BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Banyak orang
Islam yang antipati kepada tasawuf, tetapi banyak juga kelompok orang yang
sangat mengagungkan tasawuf. Sebagai seorang muslim yang mencintai ilmu, kita
harus memahami secara kritis apa dan bagaimana tasawuf itu, sehingga kita bisa
menyikapinya secara proporsional.
Tasawuf pada
hakikatnya adalah ajaran tentang latihan pengendalian diri (mujahadah
an-nafs) sehingga manusia mencapai kualifikasi akhlak yang baik, yakni
jiwa yang taqarrub (dekat kepada Allah) dan ma’rifatullah (mengetahui
Allah dengan ilmu).
Bagi Iman
al-Ghazali, juga bagi para ulama yang tafaqquh fiddin, tasawuf yang
benar adalah tasawuf yang berlandaskan dalil Al-Qur’an dan hadits shahih. Oleh
karena itu segala ajaran tasawuf yang tidak memiliki rujukan yang absah
dianggap sebagai ajaran yang diada-adakan (bid’ah).
1.2. Rumusan Masalah
a.
Apa yang
dimaksud dengan Tasawuf?
b.
Bagaimana
kritik yang ditujukan kepada sumber Tasawuf?
c.
Apa saja yang
dikritik dalam praktik Tasawuf?
d.
Jelaskan rekonstruksi terhadap tasawuf?
1.3. Tujuan Penulisan
Untuk
menambah serta memperdalam wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh aliran Tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Deskripsi Aliran Tasawuf
2.1.1. Pengertian
Tasawuf
Tasawuf dan asal
katanya menjadi perdebatan para ahli bahasa. Ada yang mengatakan dari kata “shifa’’ artinya suci, bersih ibarat
kilat kaca, sebagian ulama mengatakan dari kata “shuff”, artinya bulu domba sebab orang yang memasuki tasawuf itu
memakai baju dari bulu domba, dan sebagian yang mengatakan diambil dari kata “shuffah”, ialah sekelompok sahabat nabi
yang mengasingkan dirinya di serambi mesjid Nabi. Bahkan ada juga di antara para ahli yang menyatakan
tasawuf bukanlah berasal dari akar bahasa Arab, tetapi berasal dari bahasa
Yunani Lama yang diarabkan yaitu dari kata Theosofie yang berarti ilmu
ketuhanan, yang kemudian diarabkan dan diucapkan oleh lidah orang Arab menjadi
tasawuf.
Menurut terminologi, para ulama
pun berbeda pendapat mengenai pengertiannya, di antara pendapat tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Imam Al-Ghazali mengemukakan pendapat Abu Bakar
Al-Kataany yang mengatakan:
“Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang
memberikan bekal budi pekerti atasmu dalam tasawuf, berarti ia memberi bekal
atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk
beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam.
Dan Ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlaq
(terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya”.
b) Mahmud Amin An-Nawawy mengemukakan pendapat Al-Junaid
Al-Bagdaady yang mengatakan:
“Tasawuf adalah memelihara (menggunakan) waktu. (Lalu)
ia berkata: Seorang hamba tidak akan menekuni (amalan tasawuf) tanpa aturan
(tertentu), (menganggap) tidak tepat (ibadanya) tanpa tertuju kepada Tuhannya
dan merasa tidak berhubungan (dengan Tuhannya) tanpa menggunakan waktu (untuk
beribadah kepadaNya)”.
2.1.2. Sejarah
Munculnya Tasawuf
Pada abad
kedua hijriyah, di masa dinasti Umayah, wilayah kekuasaan Islam sangat luas
mencakup seluruh jazirah Arab, Sebahagian Eropah Timur termasuk Spanyol, bahkan
sampai ke pintu gerbang Wina. Umat Islam bukan menjajah tetapi menjadikan
wilayah – wilayah baru itu sebagai kekuasaan otonomi yang menginduk kepada
pusat.
Negara-negara
Islam menjadi kaya raya. Akan tetapi ada akibat lain yakni banyak pejabat
negara dan sebahagian umat Islam terkena penyakit “wahan” yakni
bersikap materealistik dan individualistik. Penyakit ini pun merambah kepada
sebahagian ulama.
Ulama-ulama
yang lain yang ingin mempertahankan hidup zuhud sebagaimana nabi
SAW dan para sahabatnya, merasa khawatir terkontaminasi penyakit “wahan” ini
lantas pergi jauh ke luar kota. Mereka hijrah ke tempat terpencil untuk
menjauhi glamour dunia, ini disebut uzlah.
Di tempat
terpencil ini mereka melatih diri untuk hidup sederhana atau hidup zuhud.
Mereka melepaskan pakaian-pakaian yang mewah lantas menggantinya dengan pakaian
yang sangat sederhana yang terbuat dari bulu domba. Bulu domba itu bahasa
Arabnya Shuf, maka disebutlah kaum Sufi. Sedangkan ajaran tentang
bagaimana cara hidup sederhana atau hidup zuhud disebut tasawuf. Jadi
Sufi adalah orangnya sedangkan tasawuf adalah ajarannya.
Tasawuf
sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, anti arogansi, anti gila
terhadap kekuasaan dan anti kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai
oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan
Husein mengalami kekalahan. Oleh karena itu, ketika kekuasaan dinasti Umayyah
mulai mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai
penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah
menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap
dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.
2.1.3. Garis Besar
Ajaran Tasawuf
Tasawuf pada hakikat adalah
ajaran tentang latihan hidup sederhana untuk mensucikan jiwa. Targetnya ada dua yakni, Pertama: Berusaha mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya, atau disebut Taqarrub. Kedua: Usaha mensucikan jiwa sesuci-sucinya sehingga dapat
mengenal Allah
dengan mata hati. Ini yang disebut Ma’rifat
Jadi tasawuf
identik dengan akhlak yang luhur. Oleh karena itu apabila berbicara masalah
tasawuf maka akan berbicara tentang masalah yang sangat luas, yakni akhlak
secara keseluruhan.
Walaupun
demikian ada beberapa objek bahasan yang secara khas dibahas dalam tasawuf,
atau disebut inti ajaran tasawuf, yakni:
1.
Konsep latihan pensucian jiwa atau mujahadah
al-nafs
2.
Konsep hidup zuhud (ascetic)
3.
Konsep wali Allah dan karamah.
2.2. Kritik Terhadap Sumber Tasawuf
Tasawuf,
yang di kalangan Barat dikenal dengan mistisme Islam, merupakan salah satu
aspek Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya.
Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW, namun tasawuf sebagai ilmu
keislaman merupakan hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman
lainnya seperti fiqh dan ilmu tauhid. Oleh karena
itu tasawuf―seperti halnya ilmu-ilmu lainya―tidak terlepas dari
kritikan-kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.
Para
penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari
para sahabat. Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan
menyesatkan yang diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu,
ibadah Yahudi, dan zuhud Budha. Disamping
itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi yang tersusun
rapi untuk menghancurkan Islam.
Diantara tujuan terpenting konspirasi tersebut adalah:
1. Menjauhkan kaum muslim dari Islam yang hakiki dan
ajarannya suci murni dengan kedok Islam.
2. Platonisme.Memasarkan akidah-akidah Yahudi, Kristen,
sekte-sekte di India, dan sekte-sekte di Persia seperti agama Budha, agama
Hindu, Zoroaster, Al-Manawiyah,
2.3. Kritik Terhadap Praktik Tasawuf Secara Umum
Selain kritik mengenai sumbernya, pengamalan keseharian penganut faham
tasawuf juga tidak lepas dari kritikan, di antara yang menjadi permasalahan
adalah sebagai berikut:
1.
Kasyf (pencerahan genostik) menggantikan pengetahuan. Di
bawah tasawuf, dunia muslim meninggalkan komitmennya untuk mencari pengetahuan
ilmiah yang rasional, dengan upaya mendapatkan visi pengalaman mistis, kaum muslim mengabaikan pertimbangan dan pembuktian secara
kritis dari berbagai alternatif terhadap pernyataan, amalan dan otoritarian dari syekh (pemimpin) sufi.
2.
Karamah (mukjizat kecil), yang diajarkan tasawuf hanya mungkin
dalam keadaan pernyatuan atau komuni dengan Tuhan. Karamah yang dibenarkan tasawuf
sebagai anugerah yang dilimpahkan Tuhan kepada orang yang sangat saleh, merusak
perhatian muslim terhadap hubungan sebab-akibat alamiah dan mengajarkannya
untuk mencapai hasil melalui metode spiritualistik.
3.
Taabbud, kerelaan untuk meninggalkan aktivitas sosial dan
ekonomi untuk melakukan ibadah spiritualistik
sepenuhnya, dan komitmen untuk mencurahkan segenap energi untuk berdzikir
menjadi tujuan utama. Padahal, selain memerintakan
pelaksanaan lima rukun Islam, Islam juga memerintahkan
pelaksanaan khilafah dan amanat Tuhan.
4.
Tawakal, kepasrahan total pada faktor spiritual untuk
menghasilkan hasil-hasil empiris, menggantikan keyakinan muslim terhadap
kemujaraban yang pasti dari hokum Tuhan dalam alam dan dari keharusan mutlak
campur tangan manusia kedalam rangkaian (nexus) sebab-akibat alam, jika
tujuan yang diproyeksikannya akan direalisasikan.
5.
Taat, kepatuhan mutlak dan total kepada syekh dari salah
satu tarekat sufi menggantikan tauhid, pengakuan bahwa tak ada Tuhan, kecuali Allah.
Pencapaian pengalaman mistis meniadakan syariat atau pelaksanaan kewajiban
sehari-hari dan kewajiban seumur hidup. Ini, bersama metafisika panteistik
tasawuf, mengaburkan semua gagasan etika Islam.
Gejala-gejala
ini merusak kesehatan masyarakat muslim selama paruh masa seribu tahun, sejak
jatuhnya Baghdad ke tangan kaum Tartar pada 655 H/1257 M, sampai
munculnya Wahhabiyah, gerakan pembaharuan antisufi pertama, pada 1159/1747. Di
bawah pesona sufi, orang Muslim menjadi apolitis, asocial, amiliter, anetika,
dan tidak produktif. Mereka tidak peduli umat (persaudaraan dunia di bawah
hukum moral), menjadi individualis, dan menjadi egois yang tujuan utamanya
adalah keselamatan diri, terserap dalam keagungan Tuhan. Dia tak
bergeming dengan kesengsaraan, kemiskinan, dan keberataan masyarakat sendiri,
serta nasib umat dalam sejarah.
2.4. Rekonstruksi
terhadap Tasawuf
Menurut
Sayyid Nur bin Sayyid Ali, kritik terhadap tasawuf berlatar belakang insiden
jejak yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H, ketika aliran-aliran kebatinan,
Syi’ah, Qaramithah, dan kafir zindik memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme.
Mereka menyebabkan Islam berada pada kondisi yang berbahaya, tetapi
sesungguhnya tak ada kelemahan bagi orang sufi. Kejadian itu Ialah Ibnu Saba’,
orang berdarah Yahudi memanfaatkan cinta Ahl Al-Bait sebagai tipu daya. Dia
menyebarkan benih fitnah dan perang sipil yang menyebabkan wafatnya Khalifah
Utsman bin Affan r.a. dan gugurnya sekitar 10.000 orang sahabat dan tabi’in
sebagai syahid. Apakah peristiwa tersebut ada kelalaian Ahl Al-Bait dan
kecintaan terhadap Ali r.a.? jawabannya tentu tidak. Demikian pula, paham
tasawuf tidak boleh dicemari dengannya. Tasawuf tak ada kaitannya dengan fitnah
tersebut.
Pada tingkat
ekstase (fana) dan manunggal dengan Tuhan (alittihad) secara illusif
dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa
mengubah dunia. Masyarakat menuding
bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain adalah
egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan destruktif. Kaum
Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yang dikembangkan tasawuf, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan),
dan al-ju’ (kelaparan).
Atas
pertimbangan di atas, salah seorang cendikia muslim (Hasan Hanafi 2000: 44) mencoba merekonstruksi tasawuf. Beliau mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari
kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql)
yang bersifat tradisional (naql). Hanafi berusaha merekonstruksi nilai
mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak
untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang
sedang dihadapi. Bagi Hanafi (2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang
diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam
menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina dunia
kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia (nyata). Tasawuf merupakan suatu jalan (tariqah) yang
meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis dan tahap metafisik
(Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan rekonstruksi tasawuf dalam ketiga
hal tersebut.
Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap
moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan
moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak
individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap moral mencakup: a) Dari jiwa ke
tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan awal timbulnya tasawuf disebabkan
oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua
masalah masa lampau dihubungkan dengan jiwa, maka semua masalah saat ini
dihubungkan dengan tubuh; b) Dari rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai
kompensasi atas dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda, karena
realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial politik
merampas lahiriah, maka tasawuf
mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yangdipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial
politik yang mengontrol dunia lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan
tanpa kekuasaan; c).Dari etika individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah
rusaknya individu. Maka reaksi
alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu;
d). Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi
hanyalah cara memperoleh kekhusyu'an untuk
mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun berpendapat secara individual
dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia sekarang tindakan terbuka sangat
diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari organisasi sufi ke gerakan
sosio-politik.
Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis.Tahap ini
mengandung artibahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis
individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia.Tasawuf tidak
lagi berhubungan dengantindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin
kesalehan.Fokusnya bukan lagipada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada
tindakan-tindakan hati.Kini,tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia
hati.Ilmu ini terdiri dari duabagian; langkah-langkah moral (maqamat)
dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal).Rekonstruksi pada tahap ini
mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktifdan dari kondisi
psikologis ke perjuangan sosial.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan
bahwa ketika sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan,
ia sampai padatahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya,
karena sufi telahmelewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang.
Tahap ketiga inibenar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang
harus dicapai danhadiah yang harus diterima.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Tasawuf dan asal
katanya menjadi perdebatan para ahli bahasa. Ada yang mengatakan dari kata “shifa’’ artinya suci, bersih ibarat
kilat kaca, sebagian ulama mengatakan dari kata “shuff”, artinya bulu domba sebab orang yang memasuki tasawuf itu
memakai baju dari bulu domba, dan sebagian yang mengatakan diambil dari kata “shuffah”, ialah sekelompok sahabat Nabi
yang mengasingkan dirinya di suatu tempat di beranda mesjid.
Para penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan
ajaran yang berasal dari Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka
menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan menyesatkan yang
diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan
zuhud Budha. Sebagian berpendapat, praktik tasawuf telah merusak umat Islam,
dikatakan dibawah pesona
sufi, orang Muslim menjadi apolitis, asosial,
amiliter, anetika, dan tidak produktif.
Salah seorang
cendikia muslim (Hasan Hanafi 2000: 44) mencoba merekonstruksi tasawuf. Beliau mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari
kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql)
yang bersifat tradisional (naql). Hanafi berusaha merekonstruksi nilai
mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak
untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang
sedang dihadapi.
3.2.
Saran
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
menyarankan kepada teman-teman sesama mahasiswa untuk mencari informasi lain
sebagai tambahan dari apa yang telah kami uraikan di atas.
MAKALAH
“STUDI KRITIS TERHADAP ALIRAN-ALIRAN
TASAWUF”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas
Mata Kuliah Ilmu Tasawuf

Disusun oleh :
KELOMPOK VI
Ø AI SYIFA
Ø IRPAN ARIFIN
Ø SYIHABUDIN SYA’BANI
TINGKAT/ KELAS : I / I – EKOS
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar