumur adalah sunah. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, Abu Ubadah dan sekelompok ahli Zahir.Dalam wudhu’ terdapat niat. Ada beberapa pendapat mengenainya. Sebagian Ulama amshar berpendapat bahwa niat itu menjadi syarat sahnya wudhu’, mereka adalah Ima as- syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, dan Daud. Sedang Fuqoha lainnya berpendapat bahwa niat tidak menjadi syarat ( sahnya wudhu’ ). Mereka adalah abu Hanifah, dan Ats- sauri. Perbedaan mereka karena, perbedaan pandangan mengenai wudhu’ itu sendiri. Yang memang bukan ibadah murni seperti sholat. Hal ini dilakukan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
d).  Hal – hal yang membatalkan wudhu’ :
1. Keluar sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun , benda padat atau cair, angin. Terkecuali maninya sendiri baik yang biasa maupun tidak, keluar sendirinya atau keluar daripadanya. Dalil yang berkenaan dengan hal in yaitu surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya “ … atau keluar dari tempat buang air ( kakus ) … “
2. Tidur, kecuali duduk keadaan mantap. Tidur merupakan kegiatan yang tidak kita sadari, maka lebih baik berwudhu’ lagi karena dikhawatirkan pada saat tidur ( biasanya ) duburnya keluar sesuatu tanpa ia sadari.
3. Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk, atau lainnya. Batalnya wudhu’ dengan hilangnya akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, degan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya.
4. Bersentuh kulit laki – laki dan perempuan. Firman Allah dalam surat An – Nisa ayat 43 yang artinya “ … atau kamu telah menyentuh perempuan ..” . Hal tersebut diatasi pada sentuhan :
Ø Antara kulit dengan kulit
Ø Laki- laki dan perempuan yang telah mencapai usia syahwat
Ø Diantara mereka tidk ada hubungan mahram
Ø Sentuhan langsung tanpa alas atau penghalang
5. Menyentuh kemaluan manusia dengan perut telapak tangan tanpa alas.
b. Mandi ( al – ghusl )
Menurut lughat, mandi disebut al – ghasl atau al – ghusl yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan di dalam syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh disertai dengan niat.
a). Fardhu’ yang mesti dilakukan ketika mandi yaitu :
1. Niat.
2. Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit.  
b).Untuk kesempurnaan mandi, di sunatkan pula mengerjakan hal-hal berikut ini :
1) Membaca basmalah
2) Membasuh tangan sebelum memasukannya ke dalam bejana
3) Bewudhu’ dengan sempurna sebelum memulai mandi
4) Menggosok seluruh tubuh yang terjangkau oleh tangannya
5) Muwalah
6) Mendahulukan menyiram bagian kanan dari tubuh
7) Menyiram dan mengosok badan sebanyak- banyaknya tiga kali
c). Sebab – sebab yang mewajibkannya mandi :
1) Mandi karena bersenggama
2) Keluar mani
3) Mati, kecuali mati sahid
4) Haidh dan nifas
5) Waladah ( melahirkan )
6) Sembuh dari gila ( hilang akal )
7) Bertemunya dua alat kelamin walaupun tanpa mengeluarkan air mani
Perempuan diwajibkan mandi setelah melahirkan, walaupun ’ anak ‘ yang di lahirkannya itu belum sempurna. Misalnya masih merupakan darah beku ( alaqah ), atau segumpal daging ( mudghah ).
c. Tayammum
Tayammum menurut lughat yaitu menyengaja. Menurut istilah syara’ yaitu menyampaikan tanah ke wajah dan tangan dengan beberapa syarat dan ketentuan. Macam Thaharah yang boleh diganti dengan tayamum yaitu bagi orang yang junub. Hal ini terdapat dalam surat Al – Maidah ayat 6, yang artinya “…dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik ( bersih )…“
a). Tayammum itu dibenarkan apabila terpenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1. Ada uzur, sehingga tidak dapat menggunakan air. Uzur mengunakan air itu terjadi dikarenakan sedang dalam perjalanan ( musafir ), sakit, hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum, yaitu :
Ø   Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsungbertayammum tanpa harus mencari air lebih dulu.
Ø   Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air di tempat- tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
Ø   Ia yakin ada air di sekitar tempatnya itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum.
2. Masuk waktu shalat
3. Mencari air setelah masuk waktu shalat, dengan mempertimbangkan pembahasan no 1
4. Tidak dapat menggunakan air dikarenakan uzur syari’ seperti takut akan pencuri atau ketinggalan rombongan
5. Tanah yang murni ( khalis ) dan suci. Tayammum hanya sah dengan menggunakan ‘turab’, tanah yang suci dan berdebu. Bahan-bahan lainnya seperti semen, batu, belerang, atau tanah yang bercampur dengannya, tidak sah dipergunakan untuk bertayammum.


b). Rukun tayammum, yaitu :
1) Niat istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya. Dalil wajibnya niat disini ialah Hadits yang juga dikemukakan sebagai dalil niat pada wudhu’. Niat ini serentak dengan pekerjaan pertama tayammum, yaitu ketika memindahkan tanah ke wajah.
2) Menyapu wajah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 43 yang artinya “…sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya Allah mahapemaaf lagi maha pengampun “ .
3) Menyapu kedua tangan.
Fuqoha berselisih pendapat mengenai batasan tangan yang diperintahkan Allah untuk disapu. Hal seperti tersebut terdapat dalam Al- Quran surat Al – Maidah ayat 6 yang artinya “ … sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.. “. Berangkat dari ayat tersebut lahirlah pendapat berikut ini :
Ø Berpendirian bahwa batasan yang wajib untuk melakukan tayammum adalah sama dengan wudhu’ , yakni sampai dengan siku-siku ( madzhab maliki )
Ø Bahwa yang wajib adalah menyapu telapak tangan ( ahli zahir dan ahli Hadits )
Ø Berpendirian bahwa yang wajib hanyalah menyapu sampai siku-siku ( imam malik)
Ø Berpendirian bahwa yang wajib adalah menyapu sampai bahu. Pendapat yan asing ini diriwayatkan oleh Az – Zuhri dan Muhammad bin Maslamah.
4) Tertib, yakni mendahulukan wajah daripada tangan.
c). Hal-hal yang sunat dikerjakan pada waktu tayammum yaitu :
1. Membaca basmalah pada awalnya
2. Memulai sapuan dari bagian atas wajah
3. Menipiskan debu di telapak tangan sebelum menyapukannya
4. Meregangkan jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah
5. Mendahulukan tangan kanan dari tangan kiri
6. Menyela nyela jari setelah menyapu kedua tangan
7. Tidak mengangakat tangan dari anggota yang sedang disapu sebelum selesai menyapunya
8. Muwalah
Hal –hal yang membatalkan tayammum , yaitu semua yang membatalkan wudhu’, melihat air sebelum melakukan sholat , murtad.

Thaharah Dari Najis
Benda-benda yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang membusuk, ( ma’ al – quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi , dan anak keduanya, susu binatang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita. Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat Al – Mudatsir ayat 4. Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidak bisa dibersihkan ( dihilangkan ) kecuali dengan air. Selain itu bisa dengan batu, sesuai dengan kesepakatan ( Imam Malik dan Asy – Syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersiohkan najis adalah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, sebagian fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yang belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “Menyucikan bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam bejana itu, ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya dengan tanah.”

III.  SHOLAT

A. Definisi & Pengertian Sholat Fardhu / Wajib Lima Waktu
Menurut bahasa shalat artinya adalah berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan yang ada.
B. Hukum, Tujuan dan Syarat Solat Wajib Fardhu 'Ain
Hukum sholat fardhu lima kali sehari adalah wajib bagi semua orang yang telah dewasa atau akil baligh serta normal tidak gila. Tujuan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar.
Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu, yaitu:
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur
Syarat sah pelaksanaan sholat adalah sebagai berikut ini :
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat

C. Rukun Shalat
Dalam sholat ada rukun-rukun yang harus kita jalankan, yakni :
1. Niat
2. Posisis berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat al-fatihah
5. Ruku / rukuk yang tumakninah
6. I'tidal yang tuma'ninah
7. Sujud yang tumaninah
8. Duduk di antara dua sujud yang tuma'ninah
9. Sujud kedua yang tuma'ninah
10. Tasyahud
11. Membaca salawat Nabi Muhammad SAW
12. Salam ke kanan lalu ke kiri
D. Yang Membatalkan Aktivitas Sholat Kita
Dalam melaksanakan ibadah salat, sebaiknya kita memperhatikan hal-hal yang mampu membatalkan shalat kita, contohnya seperti :
1.      Menjadi hadas / najis baik pada tubuh, pakaian maupun lokasi
2.      Berkata-kata kotor
3.      Melakukan banyak gerakan di luar sholat bukan darurat
4.      Gerakan sholat tidak sesuai rukun shalat dan gerakan yang tidak tuma'ninah.

IV. ZAKAT
Pengertian Zakat
  1. Makna Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.
  1. Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah
    1. Zakat (QS. Al Baqarah : 43)
    2. Shadaqah (QS. At Taubah : 104)
    3. Haq (QS. Al An'am : 141)
    4. Nafaqah (QS. At Taubah : 35)
    5. Al 'Afuw (QS. Al A'raf : 199)
  2. Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
  1. Macam-macam Zakat
    1. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
    2. Zakat Maal (harta).
  2. Syarat-syarat Wajib Zakat
    1. Muslim
    2. Aqil
    3. Baligh
    4. Memiliki harta yang mencapai nishab
V. PUASA

Arti Puasa
Puasa menurut bahasa berarti menahan dari sesuatu. Dalam al-qur'an Surah Maryam Ayat 26. yang berarti diam dan menahan untuk berbicara.
Adapun puasa menurut istilah adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa yang disertai niat pada siang hari mulai dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa puasa itu menahan diri dari dua syahwat ( perut dan farj(kemaluan) ) dan dari segala yang memasuki tenggorokan seperti obat dan lain sebagainya pada waktu tertentu yaitu dari terbitnya fajar kedua/shadik sampai kepada tenggelamnya matahari dari orang tertentu(yang wajib puasa) seperti orang muslim, baligh, berakal dan tidak dalam keadaan haid dan nifas(wanita baru melahirkan) disertai dengan niat ( keinginan hati untuk melaksanakan suatu pekerjaan tanpa ada keraguan) untuk membedakan antara ibadah dan adap (kebiasaan).

Rukun Puasa
Menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan atau menahan diri hal-hal yang membatalkan puasa. Ulama Malikiyah dan Syafiiyah menambahkan satu rukun lagi yaitu niat berpuasa pada malamnnya.

Waktu Puasa
Dari terbit sampai tenggelamnya matahari. Adapun daerah dimana siang dan malam sama panjangnya. Atau kadang siang lebih panjang dari malamnya seperti Bulgaria, maka waktu puasanya mengikuti negara terdekat atau disesuaikan dengan waktu Mekah.

Manfaat Puasa
Manfaat dari ibadah puasa banyak sekali dari segi rohani dan materi. Puasa merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah. Pahala yang diberikan kepada siapapun yang melakukannya tidak terbatas. Karena puasa itu spesial untuk Allah yang memiliki kemurahan yang luas. Orang yang ikhlas berpuasa berhak memasuki pintu khusus yang disebut "Ar-Rayyan".
Puasa Ibaratnya sebuah sekolah tatakrama yang agung, dimana orang beriman selama berpuasa melatih beberapa hal. Puasa merupakan perang jiwa, perlawanan terhadap hawa nafsu dan godaan syaitan yang selalu melambai.

Selama berpuasa seseorang membiasakan diri bersabar terhadap hal-hal yang kadang tidak dibolehkan, hawa nafsu yang menghadangnya.

VI. HAJI
 A.    Pengertian Haji dan Umrah
 Haji dalam arti berkunjung ke suatu tempat tertentu untuk tujuan ibadah, dikenal oleh umat manusia melalui tuntunan agama, khususnya di belahan timur dunia kita ini. Ibadah ini diharapkan dapat mengantar manusia kepada pengenalan jati diri, membersihkan, dan menyucikan jiwa mereka.
Umrah adalah berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan Thawaf, Sa’i dan Tahallul dalam waktu yang tidak ditentukan, untuk mencari keridhaan Allah SWT.
Umrah diwajibkan pada kaum muslimin – muslimat sekali seumur hidup bagi yang sudah mampu, sebagaimana Haji. Wajib umrah hanya satu yaitu ihram dari Miqat.
﴿٩٧﴾ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali-Imron: 97)
 B.     Cara-Cara Haji dan Umrah
-          Syarat-Syarat Haji dan Umrah
a)      Islam
b)      Baligh
c)      Berakal sehat
d)     Merdeka
e)      Mampu. Mampu di sini memiliki dua pengertian
1.      Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya dengan beberapa syarat sebagai berikut
a.       Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekkah dan kembalinya
b.      Ada kendaraan yang pantas dengan keadaannya
c.       Aman perjalanannya
d.      Syarat wajib bagi perempuan, hendaklah ia berangkat dengan mahramnya
2.     Mampu mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh yang bersangkutan, tetapi dengan jalan menggantinya dengan orang lain. Misalkan seorang yang telah meninggal dunia, sedangkan sewaktu hidupnya ia sudah memenuhi syarat-syarat wajib haji maka hajinya wajib dikerjakan oleh orang lain.

 -          Rukun Haji dan Umrah
1.      Pakaian dan Niat Ihram
Pertama dianjurkan memakai ihram dengan cara memasukkan bagian atas ihram melalui ketiak sebelah kanan dan menyelempangkannya ke bahu sebelah kanan (idthiba’). Kedua, setelah memakai pakaian ihram, dianjurkan melakukan solat sunnah dua rakaat. Pada rakaat pertama baca surat Al-Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlas. Ketiga niat ihram untuk haji dan atau umrah dilakukan setelah memakai pakaian. Keempat, sejak memakai pakaian ihram sampai tahallul selesai, diharamkan melakukan sekian banyak aktifitas tertentu. Tidak dibenarkan lagi:
a)      Memakai pakaian berjahit
b)      Menggunakan wangi-wangian, minyak, krim, dan semacamnya
c)      Menggunting atau mencabut rambut apapun dari badan manusia
d)     Menggunting kuku, walaupun dengan menggigitnya
e)      Menikah atau menikahkan
f)       Bersetubuh, bercumbu, berciuman, berpegang-pegangan dengan syahwat
g)      Berburu binatang atau mengusiknya
 2.      Thawaf
Ada dua belas syarat bagi sahnya thawaf, yaitu :
a)      Berkeliling tujuh kali putaran secara pasti, kalau ragu pilih bilangan yang pasti, yakni yang sedikit.
b)      Setiap memulai putaran berikutnya, harus sejajar dengan batas akhir dari putaran sebelumnya, dan pada putaran terakhir harus melampauinya.
c)       Dilakukan dalam Masjidil Haram, betapapun besarnya masjid. Melakukan thawaf di lantai atas Masjidil Haram dapat dibenarkan.
d)     Seluruh badan yang berthawaf harus berada di luar ka’bah.
e)      Menutup aurat. Aurat pria adalah pusar sampai dengan lututnya, dan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.
f)       Suci dari hadas kecil dan hadas besar (harus dalam keadaan berwudhu).
g)      Tidak dialihkan oleh sesuatu apapun dari tujuan melakukan thawaf.
h)      Memulai thawaf dari arah yang sejajar dengan hajar aswad.
i)        Thawaf dilakukan sejajar dengan arah hajar aswad atau sebagiannya dengan bagian kiri tubuh yang sedang melakukan thawaf.
j)        Berjalan menghadap ke depan. Kalau seorang berjalan dengan mundur, maka thawafnya tidak sah.
k)      Ka’bah harus selalu berada di sebelah kiri sepanjang melakukan thawaf.
l)        Thawaf dilakukan harus dengan tujuan mengelilingi ka’bah.
 3.      Sa’I antara Safa dan Marwa
Selesai melakukan shalat, thawaf, dan minum air zam-zam, jamaah menuju ke arena sa’i. Sa’i itu dinilai sah apabila memenuhi lima syarat yaitu :
 a)      Dilakukan tujuh kali.
b)      Perjalanan setiap sa’i tersebut harus mencakup seluruh jarak Shafa dan Marwa, serta dilaksanakan di tempat yang ditentukan.
c)      Sa’i dilakukan sesudah thawaf.
d)     Orang yang melakukannya tidak dialihkan oleh sesuatu sebagaimana syaratnya disebut diatas dalam thawaf.
e)      Memulai yang ganjil dari Shafa dan memulai yang genap dari Marwa.
 4.      Tahallul
Orang yang melaksanakan umrah saja atau bermaksud melaksanakan haji dengan cara tamattu’ (memisahkan antara haji dan umrah), maka dengan selesainya sa’i, ia dapat segera masuk ke kewajiban terakhir yaitu memotong rambut, bila sa’i telah selesai, maka ia boleh bertahallul.
Tahallul ditandai dengan menggunduli atau mencukur atau memotong sedikitnya tiga helai rambut kepala sebatas ujung jari tangan. Ini buat para pria dan wanita. Dianjurkan juga untuk menggunting dari seluruh arah rambut, depan, belakang, dan samping kanan dan kiri. Pria bahkan dianjurkan untuk menggunduli kepalanya. Jangan sampai seseorang yang bukan mahram menggunting rambut pria atau wanita yang bukan mahramnya.
Dalam ibadah haji dikenal dua macam tahallul. Tahallul yang pertama dilakukan setelah melakukan dua dari tiga hal berikut :
a)      Melontar
b)      Thawaf ifadhah dan sa’i
c)      Bercukur
 5.      Mina dan ‘Arafah
Tanggal 8 Dzulhijjah yakni sehari sebelum wukuf di Arafah, jamaah haji dianjurkan untuk menuju ke Mina. Disana sebaiknya mereka melaksanakn solat dzuhur, asar, magrib, isya, dan solat subuh keesokan harinya. Wukuf adalah keberadaan di Arafah. Tidak ada amalan atau bacaan tertentu yang berkaitan dengan ibadah haji yang diwajibkan disana. Sehingga jika seorang jamaah berada di sana pada waktu wukuf, walaupun ia tidak mengetahui bahwa tempat itu adalah Arafah, maka wukufnya dinilai sah.
 6.      Arafah, Muzdalifah, dan Mina
Perjalanan meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah dilakukan setelah solat magrib dan isya dengan jamak tiga dan dua rakaat. Keberadaan di Muzdalifah, walaupun hanya sesaat namun harus setelah lewat tengah malam. Di sana jamaah mengambil kerikil kecil sebesar biji kurma yang digunakan melontar jumrah di Mina. Pengambilan kerikil walaupun dibenarkan dari tempat lain seperti di Mekah, Mina, Arafah dan sekitarnya namun pengambilan dari Muzdalifah sangat dianjurkan. Selain pelontaran pertama yang dinamai jumrah aqabah maka jumlah kerikil yang anda butuhkan adalah 49 butir. Tujuh butir digunakan untuk melontar jumrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, dan masing-masing 21 untuk kedua jumrah pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah.
 7.      Melontar
a)      Syarat dan cara melontar
Melontar harus menggunakan batu. Untuk setiap melontar (jumrah) dilakukan sebanyak tujuh kali dengan tujuh kerikil yang berbeda. Lontaran itu harus dilakukan dengan tangan dan dimaksudkan untuk diarahkan ke tempat melontar, serta diyakini atau diduga keras telah mencapai sasaran.
b)      Waktu melontar
Untuk lontaran jumrah aqabah (tujuh batu pertama) yakni setelah wukuf di Arafah, waktunya dimulai setelah tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah sampai dengan subuh tanggal 11 Dzulhijjah. Bagi orang yang langsung pergi ke Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah hendaknya ia memperhatikan waktu itu, walaupun hakikatnya batas akhir waktu yang dapat ditolerir adalah sampai dengan berakhirnya hari-hari tasrik. Jika ini pun tidak dilakukan, maka orang yang bersangkutan wajib membayar dam berupa seekor kambing, atau puasa tiga hari di Mekah dan tujuh hari setelah kembali ke tanah air.
 8.      Thawaf Ifadhah
Thawaf ini merupakan salah satu rukun haji. Thawaf Ifadhah waktunya bermula sejak malam 10 Dzulhijjah, tanpa ada batas waktu. Namun demikian, perlu diingat bahwa thawaf dilakukan dengan keadaan suci.
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ ﴿٢٩﴾
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj: 29)
 9.      Thawaf Wada’
Thawaf Wada atau thawaf perpisahan dilakukan pada saat seseoarang meninggalkan kota Mekah. Thawaf ini dinilai oleh mayoritas ulama adalah wajib, walaupun ada juga yang menilainya mustahabb yakni dianjurkan.




PENGERTIAN ILMU FIQIH, USHUL FIQIH, DAN PERBEDAANNYA.
THAHARAH, SHALAT, ZAKAT, PUASA, HAJI DAN UMRAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Fiqh

DISUSUN OLEH :
Ø AHMAD FAUZI PANGESTU
Ø AHMAD KHOLIS
FAK/ JUR : SYARIAH / AS


INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat,taufik dan hidayahNya kepada kita sehingga kita masih diberi kenikmatan baik yang  berupa kenikmatan jasmani maupun kenikmatan yang paling utama yaitu iman dan islam, Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW,  Beliau yang telah menuntun kita dari zaman yang biadab menuju zaman yang beradab yakni dengan ajaran agama Islam.

Alhamdulillah akhirnya penyusun  dapat menyelesaikan makalah dengan judul Pengertian Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Dan Perbedaannya.
Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji Dan Umrah”, walaupun masih kekurangan dari yang diharapkan.

Selanjutnya penyusun memohon kritik dan saran dari semua pihak untuk lebih sempurnanya makalah ini dan penulis berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat, terutama bagi yang membutuhkannya.


Tasikmalaya,  29 September 2014


Penyusun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar