BABI
PENDAHULUAN
Latar belakang
Para
ulama sepakat bahwa tindakan manusia; baik berupa perbuatan maupun ucapan,
dalam hal ibadah maupun muamalah berupa tindak pidana maupun perdata, masalah
akad atau pengelolaan, dalam syariat islam semuanya masuk dalam wilayah hukum.
Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Al Sunnah dan
sebagian tidak. Tetapi syariat islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda
tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang mujtahid
dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan
hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.
Dari
kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan tindakan manusia yang
diambil dari nash-nash yang ada atau dari pembentukan hukum berdasarkan dalil
syarat yang tidak ada nashnya, terbentukalah ilmu Fiqih
.
Ilmu
Fiqih menurut syara’ adalah pengetahuan
tenyang hukum syariat yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya
secara detail.
Berdasarkan
penelitian, para ulama telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai
hukum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat yaitu:
1.
Al-Qur’an,
2. Al-Sunnah,
3. Al-Ijma, dan
4. Al-Qiyas.
Dan bahwa sumber
pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum syariat adalah al-Qur’an
kemudian al-Sunnah sebagai penjelas atas keglobalan al-Qur’an, pembatasan
keumumannya, pengikat kebebasannya dan sebagai penerangan serta penyempurna.
Dari keseluruhan kaidah dan hasil penelitian tentang hukum islam, maka
terlahirlah Ushul Fiqih.
Ushul
fiqih adalah kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan
hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari
dalil-dalilnya yang terperinci. Untuk lebih jelasnya saya akan membahas tentang
Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan perbedaannya pada bab selanjutnya.
BAB II
Pengertian Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan
Perbedaannya.
1. Ilmu Fiqih
A. Pengertian Ilmu
Fiqih
Fiqih menurut
bahasa bermakna : tahu dan paham, sedangkan menurut istilah,
banyak ahli fiqih (fuqoha’) mendefinisikan berbeda-beda tetapi mempuyai
tujuan yang sama diantaranya :
Ulma’ Hanafi
mendifinisikan fiqih adalah :
عِلْمٌ
يُبَيِّنُ اْلحُقُوْقَ وَاْلوَاجِبَآتِ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ
اْلمُكَلَّفِيْنَ
“Ilmu yang menerangkan segala hak
dan kewajiban yang berhubungan amalan para mukalaf”.
Sedangkan
menurut pengikut Asy Syafi’i mengatakan bahwa fiqih
(ilmu fiqih) itu ialah :
العِلْمُ
الَّذِي يُبَيِّنُ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَآلِ
اْلمُكَلَّفِيْنَ اْلمُسْتَنْبِظَةِ مِنْ اَدِلَّتِهَآ التَّفْصِيْلِيَّةِ
“ilmu yang menerangkan segala
hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang dikeluarkan
(diistimbatkan) dari dalil-dalil yang jelas (tafshili)”.
Sedangkan
Jalalul Mahali mendifinisikan fiqih sebagai :
الأَحْكَامُ
الشَّرْعِيَّةُ العَمَلِيَّةُ المُكْتَسِبَةُ مِنْ اَدِلَّتِهَآ
التَفْصِيْلِيَّةِ
“ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang berhubungan dengan amaliyah yang diusahakan memperolehnya dari dalil
yang jelas (tafshili)”.
Sedangkan
menurut Abdul Wahab Khallaf pengertian fiqih adalah :
“pengetahuan
tentang hukum-hukum syariat Islam memngenahi perbuatan manusia, yang diambil
dari dalil-dalilnya secara rinci”.
Jadi dapat disimpulkan dari difinisi-definisi
di atas, fiqih adalah : ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau
perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath
dalil-dalil syariat Islam.
Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg
berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqih itu ialah ilmu pengetahuan yang
membiacarakan/ membahas/ memuat hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber
pada Al-Qur’an, Al-Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah
diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul
Fiqih. Dengan demikian berarti bahwa fiqih itu merupakan formulasi dari
Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan
oleh ummatnya. Hukum itu berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf
(Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan
ajaran syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar,
sudah masuk Islam).
B B. Objek Kajian Fiqih
Hukum yang diatur dalam fiqih
Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh
dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah,
batal, benar, salah, berpahala, berdosa
dan sebagainya.
Meskipun ada
perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam
membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam
menjadikan Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun
dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka
sama-sama mengambil dari sumber yang sama.
Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum
hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad,
maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad
itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid
mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya.
Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan
menerbitkan topik-topik (bab-bab) kajian fiqih. Menurut yang umum dikenal di
kalangan ulama fiqih secara awam, objek pembahasan fiqih itu adalah empat,
yang sering disebut Rubu diantaranya:
1) Rubu’
ibadat;
2) Rubu
‘ muamala;
3) Rubu’
munakaha, dan
4) Rubu’jinayat.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab
ibadah, bab mu’amalat, bab ’uqubat. Menurut Prof. T.M.
Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi
8 (delapan) objek kajian:
a) Ibadah
Dalam bab ini dibicarakan dan
dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan
berikut ini:
1) Tharah
(bersuci);
2) Ibadah
(sembahyang);
3) Shiyam
(puasa);
4) Zakat;
5) Haji, dan
lain-lain.
b) Ahwalusy
Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan
dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan
pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan:
1) Nikah;
2) Khitbah;
3) Mu’asyarah;
4) Talak;
5) Fasakh, dan
lain-lain.
c) Muamalah
Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja,
dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara
mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah:
1) Buyu’
(jual-beli);
2) Khiyar;
3) Riba’;
4) Sewa-
menyewa;
5) Pinjam
meminjam;
6) Waqaf, dan
lain-lain.
* Dari segi niat dan manfaat,
waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok ibadah, tetapi dari segi
barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok muamalah.
d) Muamalah
Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul
mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang
dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama,
baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara =
baitul mal). Pembahasan di sini meliputi;
1) Status milik
bersama baitul mal;
2) Sumber
baitul mal;
3) Cara
pengelolaan baitul mal, dan lain-lain.
e) Jinayah dan
‘Uqubah (pelanggaran dan hukum)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqih
ada yang menyebut jinayah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas
masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan
pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan
ini meliputi;
1) Pelanggaran;
2) Qishash;
3) Diyat;
4) Hukum
pelanggaran, kejahatan, dan lain-lain.
f) Murafa’ah
atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan
dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan
peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi:
1) Peradilan
dan pendidikan;
2) Hakim dan
Qadi;
3) Gugatan;
4) Pembuktian
dakwah;
5) Saksi, dan
lain-lain.
g) Ahkamud
Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan
dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan
ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1) Kepala
Negara dan waliyul amri;
2) Syarat
menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3) Hak dan
kewajiban Waliyul amri;
4) Hak dan
kewajiban rakyat;
5) Musyawarah
dan demokrasi;
6) Batas-batas
toleransi dan persamaan, dan lain-lain.
h) Ahkamud
Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan
dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah
hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi;
1)
Hubungan antar negara, sesama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika
damai atau dalam situasi perang;
2) Ketentuan
untuk orang dan damai;
3) Penyerbuan;
4) Masalah
tawanan;
5) Upeti,
Pajak, rampasan;
6) Perjanjian
dan pernyataan bersama;
7) Perlindungan;
8) Ahlul ’ahdi,
ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9) Darul Islam,
darul harb, darul mustakman.
Setelah memperhatikan begitu luasnya objek
kajian fiqih. dapatlah kita bayangkan seluas apa pula ruang lingkup
pengajaran agama.
C. C. Tujuan
fiqih
tujuan ilmu fiqih adalah
menerapkan hukun syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga
ilmu fiqih menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya, seorang mufti
dalam fatwanya dan seorang mukhallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas
ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada
pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan
hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia. juga mengenalkan kepada
mikallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya.
Dengan ilmu fiqih, kita dapat
mengetahui bagaimana kita menyelenggarakan nikah, talak, bagaimana memelihara
jiwa, harta dan kehormatan, tegasnya menetahui hukum-hukum yang harus berlaku
dalam masyarakat umum.
|
2.
Perbedaan Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih
Jelaslah
perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih, bahwa ushul fiqih merupakan metode
(cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih (faqih) di dalam menetapkan
hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali
tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan
dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an
dan Hadits. Sedangkan fiqih adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan
methode-methode tersebut.
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses
pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul
Fiqih" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul
Fiqih" yang berarti asal-usul Fiqih. Maksudnya, pengetahuan
Fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul
Fiqih. Pengetahuan Fiqih adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk
Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul
Fiqih. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan
Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan
dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya
dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara
menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan
Ushul Fiqih.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli
Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai
ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum
syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini
digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk
menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah
Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum
Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula
peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat
ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
BAB III
PENGERTIAN DAN BAGIAN-BAGIAN IBADAH, THAHARAH, SHOLAT,
ZAKAT, PUASA DAN HAJI
I. IBADAH
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi)
berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi),
ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu
antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla,
yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang
dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan,
yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling
lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati,
lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah
(cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah
ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).
Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan
dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah
qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang
berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah
berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki
sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan
kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58]
II. PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah
berarti bersih ( nadlafah ), suci ( nazahah ) terbebas ( khulus ) dari kotoran
( danas ). Seperti tersebut dalam surat Al- A’raf ayat 82 :
إنّهم انا س
يتطهّرون
Yang artinya : “ Sesungguhnya mereka
adalah orang – orang yang berpura – pura mensucikan diri “. Dan pada surat Al –
Baqorah ayat 222 :
إنّ الله يحبّ
التّوّابين و يحبّ المتطهّرين
Yang artinya : “ Sesungguhnya Allah
menyukai orang – orang yang bertaubat dan orang – orang yang mensucikan diri “
Menurut syara’
thaharah itu adalah mengangkat ( menghilangkan ) penghalang yang timbul dari
hadats dan najis. Dengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu
thaharah dari hadats dan thaharah dari najis.
Thaharah dari
hadats
Thaharah dari
hadats ada tiga macam yaitu wudhu, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan
untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk
tayammum.
a. Wudhu’
Menurut lughat
( bahasa ), adalah perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu. Dalam
istilah syara’ wudhu’ adalah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat. Mula
– mula wudhu’ itu diwajibkan setiap kali hendak melakukan sholat tetapi
kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats. Dalil – dalil wajib
wudhu’ :
1. Ayat Al –
Qur’an surat Al – Maidah ayat 6 yang artinya “ Hai orang – orang yang beriman,
apabila kamu hendak melakukan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan ke dua
mata kaki …”
2. Hadits Rasul
SAW
لا يقبل الله
صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya :
“Allah tidak
menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR
Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi )
a). Fardhu wudhu’ yaitu :
1. Niat
2. Membasuh muka
3. Membasuh tangan
4. Menyapu kepala
5. Membasuh kaki
6. Tertib
b). Sunat wudhu’ yaitu :
1. Membaca
basmalah pada awalnya
2. Membasuh ke
dua telapak tangan sampai ke pergelangan sebanyak tiga kali, sebelum berkumur –
kumur, walaupun diyakinin tangannya itu bersih
3. Madmanah,
yakni berkumur – kumur memasukan air ke mulut sambil mengguncangkannya lalu
membuangnya.
4. Istinsyaq,
yakni memasukan air ke hidung kemudian membuangnya
5. Meratakan
sapuan keseluruh kepala
6. Menyapu
kedua telinga
7. Menyela –
nyela janggut dengan jari
8. Mendahulukan
yang kanan dari kiri
9. Melakukan
perbuatan bersuci itu tiga kali – tiga kali
10. Muwalah,
yakni melakukan perbuatan tersebut secara beruntun
11. Menghadap
kiblat
12. Mengosok –
gosok anggota wudhu’ khusus nya bagian tumit
13. Menggunakan
air dengan hemat
c). Terdapat
tiga pendapat mengenai kumur – kumur dan menghisap air di dalam wudhu’ yaitu :
1. Kedua
perbuatan itu hukumnya sunah. Ini merupakan pendapat Imam Malik, asy- Syafi’I
dan Abu hanifah.
2. Keduanya
fardhu’ , di dalam wudhu’. Dan ini perkataan Ibnu abu Laila dan kelompoka murid
Abu Daud
3. Menghisap
air adalah fardhu’, dan berkumur-kumur adalah sunah. Ini adalah pendapat Abu
Tsaur, Abu Ubadah dan sekelompok ahli Zahir.Dalam wudhu’ terdapat niat. Ada
beberapa pendapat mengenainya. Sebagian Ulama amshar berpendapat bahwa niat itu
menjadi syarat sahnya wudhu’, mereka adalah Ima as- syafi’I, Malik, Ahmad, Abu
Tsaur, dan Daud. Sedang Fuqoha lainnya berpendapat bahwa niat tidak menjadi
syarat ( sahnya wudhu’ ). Mereka adalah abu Hanifah, dan Ats- sauri. Perbedaan
mereka karena, perbedaan pandangan mengenai wudhu’ itu sendiri. Yang memang
bukan ibadah murni seperti sholat. Hal ini dilakukan demi mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
d). Hal – hal yang membatalkan wudhu’ :
1. Keluar
sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun , benda padat atau cair, angin.
Terkecuali maninya sendiri baik yang biasa maupun tidak, keluar sendirinya atau
keluar daripadanya. Dalil yang berkenaan dengan hal in yaitu surat Al- Maidah
ayat 6 yang artinya “ … atau keluar dari tempat buang air ( kakus ) … “
2. Tidur,
kecuali duduk keadaan mantap. Tidur merupakan kegiatan yang tidak kita sadari,
maka lebih baik berwudhu’ lagi karena dikhawatirkan pada saat tidur ( biasanya
) duburnya keluar sesuatu tanpa ia sadari.
3. Hilang akal,
dengan sebab gila, mabuk, atau lainnya. Batalnya wudhu’ dengan hilangnya akal
adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, degan kehilangan kesadaran sebagai
persamaannya.
4. Bersentuh
kulit laki – laki dan perempuan. Firman Allah dalam surat An – Nisa ayat 43
yang artinya “ … atau kamu telah menyentuh perempuan ..” . Hal tersebut diatasi
pada sentuhan :
Ø Antara kulit
dengan kulit
Ø Laki- laki
dan perempuan yang telah mencapai usia syahwat
Ø Diantara
mereka tidk ada hubungan mahram
Ø Sentuhan
langsung tanpa alas atau penghalang
5. Menyentuh
kemaluan manusia dengan perut telapak tangan tanpa alas.
b. Mandi ( al –
ghusl )
Menurut lughat,
mandi disebut al – ghasl atau al – ghusl yang berarti mengalirnya air pada
sesuatu. Sedangkan di dalam syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh
disertai dengan niat.
a). Fardhu’ yang mesti dilakukan ketika
mandi yaitu :
1. Niat.
2. Menyampaikan
air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit.
b).Untuk
kesempurnaan mandi, di sunatkan pula mengerjakan hal-hal berikut ini :
1) Membaca basmalah
2) Membasuh tangan sebelum memasukannya
ke dalam bejana
3) Bewudhu’ dengan sempurna sebelum
memulai mandi
4) Menggosok seluruh tubuh yang terjangkau
oleh tangannya
5) Muwalah
6) Mendahulukan menyiram bagian kanan
dari tubuh
7) Menyiram dan mengosok badan
sebanyak- banyaknya tiga kali
c). Sebab – sebab yang mewajibkannya
mandi :
1) Mandi karena bersenggama
2) Keluar mani
3) Mati, kecuali mati sahid
4) Haidh dan nifas
5) Waladah ( melahirkan )
6) Sembuh dari gila ( hilang akal )
7) Bertemunya dua alat kelamin walaupun
tanpa mengeluarkan air mani
Perempuan diwajibkan mandi setelah
melahirkan, walaupun ’ anak ‘ yang di lahirkannya itu belum sempurna. Misalnya
masih merupakan darah beku ( alaqah ), atau segumpal daging ( mudghah ).
c. Tayammum
Tayammum menurut lughat yaitu menyengaja.
Menurut istilah syara’ yaitu menyampaikan tanah ke wajah dan tangan dengan
beberapa syarat dan ketentuan. Macam Thaharah yang boleh diganti dengan tayamum
yaitu bagi orang yang junub. Hal ini terdapat dalam surat Al – Maidah ayat 6,
yang artinya “…dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik ( bersih )…“
a). Tayammum itu dibenarkan apabila terpenuhi syarat -
syarat sebagai berikut :
1. Ada uzur,
sehingga tidak dapat menggunakan air. Uzur mengunakan air itu terjadi
dikarenakan sedang dalam perjalanan ( musafir ), sakit, hajat. Ada beberapa
kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum, yaitu :
Ø Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu
benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsungbertayammum tanpa harus mencari
air lebih dulu.
Ø Ia tidak yakin,
tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada
keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air di tempat- tempat yang
dianggapnya mungkin terdapat air.
Ø Ia yakin ada
air di sekitar tempatnya itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya
jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang
berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum.
2. Masuk waktu
shalat
3. Mencari air
setelah masuk waktu shalat, dengan mempertimbangkan pembahasan no 1
4. Tidak dapat
menggunakan air dikarenakan uzur syari’ seperti takut akan pencuri atau
ketinggalan rombongan
5. Tanah yang
murni ( khalis ) dan suci. Tayammum hanya sah dengan menggunakan ‘turab’, tanah
yang suci dan berdebu. Bahan-bahan lainnya seperti semen, batu, belerang, atau
tanah yang bercampur dengannya, tidak sah dipergunakan untuk bertayammum.
b). Rukun tayammum, yaitu :
1) Niat
istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah,
seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya. Dalil wajibnya niat disini
ialah Hadits yang juga dikemukakan sebagai dalil niat pada wudhu’. Niat ini
serentak dengan pekerjaan pertama tayammum, yaitu ketika memindahkan tanah ke
wajah.
2) Menyapu
wajah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 43 yang artinya “…sapulah
mukamu dan tanganmu, sesungguhnya Allah mahapemaaf lagi maha pengampun “ .
3) Menyapu
kedua tangan.
Fuqoha
berselisih pendapat mengenai batasan tangan yang diperintahkan Allah untuk
disapu. Hal seperti tersebut terdapat dalam Al- Quran surat Al – Maidah ayat 6
yang artinya “ … sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.. “. Berangkat
dari ayat tersebut lahirlah pendapat berikut ini :
Ø Berpendirian
bahwa batasan yang wajib untuk melakukan tayammum adalah sama dengan wudhu’ ,
yakni sampai dengan siku-siku ( madzhab maliki )
Ø Bahwa yang
wajib adalah menyapu telapak tangan ( ahli zahir dan ahli Hadits )
Ø Berpendirian
bahwa yang wajib hanyalah menyapu sampai siku-siku ( imam malik)
Ø Berpendirian
bahwa yang wajib adalah menyapu sampai bahu. Pendapat yan asing ini
diriwayatkan oleh Az – Zuhri dan Muhammad bin Maslamah.
4) Tertib, yakni mendahulukan wajah
daripada tangan.
c). Hal-hal yang sunat dikerjakan pada waktu tayammum yaitu
:
1. Membaca basmalah pada awalnya
2. Memulai sapuan dari bagian atas
wajah
3. Menipiskan debu di telapak tangan
sebelum menyapukannya
4. Meregangkan jari-jari ketika
menepukannya pertama kali ke tanah
5. Mendahulukan
tangan kanan dari tangan kiri
6. Menyela
nyela jari setelah menyapu kedua tangan
7. Tidak
mengangakat tangan dari anggota yang sedang disapu sebelum selesai menyapunya
8. Muwalah
Hal –hal yang
membatalkan tayammum , yaitu semua yang membatalkan wudhu’, melihat air sebelum
melakukan sholat , murtad.
Thaharah Dari Najis
Benda-benda
yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah,
cairan luka yang membusuk, ( ma’ al – quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi
, dan anak keduanya, susu binatang yang tidak halal diamakan kecuali manusia,
cairan kemaluan wanita. Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah
najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan
ahli Hadits.
Berbagai tempat
yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian
dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada
surat Al – Mudatsir ayat 4. Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu
air. Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa
dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya
menyatakan bahwa najis tidak bisa dibersihkan ( dihilangkan ) kecuali dengan
air. Selain itu bisa dengan batu, sesuai dengan kesepakatan ( Imam Malik dan
Asy – Syafi’I ).
Para ulama
mengambil kata sepakat bahwa cara membersiohkan najis adalah dengan membasuh (
menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, sebagian
fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yang belum menerima
tambahan makanan apapun.
Cara
membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan
membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur
dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “Menyucikan
bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam bejana itu, ialah dengan
membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya dengan tanah.”
III. SHOLAT
A. Definisi & Pengertian Sholat Fardhu / Wajib Lima
Waktu
Menurut bahasa shalat artinya adalah
berdoa, sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratkan
yang ada.
B. Hukum, Tujuan dan Syarat Solat Wajib Fardhu 'Ain
Hukum sholat fardhu lima kali sehari
adalah wajib bagi semua orang yang telah dewasa atau akil baligh serta normal
tidak gila. Tujuan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar.
Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
dulu, yaitu:
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur
Syarat sah pelaksanaan sholat adalah sebagai berikut ini :
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat
C. Rukun Shalat
Dalam sholat ada rukun-rukun yang harus kita jalankan, yakni
:
1. Niat
2. Posisis berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat al-fatihah
5. Ruku / rukuk yang tumakninah
6. I'tidal yang tuma'ninah
7. Sujud yang tumaninah
8. Duduk di antara dua sujud yang tuma'ninah
9. Sujud kedua yang tuma'ninah
10. Tasyahud
11. Membaca salawat Nabi Muhammad SAW
12. Salam ke kanan lalu ke kiri
1. Niat
2. Posisis berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat al-fatihah
5. Ruku / rukuk yang tumakninah
6. I'tidal yang tuma'ninah
7. Sujud yang tumaninah
8. Duduk di antara dua sujud yang tuma'ninah
9. Sujud kedua yang tuma'ninah
10. Tasyahud
11. Membaca salawat Nabi Muhammad SAW
12. Salam ke kanan lalu ke kiri
D. Yang Membatalkan Aktivitas Sholat Kita
Dalam melaksanakan ibadah salat,
sebaiknya kita memperhatikan hal-hal yang mampu membatalkan shalat kita,
contohnya seperti :
1. Menjadi hadas / najis baik pada tubuh, pakaian maupun lokasi
2. Berkata-kata kotor
3. Melakukan banyak gerakan di luar sholat bukan darurat
4. Gerakan sholat tidak sesuai rukun shalat dan gerakan yang
tidak tuma'ninah.
IV. ZAKAT
Pengertian Zakat
- Makna Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat
berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau
dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam (istilah syara'),
zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu,
menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu
(Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Selain itu, ada istilah shadaqah dan
infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat,
sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq
wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.
- Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah
- Zakat (QS. Al Baqarah : 43)
- Shadaqah (QS. At Taubah : 104)
- Haq (QS. Al An'am : 141)
- Nafaqah (QS. At Taubah : 35)
- Al 'Afuw (QS. Al A'raf : 199)
- Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun
Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh
sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang
telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah
(seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten
berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
ummat manusia.
- Macam-macam Zakat
- Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
- Zakat Maal (harta).
- Syarat-syarat Wajib Zakat
- Muslim
- Aqil
- Baligh
- Memiliki harta yang mencapai nishab
V. PUASA
Arti Puasa
Puasa menurut bahasa berarti menahan
dari sesuatu. Dalam al-qur'an Surah Maryam Ayat 26. yang berarti diam dan
menahan untuk berbicara.
Adapun puasa menurut istilah adalah
menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa yang disertai niat pada siang
hari mulai dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
Dari pengertian diatas dapat
dipahami bahwa puasa itu menahan diri dari dua syahwat ( perut dan
farj(kemaluan) ) dan dari segala yang memasuki tenggorokan seperti obat dan
lain sebagainya pada waktu tertentu yaitu dari terbitnya fajar kedua/shadik
sampai kepada tenggelamnya matahari dari orang tertentu(yang wajib puasa)
seperti orang muslim, baligh, berakal dan tidak dalam keadaan haid dan
nifas(wanita baru melahirkan) disertai dengan niat ( keinginan hati untuk
melaksanakan suatu pekerjaan tanpa ada keraguan) untuk membedakan antara ibadah
dan adap (kebiasaan).
Rukun Puasa
Menahan diri dari syahwat perut dan
kemaluan atau menahan diri hal-hal yang membatalkan puasa. Ulama Malikiyah dan
Syafiiyah menambahkan satu rukun lagi yaitu niat berpuasa pada malamnnya.
Waktu Puasa
Dari terbit sampai tenggelamnya
matahari. Adapun daerah dimana siang dan malam sama panjangnya. Atau kadang
siang lebih panjang dari malamnya seperti Bulgaria, maka waktu puasanya
mengikuti negara terdekat atau disesuaikan dengan waktu Mekah.
Manfaat Puasa
Manfaat dari ibadah puasa banyak
sekali dari segi rohani dan materi. Puasa merupakan salah satu bentuk ketaatan
kepada Allah. Pahala yang diberikan kepada siapapun yang melakukannya tidak
terbatas. Karena puasa itu spesial untuk Allah yang memiliki kemurahan yang
luas. Orang yang ikhlas berpuasa berhak memasuki pintu khusus yang disebut
"Ar-Rayyan".
Puasa Ibaratnya sebuah sekolah
tatakrama yang agung, dimana orang beriman selama berpuasa melatih beberapa
hal. Puasa merupakan perang jiwa, perlawanan terhadap hawa nafsu dan godaan
syaitan yang selalu melambai.
Selama berpuasa seseorang membiasakan diri bersabar terhadap hal-hal yang kadang tidak dibolehkan, hawa nafsu yang menghadangnya.
Selama berpuasa seseorang membiasakan diri bersabar terhadap hal-hal yang kadang tidak dibolehkan, hawa nafsu yang menghadangnya.
VI. HAJI
A. Pengertian
Haji dan Umrah
Haji dalam arti berkunjung ke suatu tempat
tertentu untuk tujuan ibadah, dikenal oleh umat manusia melalui tuntunan agama,
khususnya di belahan timur dunia kita ini. Ibadah ini diharapkan dapat
mengantar manusia kepada pengenalan jati diri, membersihkan, dan menyucikan
jiwa mereka.
Umrah
adalah berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan Thawaf, Sa’i dan Tahallul
dalam waktu yang tidak ditentukan, untuk mencari keridhaan Allah SWT.
Umrah
diwajibkan pada kaum muslimin – muslimat sekali seumur hidup bagi yang sudah
mampu, sebagaimana Haji. Wajib umrah hanya satu yaitu ihram dari Miqat.
﴿٩٧﴾… وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلًا …
“Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah.” (Ali-Imron: 97)
B.
Cara-Cara Haji dan Umrah
- Syarat-Syarat
Haji dan Umrah
a)
Islam
b)
Baligh
c)
Berakal sehat
d)
Merdeka
e)
Mampu. Mampu di sini memiliki dua pengertian
1.
Mampu
mengerjakan haji dengan sendirinya dengan beberapa syarat sebagai berikut
a. Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekkah dan kembalinya
b. Ada kendaraan
yang pantas dengan keadaannya
c. Aman
perjalanannya
d. Syarat wajib
bagi perempuan, hendaklah ia berangkat dengan mahramnya
2. Mampu
mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh yang bersangkutan, tetapi dengan
jalan menggantinya dengan orang lain. Misalkan seorang yang telah meninggal
dunia, sedangkan sewaktu hidupnya ia sudah memenuhi syarat-syarat wajib haji
maka hajinya wajib dikerjakan oleh orang lain.
- Rukun Haji
dan Umrah
1.
Pakaian
dan Niat Ihram
Pertama
dianjurkan memakai ihram dengan cara memasukkan bagian atas ihram melalui
ketiak sebelah kanan dan menyelempangkannya ke bahu sebelah kanan (idthiba’).
Kedua, setelah memakai pakaian ihram, dianjurkan melakukan solat sunnah dua
rakaat. Pada rakaat pertama baca surat Al-Kafirun dan rakaat kedua membaca
surat Al-Ikhlas. Ketiga niat ihram untuk haji dan atau umrah dilakukan setelah
memakai pakaian. Keempat, sejak memakai pakaian ihram sampai tahallul selesai,
diharamkan melakukan sekian banyak aktifitas tertentu. Tidak dibenarkan lagi:
a) Memakai pakaian berjahit
b) Menggunakan wangi-wangian, minyak, krim, dan semacamnya
c) Menggunting atau mencabut rambut apapun dari badan manusia
d) Menggunting kuku, walaupun dengan menggigitnya
e) Menikah atau menikahkan
f) Bersetubuh, bercumbu, berciuman, berpegang-pegangan dengan
syahwat
g) Berburu binatang atau mengusiknya
2.
Thawaf
Ada
dua belas syarat bagi sahnya thawaf, yaitu :
a) Berkeliling tujuh kali putaran secara pasti, kalau ragu
pilih bilangan yang pasti, yakni yang sedikit.
b)
Setiap memulai putaran berikutnya,
harus sejajar dengan batas akhir dari putaran sebelumnya, dan pada putaran terakhir
harus melampauinya.
c)
Dilakukan dalam Masjidil Haram, betapapun
besarnya masjid. Melakukan thawaf di lantai atas Masjidil Haram dapat
dibenarkan.
d)
Seluruh badan yang berthawaf harus
berada di luar ka’bah.
e)
Menutup aurat. Aurat pria adalah
pusar sampai dengan lututnya, dan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali
muka dan kedua telapak tangan.
f)
Suci dari hadas kecil dan hadas
besar (harus dalam keadaan berwudhu).
g) Tidak dialihkan oleh sesuatu apapun dari tujuan melakukan
thawaf.
h)
Memulai thawaf dari arah yang
sejajar dengan hajar aswad.
i)
Thawaf dilakukan sejajar dengan arah
hajar aswad atau sebagiannya dengan bagian kiri tubuh yang sedang melakukan
thawaf.
j)
Berjalan menghadap ke depan. Kalau
seorang berjalan dengan mundur, maka thawafnya tidak sah.
k)
Ka’bah harus selalu berada di
sebelah kiri sepanjang melakukan thawaf.
l) Thawaf dilakukan harus dengan tujuan mengelilingi ka’bah.
3.
Sa’I
antara Safa dan Marwa
Selesai melakukan shalat, thawaf,
dan minum air zam-zam, jamaah menuju ke arena sa’i. Sa’i itu dinilai sah
apabila memenuhi lima syarat yaitu :
a) Dilakukan tujuh kali.
b) Perjalanan setiap sa’i tersebut harus mencakup seluruh jarak
Shafa dan Marwa, serta dilaksanakan di tempat yang ditentukan.
c) Sa’i dilakukan sesudah thawaf.
d) Orang yang melakukannya tidak dialihkan oleh sesuatu
sebagaimana syaratnya disebut diatas dalam thawaf.
e) Memulai yang ganjil dari Shafa dan memulai yang genap dari Marwa.
4.
Tahallul
Orang yang melaksanakan umrah saja
atau bermaksud melaksanakan haji dengan cara tamattu’ (memisahkan antara haji
dan umrah), maka dengan selesainya sa’i, ia dapat segera masuk ke kewajiban
terakhir yaitu memotong rambut, bila sa’i telah selesai, maka ia boleh
bertahallul.
Tahallul ditandai dengan menggunduli
atau mencukur atau memotong sedikitnya tiga helai rambut kepala sebatas ujung
jari tangan. Ini buat para pria dan wanita. Dianjurkan juga untuk menggunting
dari seluruh arah rambut, depan, belakang, dan samping kanan dan kiri. Pria
bahkan dianjurkan untuk menggunduli kepalanya. Jangan sampai seseorang yang
bukan mahram menggunting rambut pria atau wanita yang bukan mahramnya.
Dalam ibadah haji dikenal dua macam
tahallul. Tahallul yang pertama dilakukan setelah melakukan dua dari tiga hal
berikut :
a) Melontar
b) Thawaf ifadhah dan sa’i
c) Bercukur
5.
Mina
dan ‘Arafah
Tanggal 8 Dzulhijjah yakni sehari
sebelum wukuf di Arafah, jamaah haji dianjurkan untuk menuju ke Mina. Disana
sebaiknya mereka melaksanakn solat dzuhur, asar, magrib, isya, dan solat subuh
keesokan harinya. Wukuf adalah keberadaan di Arafah. Tidak ada amalan atau
bacaan tertentu yang berkaitan dengan ibadah haji yang diwajibkan disana.
Sehingga jika seorang jamaah berada di sana pada waktu wukuf, walaupun ia tidak
mengetahui bahwa tempat itu adalah Arafah, maka wukufnya dinilai sah.
6.
Arafah,
Muzdalifah, dan Mina
Perjalanan meninggalkan Arafah
menuju Muzdalifah dilakukan setelah solat magrib dan isya dengan jamak tiga dan
dua rakaat. Keberadaan di Muzdalifah, walaupun hanya sesaat namun harus setelah
lewat tengah malam. Di sana jamaah mengambil kerikil kecil sebesar biji kurma
yang digunakan melontar jumrah di Mina. Pengambilan kerikil walaupun dibenarkan
dari tempat lain seperti di Mekah, Mina, Arafah dan sekitarnya namun
pengambilan dari Muzdalifah sangat dianjurkan. Selain pelontaran pertama yang
dinamai jumrah aqabah maka jumlah kerikil yang anda butuhkan adalah 49 butir.
Tujuh butir digunakan untuk melontar jumrah aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah,
dan masing-masing 21 untuk kedua jumrah pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah.
7. Melontar
a)
Syarat dan cara melontar
Melontar
harus menggunakan batu. Untuk setiap melontar (jumrah) dilakukan sebanyak tujuh
kali dengan tujuh kerikil yang berbeda. Lontaran itu harus dilakukan dengan
tangan dan dimaksudkan untuk diarahkan ke tempat melontar, serta diyakini atau
diduga keras telah mencapai sasaran.
b)
Waktu melontar
Untuk
lontaran jumrah aqabah (tujuh batu pertama) yakni setelah wukuf di Arafah,
waktunya dimulai setelah tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah sampai dengan subuh
tanggal 11 Dzulhijjah. Bagi orang yang langsung pergi ke Mekah untuk melakukan
thawaf ifadhah hendaknya ia memperhatikan waktu itu, walaupun hakikatnya batas
akhir waktu yang dapat ditolerir adalah sampai dengan berakhirnya hari-hari
tasrik. Jika ini pun tidak dilakukan, maka orang yang bersangkutan wajib
membayar dam berupa seekor kambing, atau puasa tiga hari di Mekah dan tujuh
hari setelah kembali ke tanah air.
8.
Thawaf
Ifadhah
Thawaf
ini merupakan salah satu rukun haji. Thawaf Ifadhah waktunya bermula sejak
malam 10 Dzulhijjah, tanpa ada batas waktu. Namun demikian, perlu diingat bahwa
thawaf dilakukan dengan keadaan suci.
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا
نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ ﴿٢٩﴾
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj: 29)
9.
Thawaf Wada’
Thawaf Wada
atau thawaf perpisahan dilakukan pada saat seseoarang meninggalkan kota Mekah. Thawaf ini dinilai oleh mayoritas ulama adalah wajib,
walaupun ada juga yang menilainya mustahabb yakni dianjurkan.
PENGERTIAN ILMU FIQIH, USHUL FIQIH, DAN PERBEDAANNYA.
THAHARAH, SHALAT, ZAKAT, PUASA, HAJI DAN UMRAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Fiqh

DISUSUN OLEH :
Ø AHMAD
FAUZI PANGESTU
Ø AHMAD
KHOLIS
FAK/ JUR : SYARIAH / AS
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan
rahmat,taufik dan hidayahNya kepada kita sehingga kita masih diberi kenikmatan
baik yang berupa kenikmatan jasmani maupun kenikmatan yang paling utama
yaitu iman dan islam, Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, Beliau yang telah menuntun kita dari zaman yang
biadab menuju zaman yang beradab yakni dengan ajaran agama Islam.
Alhamdulillah
akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul Pengertian Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Dan Perbedaannya.
Thaharah,
Shalat, Zakat, Puasa, Haji Dan Umrah”, walaupun masih kekurangan dari yang
diharapkan.
Selanjutnya penyusun memohon kritik dan saran dari semua pihak untuk lebih
sempurnanya makalah ini dan penulis berharap makalah yang sederhana ini
bermanfaat, terutama bagi yang membutuhkannya.
Tasikmalaya, 29 September 2014
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar