BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pada
masa sekarang, masa dimana globalisasai tidak bisa dihindari, akan tetapi
adanya perkembangan zaman itulah yang harus diterima dengan cara memfilter apa
yang seharusnya dipilih untuk maslahah bersama. Belakangan ini banyak ditemukan
pendidikan yang bobrok, realita ini banyak ditemukan di wilayah kota-kota
besar. Memang dalam keilmuan non agama bisa dikatakan unggul, akan tetapi nilai
spiritual yang ada sangatlah tidak cocok bila dikatakan sebagai seorang muslim.
Pendidikan Islam adalah salah satu cara untuk merubah pola hidup mereka. Tetapi
yang menjadi pertanyaan adalah pendidikan Islam itu seperti apa.
2. Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin
dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas
yang diberikan pada mata kuliah pengantar Metodologi Khusus Pengajaran Agama
Islam
2. Sebagai bentuk
perhatian mahasiswa terhadap masalah Pendidikan Islam yang dihadapi Indonesia
3. Membantu dalam
membahas dan menanggulangi masalah yang dihadapi di dalam dunia Pendidikan
Islam
3.
Rumusan Masalah
Ø
Apa pengertian pendidikan islam ?
Ø
Apa fungsi, tujuan,
prinsip serta ciri-ciri dari Pendidikan Islam tersebut ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan
Agama Islam berarti "usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam
membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam".
(Zuhairani, 1983 : 27)
Syariat
islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja,
tetapi harus dididik melalui proses pendidikan nabi sesuai ajaran Islam dengan
berbagai metode dan pendekatan dari satu segi kita lihat bahwa pendidikan islam
itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud
dalam amal perbuatan baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari
segi lainnya, pendidikan islam tidak bersifat teoritis saja, tetapi juga
praktis. Ajaran islam tidak memisahkan antara iman dan amal shaleh. Oleh karena
itu, pendidikan islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal dan
juga karena ajaran islam berisi tentang ajaran sikap dan tingkah laku pribadi
masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan
islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Semula yang
bertugas mendidik adalah para Nabi dan Rasul selanjutnya para ulama, dan cerdik
pandailah sebagai penerus tugas, dan kewajiban mereka (Drajat, 1992 : 25-28).
Pendidikan
agama dapat didefenisikan sebagai upaya untuk mengaktualkan sifat-sifat
kesempurnaan yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepada manusia, upaya
tersebut dilaksanakan tanpa pamrih apapun kecuali untuk semata-mata beribadah
kepada Allah (Bawani, 1993 : 65).
Ahli
lain juga menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah sebagai proses penyampaian
informasi dalam rangka pembentukan insan yang beriman dan bertakwa agar manusia
menyadari kedudukannya, tugas dan fungsinya di dunia dengan selalu memelihara
hubungannya dengan Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekitarnya serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (termasuk dirinya sendiri dan
lingkungan hidupnya) (Ali, 1995 : 139)
Para
ahli pendidikan islam telah mencoba memformutasi pengertian pendidikan Islam,
di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah :
·
Al-Syaibany
mengemukakan bahwa pendidikan agama islam adalah proses mengubah tingkah laku
individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya.
Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu
aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam
masyarakat.
·
Muhammad
fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan,
mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan
nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut,
diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurnah, baik yang
berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya.
· Ahmad D. Marimba
mengemukakan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil)
·
Ahmad
Tafsir mendefenisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh
seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam
(Tafsir, 2005 : 45)
Dari
batasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu
sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan
kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat islam selama hidup
di dunia.
Adapun
pengertian lain pengajaran agama islam secara alamiah adalah manusia tumbuh dan
berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi
tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses
setingkat demi setingkat, pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta
yang berproses demikian adalah berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan
oleh Allah sebagai “sunnatullah”
Pendidikan
sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek
rohaniah dan jasmani juga harus berlangsung secara bertahap oleh karena suatu
kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan dan pertumbuhan
dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan
akhir perkembangan atau pertumbuhannya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengajaran agama Islam
adalah usaha sadar atau kegiatan yang disengaja dilakukan untuk membimbing
sekaligus mengarahkan anak didik menuju terbentuknya pribadi yang utama (insan
kamil) berdasarkan nilai-nilai etika islam dengan tetap memelihara hubungan
baik terhadap Allah Swt (HablumminAllah) sesama manusia (hablumminannas),
dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
B.
Fungsi Pengajaran Agama Islam
Pendidikan
Agama Islam mempunyai fungsi sebagai media untuk meningkatkan iman dan taqwa
kepada Allah SWT, serta sebagai wahana pengembangan sikap keagamaan dengan
mengamalkan apa yang telah didapat dari proses pembelajaran Pendidikan Agama
Islam.
Zakiah
Daradjad berpendapat dalam bukunya Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam bahwa
:
Sebagai
sebuah bidang studi di sekolah, pengajaran agama Islam mempunyai tiga fungsi,
yaitu: pertama, menanamtumbuhkan rasa keimanan yang kuat, kedua,
menanamkembangkan kebiasaan (habit vorming) dalam melakukan amal ibadah, amal
saleh dan akhlak yang mulia, dan ketiga, menumbuh kembangkan semangat untuk
mengolah alam sekitar sebagai anugerah Allah SWT kepada manusia.
Dari
pendapat diatas dapat diambil beberapa hal tentang fungsi dari Pendidikan Agama
Islam yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
Pengembangan,
yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah SWT yang
ditanamkan dalam lingkup pendidikan keluarga.
b.
Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan
pengetahuan keagamaan yang fungsional
c.
Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat ber
sosialisasi dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.
d.
Pembiasaan, yaitu melatih siswa untuk selalu
mengamalkan ajaran Islam, menjalankan ibadah dan berbuat baik.
Disamping
fungsi-fungsi yang tersebut diatas, hal yang sangat perlu di ingatkan bahwa
Pendidikan Agama Islam merupakan sumber nilai, yaitu memberikan pedoman hidup
bagi peserta didik untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di
akhirat.
C.
Tujuan
Pengajaran Agama Islam
Sebelum
peneliti mengemukakan tujuan Pendidikan Agama tersebut terlebih dahulu akan
mengemukakan tujuan pendidikan secara umum. Tujuan pendidikan merupakan faktor
yang sangat penting, karena merupakan arah yang hendak dituju oleh pendidikan
itu. Demikian pula halnya dengan Pendidikan Agama Islam, yang tercakup mata
pelajaran akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan
dari pendidikan agama.
Tujuan
pendidikan secara formal diartikan sebagai rumusan kualifikasi, pengetahuan,
kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik setelah selesai suatu
pelajaran di sekolah, karena tujuan berfungsi mengarahkan, mengontrol dan
memudahkan evaluasi suatu aktivitas sebab tujuan pendidikan itu adalah identik
dengan tujuan hidup manusia.
Dari
uraian di atas tujuan Pendidikan Agama peneliti sesuaikan dengan tujuan
Pendidikan Agama di lembaga-lembaga pendidikan formal dan peneliti membagi
tujuan Pendidikan Agama itu menjadi dua bagian dengan uraian sebagai berikut :
1) Tujuan Umum
Tujuan
umum Pendidikan Agama Islam adalah untuk mencapai kwalitas yang disebutkan oleh
al-Qur'an dan hadits sedangkan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi
tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang
tercantum dalam Undang-Undang dasar No. 20 Tahun 2003
Dari
tujuan umum pendidikan di atas berarti Pendidikan Agama bertugas untuk
membimbing dan mengarahkan anak didik supaya menjadi muslim yang beriman teguh
sebagai refleksi dari keimanan yang telah dibina oleh penanaman pengetahuan
agama yang harus dicerminkan dengan akhlak yang mulia sebagai sasaran akhir
dari Pendidikan Agama itu.
Menurut
Abdul Fattah Jalal tujuan umum pendidikan
Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hambah Allah, ia mengatakan
bahwa tujuan ini akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat
at-Takwir ayat 27. Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua
manusia. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia
menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah atau dengan kata lain
beribadah kepada Allah.
Islam
menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut
Allah adalah beribadah kepada Allah, ini diketahui dari surat al-Dzariyat ayat
56 yang berbunyi :
Artinya
: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah
kepada-Ku” (Q.S al-Dzariyat, 56)
2) Tujuan Khusus
Tujuan
khusus Pendidikan Agama adalah tujuan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang dilaluinya, sehingga
setiap tujuan Pendidikan Agama pada setiap jenjang sekolah mempunyai tujuan
yang berbeda-beda, seperti tujuan Pendidikan Agama di sekolah dasar berbeda
dengan tujuan Pendidikan Agama di SMP, SMA dan berbeda pula dengan tujuan
Pendidikan Agama di perguruan tinggi.
Tujuan
khusus pendidikan seperti di SLTP adalah untuk meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut serta meningkatkan tata cara membaca
al-Qur’an dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan
wakaf. Membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuh dan menjawukan
diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah serta
memahami dan meneladani tata cara mandi wajib dan shalat-shalat wajib maupun
shalat sunat (Riyanto, 2006 : 160).
Sedangkan
tujuan lain untuk menjadikan anak didik agar menjadi pemeluk agama yang aktif
dan menjadi masyarakat atau warga negara yang baik dimana keduanya itu terpadu
untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan merupakan suatu hakekat, sehingga
setiap pemeluk agama yang aktif secara otomatis akan menjadi warga negara yang
baik, terciptalah warga negara yang pancasilis dengan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa
Sangat
berbeda dengan pendidikan islam, dimana tujuan pengajaran Islam tidak terlepas
dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi
hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang
berbahagia di dunia dan akhirat
Dalam
konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik
dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang
dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
D.
Prinsip
dan Ciri-ciri Pengajaran Agama Islam
Dalam
usaha mengefektifkan implementasi kurikulum pendidikan Agama Islam, perlu ada
sebuah prinsip tertentu agar kurikulum tersebut relevan dengan harapan oleh
semua pihak, yaitu sekolah itu sendiri, peserta didik, orangtua, dan
masyarakat, serta komunitas yang lebih besar lagi. Prinsip dasar yang harus
diperhatikan antara lain:
Pertama,
prinsip orientasi pada tujuan. Artinya agar seluruh kurikulum terarah, perlu
diarahkan pada tujuan pendidikan yang tersusun sebelumnya. Selain itu, perlu
adanya persiapan khusus bagi penyelenggara pendidikan untuk menetapkan
tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas
manusia sebagai hamba dan khalifah Allah (Muhaimin, 1993: 193-194).
Kedua,
prinsip relevansi, yaitu sebuah kesesuaian atau keselarasan pendidikan dengan
tuntutan kehidupan. Artinya bahwa pendidikan dipandang relevan, apabila proses
dan hasil yang diperoleh dapat berguna dan fungsional bagi kehidupan peserta
didik. Relevansi tersebut sekurang-kurangnya ada tiga hal, yakni relevansi
pendidikan dengan lingkungan hidup peserta didik, relevansi dengan perkembangan
kehidupan masa sekarang dan masa depan, serta relevansi dengan tuntutan dalam
pekerjaan (Soetopo, 1986: 49-50). Dalam konteks Islam, kurikulum tersebut
memiliki muatan “rahmatan lil ‘alamin”.
Ketiga,
prinsip efesiensi. Sebuah usaha untuk mengelola kegiatan kurikulum agar dapat
mendayagunakan tenaga, biaya dan sumber-sumber lain secara cermat dan tepat,
sehingga hasilnya memadahi dan memenuhi harapan.
Keempat,
prinsip efektifitas. Setiap kegiatan pasti berhubungan dengan masalah
sejauhmana hal-hal yang direncanakan dapat terlaksana secara tepat waktu serta
sesuai dengan harapan atau rencana awal (Nurgiyanto, 1988: 152-153). Jadi
prinsip ini menginginkan adanya hasil yang maksimal tanpa pemborosan yang
sifatnya mubadzir.
Kelima,
prinsip fleksibelitas. Implikasi dari prinsip ini adalah kurikulum disusun
begitu luwes, sehingga mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tanpa
mengubah tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini tidak saja dilihat dari
faktor kondisi lingkungan saja, melainkan juga berkenaan dengan perkembangan
peserta didik (kecerdasan, kemampuan, dan pengetahuan yang diperoleh),
metode-metode belajar mengajar yang digunakan, fasilitas-fasilitas yang
tersedia, serta lingkungan yang mempengaruhinya (Muhaimin, 1993: 194). Soetopo
dan Wasty menambahkan bahwa prinsip fleksibilitas dapat diwujudkan dalam bentuk
memberikan kesempatan guru agar dapat mengembangkan sendiri program-program
pembelajaran dengan berpegang teguh pada tujuan dan bahan kurikulum yang masih
bersifat agak umum (Soetopo, 1986: 53-54).
Keenam,
prinsip kesinambungan. Istilah kesinambungan dimaksudkan adanya hubungan yang
saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan, terutama
mengenai bahan pengajaran. Pada tiap tingkat sekolah hingga perguruan tinggi,
masing-masing satu dengan yang lain mempunyai hubungan secara hirarkis
fungsional. Oleh karena itu, dalam penyusunan kurikulum hubungan fungsional
hirarkis tersebut harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan penyusunan
program pengajaran. Hal itu juga mengingat bahwa tiap lulusan sekolah pada
tingkat tertentu, di samping dibekali dengan keterampilan-keterampilan untuk
terjun praktek di masyarakat, juga dipersiapkan untuk memasuki pendidikan ke
jenjang selanjutnya (Nurgiyanto, 1980: 154-156). Intinya adalah bagaimana
susunan kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan
kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara vertikal (penjenjangan,
tahapan) maupun secara horizontal.
Ketujuh,
prinsip objektifitas. Implikasi prinsip ini yaitu adanya kurikulum yang
dilakukan melalui tuntunan kebenaran ilmiah yang objektif dengan
mengesampingkan pengaruh-pengaruh emosi dan irasional.
Kedelapan,
prinsip integritas. Yaitu upaya agar kurikulum tersebut mampu menghasilkan
manusia seutuhnya, manusia yang bisa mengintegrasikan antar kekuatan dzikir dan
kekuatan fikir, serta manusia yang dapat menyelaraskan struktur kehidupan dunia
dan struktur kehidupan akhirat. Di samping itu, pengupayaan kurikulum tersebut
mencetak peserta didik yang mampu menguasai ilmu-ilmu qur’an dan ilmu-ilmu
kauni yang bertujuan mencari ridha Allah Swt. Prinsip ini dilakukan dengan cara
memadukan semua komponen-komponen kurikulum, tanpa adanya pemenggalan satu sama
lainnya.
Kesembilan,
prinsip belajar seumur hidup. Yaitu adanya kesadaran dan kemauan setiap manusia
untuk selalu membuka diri, mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya melalui
kegiatan belajar mengajar. Belajar tidak harus hanya terikat dalam konteks
sekolah atau yang formal saja, melainkan sebuah proses belajar sepanjang hayat
dimana pun berada (Nurgiyanto, 1988: 157-158). Prinsip belajar seumur hidup
mengandung makna bahwa sekolah bagi anak bukanlah satu-satunya masa untuk
belajar. Namun, di luar itu siswa dapat senantiasa belajar secara terus menerus
sepanjang hayat. Dengan prinsip ini diharapkan siswa memiliki kecakapan hidup
yang lebih baik dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zamannya.
1. Ciri Menonjol Dari Seluruh LPI
Seluruh
tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah pewarisan
nilai-nilai ajaran agama Islam. Hal ini sangat beralasan mengingat aspek-aspek
kurikulum yang ada menyajikan seluruhnya memasukan mata pelajaran agama Islam
secara komprehensif dan terpadu (walaupun di sekolah-sekolah umum dipelajari
juga mata pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan mendalam)
sementara di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan agama Islam
menjadi kosentrasi dan titik tekan. .
v Pesantren
Tradisional ( Salaf )
Untuk
mengetahui karakteristik pendidikan pesantren salaf atau tradisional, maka
dapat di lacak dari berbagai segi diantaranya adalah sebagaiberikut :
a. Materi pelajaran dan metode
pengajaran
Sebagai
lembaga pendidikan Islam, pesantren pada pada dasarnya hanya mengajarkan agama,
sedangkan sumber kajian atau mata pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa
Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwidnya
dan tafsinya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dengan
mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan,
ma’ani, badi’ dan ’arudh, tarikh, mantiq, dan tasawuf. kitab yang dikaji di
pesantern umumnya kitap-kitap yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara
abad ke-12 sampai abad ke-15 atau azim disebut dengan “kitab kuning”.
Adapun
metode yang lazim dipergukan dalam pendidikan pesantern ialah wetonan, sorogan,
dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah di mana para santri mengikuti
pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerang pelajaran. Santri
menyimak kitap masing-masing dan mencatat jika perlu. Iistilah weton berasal
dari kata waktu (jawa) yang berarti waktu karena pengajian tersebut diberikan
pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat fardu
(lima waktu). Di Jawa Barat, metode ini dusebut dengan bandongan; sedangkan
disumatra disebut dengan halaqah, yaitu belajar secara kelompok (group) yang di
ikuti oleh santri. Biiasanya kiai mengunakan bahasa daerah setempat dan
langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang di pelajarinya.
Metode
serogan ialah suatau metode dimana santri menghadap guru atau kiai seoarang demi
seorang dengan membawa kitab yang dipelajari. Kiai membacakan dan menerjemahkan
kalimat demi kalimat; kemudian menerangkan maksudnya santri mmenyimak bacaan
kiai dan mengulanginya sampai memahaminya, kemudian kiai mengesahkan
(jawa:ngesahi), jika santri sudah benar-benar mengerti, dengan memberiikan
catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kiai
kepadanya. Istilah sorogan berasal dari kata sorog ( jawa ) yang berarti
menyodorkan kitab kedepan kiai atau asistenya. Pengajian dengan metode ini
merupakan pelimpahan nilai- nilai sebagai proses delivery of culture di
pesantren dengan istilah tutorship atau mentorship. Menurut Dhofier, metode
sorogan ini merupakn bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode
pendidikan Islam tradisional; sebab system ini menuntut kesabaran, kerajianan,
ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Kendatipun demikian,” metode seperti ini
diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada
kesempatan untuk tanya jawab langsung”.
Metode
hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu
dari kitab yang di pelajarinya. Biasanya cara menghafal ini dijarkan dalam
bentuk syair atau nazham. Dengan cara ini memudahkan santri untuk menghafal,
baik ketika sedang belajar muapun disaat berada di luar jam belajar. Kebiasaan
menghafal, merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya.
Hafalan tidak saja terbatas pada ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits ataupun
nazham tetapi juga isi atau teks kitab tertentu. Karena itu pula, oleh sebagian
kiai diajarkan kitab kepada santrinya tidak sekaligus tetapi secara berangsur –
angsur ( gradual ), kalimat demi kalimat sehingga santrinya mengerti benar apa
yang diajarkannya. Dalam kaitan ini, oleh Deliar Noer disebutkan bahwa
pengajian seperti itu merupakan pola lama dimana kiai tidak ingin santrinya
lebih pandai padanya.
Dari
pernyataan diatas tampak bahwa metode hafalan mengandung sisi kelemahan, antara
lain santri cenderung mengikuti apa saja yang dikatakan oleh kiainya, tanpa ada
penalaran dan analisis yang cermat. Tradisi ini tentu saja dapat di berlakukan
untuk seluruh pesantren dan kiai. Kasus diatas merupakan pengecualian. Namuan,
pesantren tradisional sampai sekarang masih menggunakan ketiga metode tersebut
dalam system pengajaranya. Dengan begitu pesantren masih mempertahankan
keunikanya.
b. Jenjang pendidikan
Jenjang
pendidikan pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga- lembaga pendidikan
yang memakai system klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai
dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri
telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan ( ujian
) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang
pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal,
tetapi pada penguasaan kitab- kitab yang telah di tetapkan dari yang paling
rendah sampai yang paling tinggi.
Diantara
para santri ada yang mendalami secara khusus salah satu fan (cabang ilmu),
misalnya ilmu hadis atau tafsir. Dijawa, misalnya, seorang santri untuk memperoleh
spesialisasi, selain mendatangi seorang kiai besar juga harus memilih pesantren
memiliki keunikan; dan dengan begitu menjadi karakteristiknya. Misalnya, untuk
mendapat ijazah fath al- wahab dan mahalli, seorang santri harus pergi
kepesantren kiai Ma’sum Lasem; untuk Tafsir Baidhawi mengaji pada kiai Baidhawi
juga di Lasem; untuk hadits Bukhori dan muslim harus mengaji pada kiai
HasyimAsy’ari; untuk mendapat ijazah al- Asybah wa al- Nadzair dan jauhar
Maknun harus mengaji ke pesantren Termas Pacitan.
Adanya
bidang – bidang khusus yang merupakan fokus masing- masing pesantren dapat
menarik minat para santri untuk memilih bidang- bidang yang diminati. Hal ini
menunjukan keanekaragaman bidang kajian di pesantren – pesantren di mana antara
satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan. Secara umum dapat dipahami bahwa
setiap pesantren memberikan porsi yang lebih besar pada bidang- bidang tertentu
sebagai kekhasan pendidikan yang dimilikinya; dan sekaligus ia dikenal karena
kekhususanya itu.
c. Fungsi pesantren
Pesantren
tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai
lembaga social dan penyiaran agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa
ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-
ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama.
Sebagai
lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal ( Madrasah ,
sekolah umum, dan perguruan tinggi ), dan pendidikan non formal yang secara
khusus mengajarkan agama yang sangat kuat di pengaruhi oleh pikiran- pikiran
ulama fiqh, hadits, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Sebagai lembaga social,
pesantren menampung anak- anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa
membedakan tingkat social ekonomi mereka. Sementara itu, setiap hari menerima
tamu yang dating dari masyarakat umum, baik dari masyarakat sekitar maupun
masyarakat jauh. Mereka yang dating bertamu mempunyai motif yang berbeda- beda;
ada yang ingin bersilaturahmi, ada yang berkonsultasi, meminta nasihat, memohon
do’a, berobat, dan ada pula yang meminta jimat untuk penangkal gangguan dalam
kehidupan sehari- hari. Sebagian lembaga penyiaran agama Islam, masjid
pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar
agama dan ibadah bagi para jama’ah. Masjid pesantren sering dipakai untuk
majlis ta’lim ( pengajian ), diskusi- diskusi keagamaan, dan sebagainya. Selain
itu, kiai dan santri- santri senior, di samping mengajar juga berda’wah baik di
dalam kota maupun di luarnya; bahkan sampai ke derah- daerah pedalaman.
Sehubungan
dengan tiga fungsi tersebut, pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi
dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan
masyarakat umum. Masyarakat umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus
yang ideal terutama dalam kehidupan moral keagamaan. Karakteristik pesamtren
dilihat dari segi fungsinya, dan sangat berperan di tengah- tengah masyarakat,
menjadikanya semakin eksis dan dapat diterima ( acceptable )oleh semua
kalangan.
d. Prinsip-prinsip pendidikan
pesantren
Sesuai
dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatanya yang holistic, pesantren
memiliki prinsip- prinsip utama dalam menjalankan pendidikanya. Setidak-
tidaknya ada dua belas prinsip yang di pegang teguh pesantren: (1) theocenric,
(2)sukasela dalam pengabdian;(3) kearifan; (4) kesederhanaan;(5)
kolektivitas;(6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin
kemandirian;(9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan
mengabdi;(10)mengamalkan ajaran agama;(11) belajar di pesantren bukan untuk
mencari ijazah;(12) restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh
setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai.
Prinsip-
prinsip pendidikan tersebut, agaknya, merupakan nilai- nilai kebenaran universal;
dan pada dasarnya sama dengan nilia- nilai luhur kehidupan masyarkat pada
umumnya. Dengan nilai- nilai itu pula di pesantren senantiasa tercipta
ketentraman, kenyamanan, dan keharmonisan.
Kehidupan
pesantren diwarnai dengan asketisme, yang di kombinasikan dengan kesediaan
melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh berkah pada jiwa seorang
santri, keberkahan ini tentu saja, memberikan bekas pada jiwa seorang santri,
dan bekas inilah yang pada giliranya nanti akan membentuk sikap hidupnya. Asketisme
yang digunakan pesantren merupakan proyeksi pilihan ideal bagi pola kehidupan
umum yang di landa krisis, yang akhirnya menumbuhkan pesantren sebagai unit
budaya yang berdiri terpisah dari kehidupan social ( social life ) dan pada
waktu yang sama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan ganda inilah
yang sebenarnya dapat dikatakan menjadi cirri utama pesantren sebagai salah
satu subkultur. Dalam menjalankan peranan ganda ini, pesantren terlibat dalam
proses penciptaan nilai atau tata nilai yang memiliki dua unsure utama:
peniruan dan pengekangan.unsur pertama, yaitu peniruan, adalah adalah usaha
yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para
sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan pada ulama salaf kedalam praktik kehidupan di
pesantren. Pola kehidupan ini tercermin dalam ketaatan beribadat secara
maksimal, penerimaan material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok
yang tinggi.
Unsur
kedua ialah pengekangan ( ostracization ), yaitu penerapan kedisiplin social
yang ketat di pesantren. Kesetian tunggal pada pesantren adalah dasar pokok
disiplin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkanganya
merupakan konsekuensi mekanisme pengekangan yang digunakan. Pengusiran seorang
santri adalah hukuman yang luar biasa beratnya, karena ia mengandung implikasi
penolakan total oleh semua pihak, disamping kehilangan dukungan moral dari
kiainya. Kriteria yang biasa di pakai untuk mengukur krsetiaan seorang santri
kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanaka pola kehidupan yang
tertera dalam leteratur fiqh dan tasawuf . penyimpangan kriteria ini di anggap
sebagai “ahli maksiat” bagi santri yang di kucilkan; juga bagi santri yang
enggan menaati norma- norma yang telah mengakar dalam pesantren.
Keterangan
di atas semakin memperjelas karakteristik pesantren dilihat dari fungsinya.
Dalam kehidupan social ia menjadi rujuan moral ( reference of morality)bagi
masyarakat sekitarnya. Kiai sebagai figur yang dihormati tidak saja karena
kedalaman dan keluasan ilmunya tetapi juga karena kepribadian dan akhlaknya. Di
samping itu, prinsip keikhlasan dan kesetiaan santri kepada kiai dan lembaganya
serta kehidupan asketis ( sufistik ) di lingkungan pesantren semakin
mempertegas identitasnya di tengah kehidupan masyarakat banyak dimana ia
merupakan sebuah subkultur. Semua ini mencirikan pesantren sebagai wahana
pembinaan moral yang andal, selain penggemblengan intelektual dan kultur
islami.
e. Sarana dan tujuan pesantren
Dalam
bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaa.
Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja
kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren
tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat
dari sikap dan perilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan
sehari- hari. Sarana belajar, misalnya, masih tetap dipertahankan seperti
sediakala dengan duduk di atas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai yang
tidak begitu mewah, tentu saja ada pengecualian. Kiai sekarang berbeda dengan
kia dudlu; kalau dudlu para kiai sering berjalan kaki atau bersepeda; tetapi
kiai sekarang sudah terbiasa mengendarai mobil, bahkan mempunyai mobil dan
sopir pribadi. Begitu pula tempat kediaman santri yang masih sangat sederhana,
terbuat dari kayu dengan fasilitas sekadarnya. Jika dibandingkan dengan system
sekolah atau madrasah, dilihat dari segi sarana dan prasana pesantren
tradisional jauh lebih sederhana.
Mengenai
tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitive. Antara
satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan,
meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat
serta meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. adanya keragaman ini menandakan keunikan
masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kamandirian dan
independensinya.
Tujuan
pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim,
yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia,
bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau pengabdi
masyarakat, sebagai rosul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana
kepribadian Nabi Muhammad ( mengikuti sunnah Nabi ), mapu berdiri sendiri,
bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan
kejayaan umat Islam di tengah- tengah masyarakat ( ‘izzul Islamiwal muslimin ),
dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Rumusan
di atas menggambarkan bahwa pembinaan akhlak dan kepribadian serta semangat
pengabdian menjadi target utama yang ingin dicapai pesantren. Karena itu,
pimpinan pesantren memandang bahwa kunci sukses dalam hidup bersama adalah
moral agama, yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan. Semua aktivitas
sehari- hari di fokuskan pada pencarian nilai- nilai ilahiah. Hanya hidup
seperti itu yang dapat mencapai kesempurnaan.
f. Kitab Kuning (kitab-kitab
klasik)
Pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan
lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desimasi ilmu-ilmu keislaman,
terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Inilah kemudian khasanah Islam
digali melalui kajia kitab-kitab klasik sekaligus yang membedakanya dengan
lembaga pendidikan lainya. Makanya pengajaran kitab kuning telah menjadi
karakteristik ciri khas dari proses pembelajaran di pondok pesantren.
Di
dunia pesantren, kitab kuning juga sering disebut dengan kitab klasik (al-kutub
al-qadimah) atau kitab kuno, karena memang ia merupakan produksi masa lampau
yaitu sebelum abad ke-17-an M, atau khususnya masa lahirnya empat mazhab
terbesar dalam Islam. Kitab kuning juga disebut dengan “kitab gundul” karena
bentuk-bentuk hurufnya kadang tanpa disertakan sandangan (syakl).
v Pesantren Modern
( Khalaf )
Secara
umum pesantren khalaf pada dsarnya adalah pesantren salaf yang sudah
beradaptasi dengan dunia luar, dengan pengertian lain lembaga pendidikan
pesantren yang telah memasukan kurikulum umum dalam system pembelejaranya, hal
ini secara sederhana dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah
modern. Hal ini dapat diketahui melalui cirri-ciri khuusnya sebagai berikut :
a. Kehidupan kyai dan santri
Pesantren
adalah sebuah kehidupan yang unik sebagaimana dapat dilihat dari penampilan
lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang biasanya
terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa rumah
kiai atau pengasuh pesantren, mesjid sebagai tempat pengajaran diberikan, dan
tempat penginapan santri ( bilik ). Menurut Zamakhsyari Dhofier, baik pesantren
khalafi kecuali pondok Gontor, tetap mempertahankan unsure- unsure tradisional,
yaitu pondok, mesjid, pengajaran kitab- kitab Islam klasik, santri, dan kiai.
Dalam
lingkungan fisik itu, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan
cirri tersendiri dimulai dengan jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari
pengertian masyarakat pada umumnya. Kegiatan di pesantren berkisar pada
pembagian waktu berdasarkan waktu shalat wajib yang lima. Dengan sendirinya
pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan
pengertian di luar. Dalam hal inilah, misalnya, sering di jumpai santri yang
menanak nasi di tengah malam, mencuci pakaian menjelang terbenam mata hari.
Dimensi waktu yang unik ini ercipta karena kegiatan pokok pesantren di pusatkan
pada pemberian pengajian kitab- kitab teks ( al- kutub al- muqarrah ) pada
setiap selesai shalat wajib. Demikian pula ukuran lamanya waktu yang di
pergunakan sehari- hari; pelajaran waktu di tengah hari dan malam lebih panjang
dari pada waktu petang dan subuh.
Corak
kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang di
berikan. Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang
– ulang dari tingkat ke tingkat, seakan- akan tanpa akhir. Persolan yang
diajarkan seringkali pembahasan serupa yang di ulang- ulang selama jangka waktu
bertahun- tahun, walaupun buku teks yang dipakai berbeda. Biasanya dimulai
dengan kitab kecil ( mabsuthat ); kemudian berpindah ke kitab sedang (
mutawassithat ); sampai kitab yang besar ( al- kutub al- ulya ). Masing- masing
kitab di pelajari bertahun- tahun; bahkan pengajaran di pesantren tidak
mengenal kata selesai atau tamat. Demikian juga tentang kenaikan tingkat,
seorang santri lebih cenderung memilih mengulang kembali kitab yang sebenarnya
sudah di pelajarinya bertahun- tahun. Persoalan kenaikan tingkat bukan suatu
yang harus di jalani, melainkan yang di pentingkan adalah kedalam dan keluasan
ilmu dengan menguasai kitab- kitab yang di tetapkan.
b. Masjid
Pembelajaran
di pesantren yang dilakukan kyai biasanya dilakukan di masjid. Masjid adalah
pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah
pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di
lingkungan pesantren. Tetapi seiring dengan perkembangan jumlah santri belajar
berlangsung di bangku, tempat khusus dan ruangan-ruangan khusus untuk
halaqah-halaqah. Bahkan perkembangan terahir menunjukan adanya ruang
kelas-kelas sebagaimana terdapat pada madarasah.
Masjid
dalam sejarah Islam, bukanlah sarana kegiatan peribadatan semata, lebih jauh
dari itu masjid menjadi pusat bagi segenap aktivitas Nabi Muhammad dalam
berinteraksi dengan umat. Masjid, menurut Nurcholish Madjid dapat juga
dikatakan sebagai sarana terpenting masyarakat Islam, dalam pandangan
Nurcholish Madjid, pembangunan masjid adalah modal utama Nabi ketika berjuang
menciptakan masyarakat beradab.
c. Buku-buku modern
d. Materi Pelajaran
Materi
pelajaran yang disajikan kolaborasi kurikulum pendidikan agama ( termsuk
kitab-kitab lasik) dan mata pelajaran umum.
e. Ideologi
Pada
umumnya menganut theosentris humanistic yang mengacu pada pada
pandangan-pandangan ketuhanan dankemanusiaan.
2. Ciri Khusus
Lembaga Pendidikan Islam Tradisional : Pesantren ( Salaf)
Dari
pembahasan diatas dapat diketahui karakteristik kehidupan pesantren yang
sebenarnya, sebagai sesuatu yang berbeda dengan system pendidikan pada umumnya.
Berikut ini dipaparkan beberap ciri khusus yang sangat menonjol dalam kehidupan
pesantren, sehingga membedakannya dengan system pendidikan yang lain. Setidak-
tidaknya ada delapan cirri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1.
Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. kiai sangat
memperhatikan para santrinya. Hal ini dimungkinkan karena sama- sama tinggal
dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam
pergaulan sehari- hari.
2.
Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menetang kiai,
selain tidak sopan juga dilarang agama; bahkan tidak memperoleh berkah karena
durhaka kepada guru.
3.
Hidup hemat dan sederhana benar- benar di wujudkan dalam lingkungan pesantren.
Hidup mewah hampir tidak di dapat disana. Behkan tidak sedikit santri yang
hidupnya terlalu sederhana atau erlalu hemat sehingga kurang memperhatikan
kesehatannya.
4.
Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri,
membersihkan kamar tidurnya sendiri, dan memasakpun sendiri.
5.
Jiwa tolong menolong dan suasana persoudaraan ( ukhwah ) sangat mewarnai
pergaulan di pesantren. Ini disebabkan, selain kehidupan yang merata di
kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan – pekerjaan
yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid dan ruang belajar
bersama.
6.
Disiplin sangat di anjurkan di pesantren. Pagi- pagi antara pukul 04.30 atau
05.00, kiai membangunkan para santri untuk diajak shalat subuh berjamaah.
Meskipun tidak semua pesantren yang memberikan kebebasan kepada santrinya untuk
menetukan sendiri apa yang seharusnya dilakukan. Namun, pembinaan disiplin
sejak masa belajar di pesantren akan meberikan pengaruh besar terhadap para
santri; terutama pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7.
Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi
pendidikan yang di peroleh para santri di pesantren. Ini merupakan pengaruh
kebiasaan puasa sunat, zikir, o’tikaf, shalat tahajud di malam hari, dan
latihan- latihan spiritual lainya.
8.
Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam salah satu daftar rantai
transmisi pengetahuan yang di berikan kepada santri- santri yang berprestasi.
Ini menandakan perkenan atau restu kiai kepada murid atau santrinya untuk
mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai penuh. Pemberian ijazah ini
biasanya diucapkan secara lisan; walaupun kadang kala di tulis, maka catatannya
hanya ada pada kiai.
Perlu
di catat bahwa ciri- ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam
bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan
kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus menrus pada sebagian
besar pesantren. Adalah kurang relevan kalau ciri- ciri tersebut dilekatkan
pada pesantren- pesantren yang telah mengalami pembaharuan dan pengadopsian
system pendidikan modern.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian
pendidikan islam berarti system pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang
untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai islam yang
telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. pendidikan islam masih
dipengaruhi oleh kepentingan masyarakat daripada kepentingan individu.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia memiliki
karakteristik dan ciri khusus yang menonjol dari hampir seluruh jenis dan
bentuk pendidikan yaitu mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran agama
Islam.
B.
Saran
Demikian yang dapat saya paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Tulisan ini tentu amat sangat sederhana mengingat kajian yang saya lakukan belumlah sempurna oleh karena itu tulisan ini perlu banyak kritik dan masukan sehingga menjadi satu karya tulis ilmiah yang dapat bermanfaat bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam.
Tulisan ini tentu amat sangat sederhana mengingat kajian yang saya lakukan belumlah sempurna oleh karena itu tulisan ini perlu banyak kritik dan masukan sehingga menjadi satu karya tulis ilmiah yang dapat bermanfaat bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam.
Saya banyak berharap para pembaca
yang budiman dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, M.A. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Ali
Al-Jumbulati,Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan pendidikan Islam. Jakarta:
PT Rineka Cipta
http://bambumoeda.wordpress.com/2012/06/11/pengertian-pendidikan-islam/
http://pengertianpendidikanislam.blogspot.com/
Zuhaerini,
1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya : Usaha Nasional.
Drajat,
Zakiah, 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara
Tafsir,
Ahmad, 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Persfektif Islam, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
MAKALAH
Istilah
Pendidikan atau Pengajaran Agama Islam, Pengertian, Fungsi, Tujuan, Prinsip dan
Ciri-ciri PAI
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Metodologi Khusus Pengajaran Agama Islam
Disusun Oleh :
Nama : Ai Rika Nurbaya
Kelas : II C
Fak/Jur : Tarbiyah/PAI
INSTITUT
AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA-TASIKMALAYA
2013
KATA PENGANTAR
Pertama-tama perkenankanlah saya
selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
sehingga saya dapat menyusun makalah ini
dengan judul Pengertian, fungsi, tujuan, prinsip dan ciri-ciri PAI.
Tujuan disusunnya makalah ini adalah
untuk memahami aspek pendidikan agama islam. Dengan mempelajari isi dari
makalah ini diharapkan generasi muda bangsa mampu menjadi islam yang sesungguhnya,
shaleh, beriman kepada Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat.
Ucapan terima kasih dan puji syukur
saya sampaikan kepada Allah dan semua
pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk
menyusun makalah ini.
Saya
selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan
makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan.
Oleh karena itu saya memohon saran serta
komentar yang dapat saya jadikan
motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang.
Tasikmalaya , Januari 2014
Ai Rika Nurbaya
DAFTAR ISI :
KATA PENGANTAR ......................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG....................................................... 1
1.2
TUJUAN............................................................................. 1
1.3
RUMUSAN MASALAH................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.A
PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM......................... 2
2.B
FUNGSI PENGAJARAN AGAMA ISLAM................... 4
2.C
TUJUAN PENGAJARAN AGAMA ISLAM................. 5
2.D
PRINSIP DAN CIRI-CIRI PAI........................................ 8
BAB III PENUTUP
3.1
KESIMPULAN ................................................................... 23
3.2
SARAN................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar