BAB I
PENDAHULUAN
Dalam dunia yang serba modern ini, banyak
manusia terjebak menilai kualitas amal yang diperoleh berupa materi.
Keberhasilan seseorang dinilai dengan banyaknya harta dunia yang dikumpulkan.
Mereka tidak menyadari bahwa diri mereka telah terjebak ke dalam faham
materialism. Manusia menjadi budak harta, melupakan jati dirinya sebagai hamba
Allah. Padahal hanya orang yang beramal ikhlas karena Allah saja yang akan
mendapat balasan kebaikan dari Allah.
Firman Allah dalam surat Al Bayyinah: “Wa
maa umiruu illa liya’budullaaha mukhlishiina lahuddiin hunafaa-a.” (Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kethaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IKHLAS DALAM BERAMAL
Ikhlas dalam beramal merupakan sikap yang tiada
mengharapkan tujuan lain selain dari pada untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ikhlas dalam beramal tidak
boleh diikuti dengan niat riya, yaitu mengharapkan pujian atau kehormatan dari sesamanya.
Karena amal yang akan dibalas oleh Allah adalah amal yang dilakukan karena mengharap kasih dan
sayang-Nya, yaitu dengan keikhlasan di dalam hatinya.
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan judul diatas
merupakan hal yang sangat penting sekali. Karena banyak sekali orang yang
berbuat tidak disertai dengan niat yang ikhlas. Sehingga kita perlu tahu,
apa hal-hal yang menjadi tolak ukur ikhlas atau tidaknya
seseorang dalam berbuat kebajikan. Dan apa jadinya suatu amalan yang dilakukan
dengan niat bukan untuk mendapatkan ridha Allah.
Oleh karena itu, agar
lebih terarahnya objek bahasan dalam makalah ini, berikut akan dibahas mengenai
beberapa hal yang berkaitan dengan topik
diatas, yaitu.
a. Niat atau motivasi dalam beramal
1. Hadis pertama tentang niat beserta penjelasannya
2. Hadis kedua tentang niat beserta penjelasannya
b. Menjauhi perbuatan riya dan syirik kecil
1. Hadis pertama tentang riya beserta penjelasannya
2. Hadis kedua tentang riya beserta penjelasannya
B. NIAT ATAU MOTIVASI DALAM
BERAMAL
1. HADIS PERTAMA TENTANG NIAT
عَنْ اَمِيْرِ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَبِى حَفْصٍ
عُمَرَبْنِ اْلخَطَابِ بْنِ نُفِيْلِ بْنِ
عَبْدِ اْلعُزى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحٍ بْنِ
كَعْبِ بْنِ لُؤَيِ بْنِ غَالِبِ اْلقُرَيْشِيِ اْلعَدَوِيِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَل اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ يَقُوْلُ اِنمَا
اْلَاعْمَلُ بِا النِيَاتِ وَاِنمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَانَوَى وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلًى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يَصِيْبُهَا اَوِ امْرَاَةُ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلَى مَا هَا جَرَ اِلَيْهِ
“Dari Amir al-Mukminin,Abu
Hafs Umar bin Khattab r.a bin Nufail bin Abd al-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin
Qurt bin Riyah bin Adi Ka’ab bin luay bin Ghalib al-Quraiys al-Adawi
berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya sahnya
amal itu tergantung dengan niat. Setiap orang akan memperoleh dari apa yang
diniatkannya. Jika seseorang itu hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya tersebut diterima oleh Allah dan
Rasul. Namun, jika hijrahnya itu untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita
yang akan dinikahinya, maka hijrahnya tersebut sesuai dengan apa yang
diniatkannya tersebut”(HR. Bukhari and Muslim)
Rasulullah saw
mengeluarkan hadis di atas (asbab al-wurud)- nya ialah untuk menjawab
pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya
Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah yang diikuti oleh sebagian besar pejabat.[1][1] Dalam hijrah itu ada seorang laki-laki yang juga turut hijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan
perjuagan Islam, melainkan untuk hendak menikahi seorang wanita yang bernama
Ummu Qais. Wanita itu rupanya sudah bertekad untuk turrut hijrah, sedangkan
laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di Makkah. Ummu Qais hanya
bersedia dikawini di tempat tujuan hijrahnya Rasullah yakni Madinah , sehingga
laki-laki itu pun turut hijrah ke Madinah.Ketika peristiwa itu ditanyakan
kepada Rasulullah saw, apakah hijrah dengann motif itu diterima atau tidak,
Rasulullah menjawab secara umum seperti yang telah disebutkan pada hadis di
atas.
Niat berperan penting
dalam ajaran Islam, khusunya dalam perbuatan yang berdasarkan perintah syara’
atau menurut sebagian Ulama merupakan sebuah perbuatan yang mengandung harapan
untuk mendapat pahala dari Allah SWT. Niat akan menentukan nilai, kualitas,
serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah
dengan niat ingin mendapatan keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang
wanita, ia tidak akan medapatkan pahala dari Allah SWT. Sebaliknya, jika
seseorang hijrah karena ingin
mendapatkan ridha dari Allah SWT, maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan
duniapun akan diraihnya. Sebenarnya, hijrah yang dimaksud pada hadis diatas
adalah berhijrah dari Makkah ke Madinah, karena pada saat itu penduduk Makkah
tidak merespon lagi dakwah Nabi, bahkan mereka ingin mencelakakan Nabi dan Umat
slam. Akan tetapi, setelah Islam jaya,
hijrah tersebut lebih tepat diartikan sebagai perpindahan dari kemungkaran atau
kebatilan kepada yang hak. Namun
demikian, niat tetap saja sangat berperan dalam menentukan berpahala
atau tidaknya setiap hijrah, dalam berbagai bentuknya.
Para Ulama telah sepakat[2][2], bahwa niat itu sangat penting
dalam menentukan sahnya suatu ibadah. Niat termasuk rukun pertama dalam setiap
melakukan ibadah. Tidaklah sah suatu ibadah, seperti shalat, puasa, zakat
maupun haji dan lain-lain, jika dilakukan tanpa niat atau dengan niat yang
salah.
Setiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan, jika niatnya baik (ikhlas) maka yang dia
terima adalah kebaikan dari Allah dan jika niatnya tidak baik, maka dia tidak
akan menerima kebaikan dari Allah.
Sebagaimana sabda
Rasulullah saw yang berbunyi:
وَاِنمَا لِكُلِ امْرِئٍ
مَا نَوَى
Artinya:
“Dan tiap-tiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan”.
Suatu perbuatan yang
secara lahiriahnya baik, tetapi niatnya tidak baik maka dia tidak akan
mendapatkan kebaikan. Dan perbuatan dosa, walaupun niatnya baik, tetap
mendapatkan hukuman. Jadi, ganjaran dan pahala dari Allah itu hanya dapat
diperoleh oleh orang-orang yang berbuat kebajikan karena Allah dan Rasul-Nya
semata-mata. Perbuatan-perbuatan kebajikan tidak dipandang baik oleh Allah,
kalau tidak disertai dengan niat yang ikhlas.
Dan niat yang ikhlas itu adalah
ketetapan hati mencari keridhaan Allah dalam melakukan segala kebajikan.
Zu an-Nun al-Mishri
menjelaskan bahwa ada tiga tanda-tanda ikhlas, yaitu:
ثَلَاثٌ مِنْ عَلَامَةِ
اْلاِخْلَاصُ اِسْتَوَا اْلمَدْحَ والذم من العامة ونسيان رؤية اْلعَمَلِ فِى
اْلاَعْمَالِ راقْتِضَاءُ ثَوَابِ اْلاَعْمَالِ فِى اْلاَخِرَةِ[3][3]
“Tanda ikhlas ada tiga:
pujian dan cercaan dari manusia sama saja baginya, melupakan amal yang telah
dilakukannya, dan hanya mengharapkan ganjaran amalnya di akhirat”.
2. HADIS KEDUA TENTANG NIAT
عَنِ بْنِ عَباسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ اَنهُ قَالَ النبِي صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : اِن اللهَ كَتَبَ
اْلحَسَنَاتِ وَالسيئَاتِ ثُم بَيْنَ ذَالِكَ فَمَنْ هَم بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا
كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَاءِنْ هُوَ هَم بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ اِلَى سَبْعِمِا ئَةِ
ضِعْفٍ اِلَى اَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ وَمَنْ هَم بِسَيئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلُهَا
كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَاءِنْ هُوَ هَم بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لًهُ سَيئَةً وَاحِدَةً[4][4]
Ibnu abbas r.a berkata,
Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya Allah menulis segala kebajikan dan kejahatan. Kemudian
beliau menjelaskan masing-masing kebajikan dan kejahatan. “Maka siapa-siapa
yang berkeinginan melakukan sesuatu kebajikan, tetapi ia tidak melakukannya,
maka Allah menulis disisi-Nya suatu kebajikan yang sempurna untuknya. Tetapi
bila ia berkeinginan melakukan sesuatu kebajikan, lalu mengamalkannya, maka
Allah menulis disisi-Nya sepuluh sampai tujuhratus kali kebajikan untuknya, bahkan sampai
dilipatkan gandakan berkali-kali. Dan siapa-siapa yang berkeinginan melakukan
kejahatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya disisi-Nya
suatu kebajikan yang sempurna untuknya dan siapa-siapa yang berkeinginan untuk
melakukan kejahatan dan ia melakukannya, maka allah menulis satu kejahatan
untuknya”. (HR. Bukhari and Muslim).
Dalam sumber lain juga dikatakan hal yang sama mengenai kedudukan
niat tersebut, sebagai penguat atas dasar kebenaran hadis tersebut.[5][5]
Niat dalam arti
motivasi, juga sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah.
Shalat umpamanya, yang dianggap sah menurut pandangan syara’ karena memenui
berbagai syarat dan rukunnya, belum tentu diterima dan berpahala kalau yag
memotivasinya bukan karena Allah, tetapi karena manusia, seperti yang ingin
dikatakan rajin, tekun, baik dan sejenisnya.motivasi dalam melaksanakan setiap
amal harus betul-betul ikhlas, hanya mengharapakan ridha Allah saja.
C. HADIS MENJAUHI PERBUATAN
RIYA DAN SYIRIK KECIL
1. HADIS TENTANG RIYA
عَنْ مَحْمُوْدِبْنِ
لُبَيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْالَ للهِ
صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : اِن اَخْوَافَ مَااَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشرْكَ اْلاَصْغَرُ : اَلريَاءُ.[6][6]
Dari Muhammad bin Lubaid
dia berkat, “Rasulullah saw pernah bersabda, “ sesungguhnya yang paling aku
khawatirkan terhadap kamu adalah syirik kecil, yakni riya”. (H.R Ahmad dengan sanad
hasan)
Hadis di atas mengandung
pengajaran bahwa:
a. Rasulullah sangat mengkhawatirkan umatnya terjerumus kedalam dosa.
b. Riya merupakan salah satu sifat syirik kepada Allah yang harus dijauhi oleh
orang-orang yang beriman. Sementara itu, keharaman syirik sudah sangat
jelas di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pertanyaan pertama yang muncul
dalam benak kita setelah membaca hadis diatas adalah kenapa riya itu merupakan
sebuah sifat syirik atau menyekutukan Allah. Riya ternyata menjerumuskan kita
kepada hal yang sangat dibenci oleh Allah. Bergantung kepada selain Allah
adalah sifat yang tidak baik bagi hati. Karena itu akan menimbulkan anggapan
bahwa ada sesuatu yang lain yang bisa memberikan kita pahala, kebahagiaan
maupun keselamatan selain dari Allah.
Ketika seseorang itu berbuat bukan dikarenakan Allah , maka dapat
dikatakan dia sudah menyekutukan Tuhannya, walaupun secara tidak langung
ataupun spontan.
Selain menjurus kepad
perbuatan syirik, riya juga akan menjadikan segala kebajikan yang telah
dilakukan kemudian diiringi dengan hasrat riya, maka ia tidak akan mendapatkan
sedikitpun kebaikan atau balasan
dari Allah. Semuanya akan sia-sia tak
berfaedah sedikitpun, yang ia akan dapatkan hanyalah atas apa yang ia harapkan
dari keriyaannya itu.
Selain itu, riya selalu
menjuruskan seseorang ke dalam hal negatif yang lain, selain daripada sifat
syirik kepada Tuhannya yaitu sifat munafik. Karena, bagi orang yang munafik apa
yang diucapkan oleh lisannya dan dilakukan oleh ragawinya hanyalah berpura-pura
belaka, yaitu antara hati dan lisannya tidak sejalan. Mereka berniat melakukan
suatu amal ibadah agar mendapatkan pujian dari orang-orang di sekitarnya,
seperti tetangganya mungkin atau kerabatnya. Tetapi dia mengatakan bahwa dia
melakukan amal ibadah tersebut karena Allah
dengan penuh keikhlasan, padahal tidak demikian. Disinilah ketidaksesuaian
antara hati dengan perbuatan, sehingga ia termasuk ke dalam golongan orang yang
munafik. Orang yang munafik itu ingin
menipu Allah, dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya dengan
penampilannya tersebut. Tetapi Allah Mahatahu atas segala sesuatu.
Sesungguhnya riya itu
memiliki klasifikasi, namun klasifikasi yang paling parah adalah seseorang
melakukan ibadah hanya atas dasar riya semata-mata dan sedikitpun tidak
mengaharapkan ridha dari Allah. Dengan kata lain, ibadahnya bukan untuk Allah
melainkan untuk manusia, sementara yang teringan adalah riya tersebut
mendorongnya untuk melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat oleh orang
lain dia tetap melakukan ibadah.
Namun,dia lebih merasa semangat kalau ibadahnya dilihat oleh manusia.[7][7]
2. HADIS KEDUA TENTANG RIYA
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةُ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ
اَوَّلَ اَلنَّاسِ يَقْضِيُ عَلًيْهِ يَوْمَالْقِيَامَةِ رَجُلٌ اِسْتَشْهَدَ فِى
سَبِيْلِ اللهِ فَاءَتَى بِهِ فَعَرَفَهُ نِعْمُهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ : فَمَا
عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اَشْهَدَ قَالَ: كَذَبْتَ
وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هًوَ جَرِى. وَ قَدْ قِيْلَ : ثًمَّ اَمَرَبِهِ
فَسَحَبَ عَلَى وَجْحِهِ حَتَّى اَلْقَى فِى النَّارِ. وَسَعَ اللهُ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْنَافِ اْلمَالِ فَاءَتَى
بِهِ فَعَرَفَهُ نِعْمُهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ مِنْهَا؟ قَالَ: مَا
تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ اَنْ يُنْفِقَ فِيْهَا اِلَّا اَنْفَقْتُ
فِيْهَالَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيْقَالَ هُوَ جَوَادٌ،
فَقَدْ قِيْلَ ثُّمَّ اَمَرَ بِهِ فَسَحَبَ عَلَى وَجْحِهِ حَتَّى اَلْقَى فِى
النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمُهُ اَوْ قَرَءَ اْلقُرْاَنَ
فَاءَتَ بِهِ فَعَرَفَهُ نِعَمِهِ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا؟
قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْ تُهُ وَقَرَءْتُ فِيْكَ الْقُرْاَنَ.
قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ عَالِمٌ اَوْ قَرَءْتَ
لِيْقَالَ هُوَ قَارشئٌ، ثُمَّ اَمَرَ بِهِ فَسَحَبَ عَلَى وَجْحِهِ حَتَّى
اَلْقَى فِى النَّارِ.[8][8]
Artinya:
“Abu Hurairah r. a.
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda , “Sesungguhnya manusia yang pertama kali
diadili di hari kiamat adalah
orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, maka ia didatangkan dan
diperlihatkan nikmat-nikmat sebagai pahalanya, kemudian ia melihatnya seraya dikatakan kepadanya, “Amalan apa yang engkau lakukan
sehingga memperoleh nikmat-nikat itu? Ia menjawab, “Aku berperang karena-Mu (Ya
Allah)”. Allah menjawaab , “Dusta
engkau, sesungguhnya kamu berbuat demikian supaya kamu dikatakan sebagai
pahlawan. Dan kmudian malaikat diperintahkan menyeret mukanya dan
melemparkannya ke dalam neraka; seorang yang diberi Allah harta benda, kemudian
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikkmat sebagai pahalanya
lalu ia melihatnya seraya dikatakan kepadanya, “Amalan apakah yang engkau
lakukan sehingga engkau mendapatkan nikmat itu?”, ia menjawab, “Aku tidak
pernah meninggalkan infak di jalan yang Engkau ridhai YaAllah” melainkan aku
berinfak hanya karena-Mu.” Lalu Allah SWT menjawab, “Dusta Engkau, sesungguhnya
engkau melakukan demikian itu supaya
kamu dikatakkan sebagai orang yang dermawan.” Kemudian Allah memerintahkan
malaikat untuk menyeret mukanya dan memasukkannya ke dalam neraka. Dan
seseorang lagi yang menuntut ilmu dan mengajarkan atau membaca Al-Qur’an, maka
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat sebagai pahalanya, lalu
ia melihatnya seraya dikatakan
kepadanya, “Amal apa yang telah engkau lakukan sehingga engakau medapatkan
nikmat-nikmat itu?” ia menjawab, “Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya dan
memebaca Al-Qur’an hanya untuk-Mu ya Allah.” Kemudian Allah SWT menjawab,”Dusta
engkau, sesungguhnya engakau menuntut ilmu supaya engkau dikatakan pintar, dan
membaca Al-Qur’an supaya kamu dikatakan Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan
kepada malaikat untuk meyeret mukanya dan melemparnya ke dalam neraka.”
Penjelasan dari hadis diatas:
Hadis
diatas menjelaskan betapa pentingnya niat itu dalam melakukan segala hal
terutama dala konteks ibadah. Walaupun seseorang melakukan amal ibadah secara
terus menerus spenjang hidupnya, itu tidak akan ada artinya dimata Allah jika
masih diiringi sifat riya (yang ingin mendapatkan pujian, julukan sebagai orang
yang baik dan lainnya).
Hadis
diatas menggambarkan tentang orang yang melakukan amal kebaikan disertai dengan
rasa riya. Sehigga apa yang telah ia lakukan tiada berarti apa-apa karena sifat
riya tersebut. Misalnya saja seperti hadis diatas, kedudukan berperang di jalan
Allah adalah amal yang disukai Allah. Bahkan, orang yang mati syahid karena
berperang di jalan Allah di jamin oleh Allah masuk ke dalam surga-Nya. Namun
demikian, walaupun kita berperang di jalan Allah sampai mati itu bukanlah berarti menjamin kita masuk ke
dalam surga-Nya Allah, dikarenakan sifat riya. Yang dalam hal ini ingin
mendapatkan pujian dari orang lain atau supaya dianggap sebagai pahlawan.
Kesalahan hanya terdapat
pada niatnya saja, niat yang buruk akan mendapatkan ganjaran yang buruk pula.
Dan niat yang baik, akan mendapatkan kebaikan pula, bahkan kebaikan itu akan
dilipat gandakan.
Dalam melakukan kebajikan,
sifat riya adalah tantangan yang paling berat untuk dihindarkan oleh kebanyakan
manusia. Karena sangat sulit sekali menghindarkan dari pada hal itu. Terkadang
tanpa disadari riya sudah masuk ke dalam amal ibadah seseorang.
Kebanyakan orang memang
menganggap bahwa riya itu adalah masalah kecil, masalah yang tidak terlalu
penting, padahal dapat dari riya itu begitu besar sekali, sehingga riya dapat
mengantarkan seseorang itu ke dalam neraka. Seperti telah digambarkan jelas
dalam hadis tersebut.
Oleh karenanya, menjaga
sifat riya “menempel” dengan amal kebajikan harus kita dihindari. Agar tidak
terjadi kesia-siaan dalam amal ibadah kita. Apa gunanya melakukan amal ibadah
tetapi malah menjerumuskan kita ke jalan kehancuran. Kehati-hatian dalam
melakukan suatu amal kebaikan adalah hal yang harus kita lakukan, agar kita
terhindar dari malapetaka dan kesia-siaan.
Untuk menghindari diri
dari sifat riya tersebut adalah dengan senantiasa berifat ikhlas dalam
melakukan amal ibadah tersebut. Ihklas adalah ketetapan hati mencari keridhaan
Allah dan pahala dari-Nya dalam melakukan segala kebajikan.[9][9] Jika kita dalam melakukan kebajikan dengan niat yang ikhlas, maka kita
akan terbebas dari sifat riya.
D.
DOSA-DOSA BESAR.
1. Syirik (Menyekutukan Allah SWT)
Syirik menurut bahasa berarti syarikat atau sekutu . menurut istilah tauhid adalah perbuatan menyekutukan allah swt dengan sesuatu selainnya yang seharusnya hanya di tujukan kepada allah swt , orangyang melakukannya disebut dengan musyrik. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
Syirik menurut bahasa berarti syarikat atau sekutu . menurut istilah tauhid adalah perbuatan menyekutukan allah swt dengan sesuatu selainnya yang seharusnya hanya di tujukan kepada allah swt , orangyang melakukannya disebut dengan musyrik. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya". (An Nisaa: 48).
Dan Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga".
(Al Maidah: 72)
2. Berputus asa dari mendapatkan rahmat Allah SWT
Berputus asa dari rahmat Allah SWT merupakan sifat orang-orang sesat dan
pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena
mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul 'Aalamiin. Siapa saja
yang jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat
yang sama dengan mereka. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".(Yusuf: 87).
3. Merasa aman dari ancaman Allah SWT
Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah
kecuali orang-orang yang merugi." (Al A'raaf: 99)
4. Berbuat durhaka kepada kedua orang tua
Orang yang paling banyak jasanya dan paling dekat dengan kita adalah kedua orang tua kita, seseorang yang durhaka termasuk dosa besar. Perbuatannya antara lain membentak, menghardik, berkata tidak sopan dan lain-lain. Karena Allah SWT mensifati orang yang berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya sebagai orang yang jabbaar syaqiy 'orang yang sombong lagi celaka'. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak
menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka". (Maryam: 32).
5. Membunuh
Hak-hak yang paling utama bagi setiap manusia yang dijamin pula oleh Islam adalah hak hidup, hak pemilikan, hak pemeliharaan kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak menuntut ilmu pengetahuan. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di
dalamnya". (An Nisaa: 93).
6. Menuduh wanita baik-baik berbuat zina
Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka
kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar". (An
Nuur: 23)
7. Memakan riba
Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila". (Al Baqarah: 275)
8. Lari dari medan pertempuran
Maksudnya, saat kaum Muslimin diserang oleh musuh mereka, dan kaum Muslimin maju mempertahankan diri dari serangan musuh itu, kemudian ada seseorang individu Muslim yang melarikan diri dari pertempuran itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang membelakangi mereka
(mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka
Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya". (Al Anfaal: 16)
9. Memakan harta anak yatim
Memakan harta anak yatim hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Banyak ayat AL-QUR’AN menjelaskan kepada kaum muslimin untuk membantu mengasuh dan mendidik anak yatim, apabila anak yatim dianiyaya dengan cara memakan hartanya, maka itu termasuk dosa besar. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
Memakan harta anak yatim hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Banyak ayat AL-QUR’AN menjelaskan kepada kaum muslimin untuk membantu mengasuh dan mendidik anak yatim, apabila anak yatim dianiyaya dengan cara memakan hartanya, maka itu termasuk dosa besar. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)".
(An Nisaa: 10)
10. Berbuat zina
Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yangsaat ini cenderung banyak terjadi di kalangan masyarakat, terutama remaja. Islam dengan Al Qur’an dan sunah telah memasang bingkai bagi kehidupan manusia agar menjadi kehidupan yang indah an bersih dari kerusakan moral. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yangsaat ini cenderung banyak terjadi di kalangan masyarakat, terutama remaja. Islam dengan Al Qur’an dan sunah telah memasang bingkai bagi kehidupan manusia agar menjadi kehidupan yang indah an bersih dari kerusakan moral. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang melakukan demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan
azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu". (Al
Furqaan: 68-69)
Di dalam al
quran di sebutkan bahwa Allah akan mengampunkan semua dosa kecuali syirik
artinya dengan taubat nashuha dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa tsb insya Allah akan diampunkan dan apabila dosa yang berkaitan
dengan manusia misalnya kedzoliman maka harus meminta maaf kepada orang di
dzolimi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari
kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas
adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam
beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat
mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang
lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak ciri Orang Yang Ikhlas.
Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian
paling ikhlas. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan
diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak
diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di
atas sunnah atau tuntunan.
Dosa adalah tindakan yang melanggar norma atau
aturan yang telah ditetapkan Allah
DAFTAR PUSTAKA
Sumber :
http://arhamvhy.blogspot.com/2012/07/10-macam-dosa-besar-menurut-al-quran.html
http;//www.dakwatuna.com
Sahih Muslim,Kitab Al-Imarah
Al-Qur’an nul karim
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2
A. Ikhlas
dalam beramal.............................................................................. 2
B. Niat
atau motivasi dalam beramal......................................................... 3
C.
Hadis menjauhi perbuatan riya dan syirik kecil......................................... 7
D.
Dosa dosa besar ........................................................................................ 11
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ........................................................................................... 14
B. Daftar Pustaka................................................................................................ 15
Kata Pengantar
Puji syukur
penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan
karunian-Nya kepada penulis sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan
baik. Didalam makalah ini penulis membahas tentang “IKHLAS DALAM BERAMAL DAN DOSA DOSA BESAR” .
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan
baik dari segi isi maupun dalam penyajian materinya. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifstnya membangun dari pembaca demi perbaikan makalah
ini.
Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Amiiin.....
.
Cipasung, 2014-02-19
Penulis,
MAKALAH
“IKHLAS
DALAM BERAMAL DAN DOSA DOSA BESAR”
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Di Susun Oleh :
Ilham Syawalludin
Ihsan abdul aziz
Asep denis
Lia parlia
Cahya
Sri.m
yuli
Kelas:I A
Fak / Jur:Tarbiyah / PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG (IAIC)
SINGAPARNA-TASIKMALAYA
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar