TOKO 0SCAR CLASSER

Minggu, 26 Januari 2014

MAKALAH Istilah Pendidikan atau Pengajaran Agama Islam, Pengertian, Fungsi, Tujuan, Prinsip dan Ciri-ciri PAI



BAB I
PENDAHULUAN

    1.    Latar Belakang
Pada masa sekarang, masa dimana globalisasai tidak bisa dihindari, akan tetapi adanya perkembangan zaman itulah yang harus diterima dengan cara memfilter apa yang seharusnya dipilih untuk maslahah bersama. Belakangan ini banyak ditemukan pendidikan yang bobrok, realita ini banyak ditemukan di wilayah kota-kota besar. Memang dalam keilmuan non agama bisa dikatakan unggul, akan tetapi nilai spiritual yang ada sangatlah tidak cocok bila dikatakan sebagai seorang muslim. Pendidikan Islam adalah salah satu cara untuk merubah pola hidup mereka. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah pendidikan Islam itu seperti apa.
Akankah pendidikan merupakan jalan keluar dari permasalahan ini. Melihat kenyataan bahwa Pendidikan Islam merupakan disiplin ilmu, maka asumsi bahwa pendidikan Islam dapat merubah hal itu bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Disinilah kita akan dibahas tentang istilah Pendidikan atau Pengajaran Agama Islam serta fungsi, tujuan, prinsip dan ciri-ciri dari pengajaran tersebut.
2.    Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Memenuhi tugas yang diberikan pada mata kuliah pengantar Metodologi Khusus Pengajaran Agama Islam
2.      Sebagai bentuk perhatian mahasiswa terhadap masalah Pendidikan Islam yang dihadapi Indonesia
3.      Membantu dalam membahas dan menanggulangi masalah yang dihadapi di dalam dunia Pendidikan Islam

    3.     Rumusan Masalah
Ø  Apa  pengertian pendidikan islam ?
Ø  Apa fungsi, tujuan, prinsip serta ciri-ciri dari Pendidikan Islam tersebut ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Agama Islam berarti "usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam". (Zuhairani, 1983 : 27)
Syariat islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan nabi sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan dari satu segi kita lihat bahwa pendidikan islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya, pendidikan islam tidak bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran islam tidak memisahkan antara iman dan amal shaleh. Oleh karena itu, pendidikan islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal dan juga karena ajaran islam berisi tentang ajaran sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Semula yang bertugas mendidik adalah para Nabi dan Rasul selanjutnya para ulama, dan cerdik pandailah sebagai penerus tugas, dan kewajiban mereka (Drajat, 1992 : 25-28).
Pendidikan agama dapat didefenisikan sebagai upaya untuk mengaktualkan sifat-sifat kesempurnaan yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepada manusia, upaya tersebut dilaksanakan tanpa pamrih apapun kecuali untuk semata-mata beribadah kepada Allah (Bawani, 1993 : 65).
Ahli lain juga menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah sebagai proses penyampaian informasi dalam rangka pembentukan insan yang beriman dan bertakwa agar manusia menyadari kedudukannya, tugas dan fungsinya di dunia dengan selalu memelihara hubungannya dengan Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekitarnya serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (termasuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya) (Ali, 1995 : 139)
Para ahli pendidikan islam telah mencoba memformutasi pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah :
·      Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan agama islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.

·      Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurnah, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya.

·      Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil)

·      Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005 : 45)
Dari batasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat islam selama hidup di dunia.
Adapun pengertian lain pengajaran agama islam secara alamiah adalah manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat, pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian adalah berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah sebagai “sunnatullah”
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmani juga harus berlangsung secara bertahap oleh karena suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan dan pertumbuhan dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengajaran agama Islam adalah usaha sadar atau kegiatan yang disengaja dilakukan untuk membimbing sekaligus mengarahkan anak didik menuju terbentuknya pribadi yang utama (insan kamil) berdasarkan nilai-nilai etika islam dengan tetap memelihara hubungan baik terhadap Allah Swt (HablumminAllah) sesama manusia (hablumminannas), dirinya sendiri dan alam sekitarnya.

B.         Fungsi  Pengajaran Agama Islam
Pendidikan Agama Islam mempunyai fungsi sebagai media untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, serta sebagai wahana pengembangan sikap keagamaan dengan mengamalkan apa yang telah didapat dari proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Zakiah Daradjad berpendapat dalam bukunya Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam bahwa :
Sebagai sebuah bidang studi di sekolah, pengajaran agama Islam mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama, menanamtumbuhkan rasa keimanan yang kuat, kedua, menanamkembangkan kebiasaan (habit vorming) dalam melakukan amal ibadah, amal saleh dan akhlak yang mulia, dan ketiga, menumbuh kembangkan semangat untuk mengolah alam sekitar sebagai anugerah Allah SWT kepada manusia.
Dari pendapat diatas dapat diambil beberapa hal tentang fungsi dari Pendidikan Agama Islam yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.      Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah SWT yang ditanamkan dalam lingkup pendidikan keluarga.
b.       Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional
c.        Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat ber sosialisasi dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.
d.       Pembiasaan, yaitu melatih siswa untuk selalu mengamalkan ajaran Islam, menjalankan ibadah dan berbuat baik.
Disamping fungsi-fungsi yang tersebut diatas, hal yang sangat perlu di ingatkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan sumber nilai, yaitu memberikan pedoman hidup bagi peserta didik untuk mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat.

C.        Tujuan Pengajaran Agama Islam
Sebelum peneliti mengemukakan tujuan Pendidikan Agama tersebut terlebih dahulu akan mengemukakan tujuan pendidikan secara umum. Tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, karena merupakan arah yang hendak dituju oleh pendidikan itu. Demikian pula halnya dengan Pendidikan Agama Islam, yang tercakup mata pelajaran akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Tujuan pendidikan secara formal diartikan sebagai rumusan kualifikasi, pengetahuan, kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik setelah selesai suatu pelajaran di sekolah, karena tujuan berfungsi mengarahkan, mengontrol dan memudahkan evaluasi suatu aktivitas sebab tujuan pendidikan itu adalah identik dengan tujuan hidup manusia.
Dari uraian di atas tujuan Pendidikan Agama peneliti sesuaikan dengan tujuan Pendidikan Agama di lembaga-lembaga pendidikan formal dan peneliti membagi tujuan Pendidikan Agama itu menjadi dua bagian dengan uraian sebagai berikut :
1)    Tujuan Umum
Tujuan umum Pendidikan Agama Islam adalah untuk mencapai kwalitas yang disebutkan oleh al-Qur'an dan hadits sedangkan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang dasar No. 20 Tahun 2003

Dari tujuan umum pendidikan di atas berarti Pendidikan Agama bertugas untuk membimbing dan mengarahkan anak didik supaya menjadi muslim yang beriman teguh sebagai refleksi dari keimanan yang telah dibina oleh penanaman pengetahuan agama yang harus dicerminkan dengan akhlak yang mulia sebagai sasaran akhir dari Pendidikan Agama itu.
Menurut Abdul Fattah Jalal tujuan umum pendidikan  Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hambah Allah, ia mengatakan bahwa tujuan ini akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat at-Takwir ayat 27. Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah atau dengan kata lain beribadah kepada Allah.

Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah adalah beribadah kepada Allah, ini diketahui dari surat al-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi :
Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S al-Dzariyat, 56)

2)    Tujuan Khusus
Tujuan khusus Pendidikan Agama adalah tujuan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang dilaluinya, sehingga setiap tujuan Pendidikan Agama pada setiap jenjang sekolah mempunyai tujuan yang berbeda-beda, seperti tujuan Pendidikan Agama di sekolah dasar berbeda dengan tujuan Pendidikan Agama di SMP, SMA dan berbeda pula dengan tujuan Pendidikan Agama di perguruan tinggi.
Tujuan khusus pendidikan seperti di SLTP adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut serta meningkatkan tata cara membaca al-Qur’an dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan wakaf. Membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuh dan menjawukan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah serta memahami dan meneladani tata cara mandi wajib dan shalat-shalat wajib maupun shalat sunat (Riyanto, 2006 : 160).
Sedangkan tujuan lain untuk menjadikan anak didik agar menjadi pemeluk agama yang aktif dan menjadi masyarakat atau warga negara yang baik dimana keduanya itu terpadu untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan merupakan suatu hakekat, sehingga setiap pemeluk agama yang aktif secara otomatis akan menjadi warga negara yang baik, terciptalah warga negara yang pancasilis dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sangat berbeda dengan pendidikan islam, dimana tujuan pengajaran Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.

D.        Prinsip dan Ciri-ciri Pengajaran Agama Islam
Dalam usaha mengefektifkan implementasi kurikulum pendidikan Agama Islam, perlu ada sebuah prinsip tertentu agar kurikulum tersebut relevan dengan harapan oleh semua pihak, yaitu sekolah itu sendiri, peserta didik, orangtua, dan masyarakat, serta komunitas yang lebih besar lagi. Prinsip dasar yang harus diperhatikan antara lain:
Pertama, prinsip orientasi pada tujuan. Artinya agar seluruh kurikulum terarah, perlu diarahkan pada tujuan pendidikan yang tersusun sebelumnya. Selain itu, perlu adanya persiapan khusus bagi penyelenggara pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah (Muhaimin, 1993: 193-194).
Kedua, prinsip relevansi, yaitu sebuah kesesuaian atau keselarasan pendidikan dengan tuntutan kehidupan. Artinya bahwa pendidikan dipandang relevan, apabila proses dan hasil yang diperoleh dapat berguna dan fungsional bagi kehidupan peserta didik. Relevansi tersebut sekurang-kurangnya ada tiga hal, yakni relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup peserta didik, relevansi dengan perkembangan kehidupan masa sekarang dan masa depan, serta relevansi dengan tuntutan dalam pekerjaan (Soetopo, 1986: 49-50). Dalam konteks Islam, kurikulum tersebut memiliki muatan “rahmatan lil ‘alamin”.
Ketiga, prinsip efesiensi. Sebuah usaha untuk mengelola kegiatan kurikulum agar dapat mendayagunakan tenaga, biaya dan sumber-sumber lain secara cermat dan tepat, sehingga hasilnya memadahi dan memenuhi harapan.
Keempat, prinsip efektifitas. Setiap kegiatan pasti berhubungan dengan masalah sejauhmana hal-hal yang direncanakan dapat terlaksana secara tepat waktu serta sesuai dengan harapan atau rencana awal (Nurgiyanto, 1988: 152-153). Jadi prinsip ini menginginkan adanya hasil yang maksimal tanpa pemborosan yang sifatnya mubadzir.
Kelima, prinsip fleksibelitas. Implikasi dari prinsip ini adalah kurikulum disusun begitu luwes, sehingga mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tanpa mengubah tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini tidak saja dilihat dari faktor kondisi lingkungan saja, melainkan juga berkenaan dengan perkembangan peserta didik (kecerdasan, kemampuan, dan pengetahuan yang diperoleh), metode-metode belajar mengajar yang digunakan, fasilitas-fasilitas yang tersedia, serta lingkungan yang mempengaruhinya (Muhaimin, 1993: 194). Soetopo dan Wasty menambahkan bahwa prinsip fleksibilitas dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan kesempatan guru agar dapat mengembangkan sendiri program-program pembelajaran dengan berpegang teguh pada tujuan dan bahan kurikulum yang masih bersifat agak umum (Soetopo, 1986: 53-54).
Keenam, prinsip kesinambungan. Istilah kesinambungan dimaksudkan adanya hubungan yang saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan, terutama mengenai bahan pengajaran. Pada tiap tingkat sekolah hingga perguruan tinggi, masing-masing satu dengan yang lain mempunyai hubungan secara hirarkis fungsional. Oleh karena itu, dalam penyusunan kurikulum hubungan fungsional hirarkis tersebut harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan penyusunan program pengajaran. Hal itu juga mengingat bahwa tiap lulusan sekolah pada tingkat tertentu, di samping dibekali dengan keterampilan-keterampilan untuk terjun praktek di masyarakat, juga dipersiapkan untuk memasuki pendidikan ke jenjang selanjutnya (Nurgiyanto, 1980: 154-156). Intinya adalah bagaimana susunan kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara vertikal (penjenjangan, tahapan) maupun secara horizontal.
Ketujuh, prinsip objektifitas. Implikasi prinsip ini yaitu adanya kurikulum yang dilakukan melalui tuntunan kebenaran ilmiah yang objektif dengan mengesampingkan pengaruh-pengaruh emosi dan irasional.
Kedelapan, prinsip integritas. Yaitu upaya agar kurikulum tersebut mampu menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang bisa mengintegrasikan antar kekuatan dzikir dan kekuatan fikir, serta manusia yang dapat menyelaraskan struktur kehidupan dunia dan struktur kehidupan akhirat. Di samping itu, pengupayaan kurikulum tersebut mencetak peserta didik yang mampu menguasai ilmu-ilmu qur’an dan ilmu-ilmu kauni yang bertujuan mencari ridha Allah Swt. Prinsip ini dilakukan dengan cara memadukan semua komponen-komponen kurikulum, tanpa adanya pemenggalan satu sama lainnya.
Kesembilan, prinsip belajar seumur hidup. Yaitu adanya kesadaran dan kemauan setiap manusia untuk selalu membuka diri, mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya melalui kegiatan belajar mengajar. Belajar tidak harus hanya terikat dalam konteks sekolah atau yang formal saja, melainkan sebuah proses belajar sepanjang hayat dimana pun berada (Nurgiyanto, 1988: 157-158). Prinsip belajar seumur hidup mengandung makna bahwa sekolah bagi anak bukanlah satu-satunya masa untuk belajar. Namun, di luar itu siswa dapat senantiasa belajar secara terus menerus sepanjang hayat. Dengan prinsip ini diharapkan siswa memiliki kecakapan hidup yang lebih baik dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zamannya.

1.  Ciri Menonjol Dari Seluruh LPI
Seluruh tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah pewarisan nilai-nilai ajaran agama Islam. Hal ini sangat beralasan mengingat aspek-aspek kurikulum yang ada menyajikan seluruhnya memasukan mata pelajaran agama Islam secara komprehensif dan terpadu (walaupun di sekolah-sekolah umum dipelajari juga mata pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan mendalam) sementara di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan agama Islam menjadi kosentrasi dan titik tekan. .

v  Pesantren Tradisional ( Salaf )
Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren salaf atau tradisional, maka dapat di lacak dari berbagai segi diantaranya adalah sebagaiberikut :
a. Materi pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsinya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ’arudh, tarikh, mantiq, dan tasawuf. kitab yang dikaji di pesantern umumnya kitap-kitap yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai abad ke-15 atau azim disebut dengan “kitab kuning”.

Adapun metode yang lazim dipergukan dalam pendidikan pesantern ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerang pelajaran. Santri menyimak kitap masing-masing dan mencatat jika perlu. Iistilah weton berasal dari kata waktu (jawa) yang berarti waktu karena pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat fardu (lima waktu). Di Jawa Barat, metode ini dusebut dengan bandongan; sedangkan disumatra disebut dengan halaqah, yaitu belajar secara kelompok (group) yang di ikuti oleh santri. Biiasanya kiai mengunakan bahasa daerah setempat dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang di pelajarinya.

Metode serogan ialah suatau metode dimana santri menghadap guru atau kiai seoarang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajari. Kiai membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat; kemudian menerangkan maksudnya santri mmenyimak bacaan kiai dan mengulanginya sampai memahaminya, kemudian kiai mengesahkan (jawa:ngesahi), jika santri sudah benar-benar mengerti, dengan memberiikan catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kiai kepadanya. Istilah sorogan berasal dari kata sorog ( jawa ) yang berarti menyodorkan kitab kedepan kiai atau asistenya. Pengajian dengan metode ini merupakan pelimpahan nilai- nilai sebagai proses delivery of culture di pesantren dengan istilah tutorship atau mentorship. Menurut Dhofier, metode sorogan ini merupakn bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional; sebab system ini menuntut kesabaran, kerajianan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Kendatipun demikian,” metode seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung”.
Metode hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang di pelajarinya. Biasanya cara menghafal ini dijarkan dalam bentuk syair atau nazham. Dengan cara ini memudahkan santri untuk menghafal, baik ketika sedang belajar muapun disaat berada di luar jam belajar. Kebiasaan menghafal, merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya. Hafalan tidak saja terbatas pada ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits ataupun nazham tetapi juga isi atau teks kitab tertentu. Karena itu pula, oleh sebagian kiai diajarkan kitab kepada santrinya tidak sekaligus tetapi secara berangsur – angsur ( gradual ), kalimat demi kalimat sehingga santrinya mengerti benar apa yang diajarkannya. Dalam kaitan ini, oleh Deliar Noer disebutkan bahwa pengajian seperti itu merupakan pola lama dimana kiai tidak ingin santrinya lebih pandai padanya.

Dari pernyataan diatas tampak bahwa metode hafalan mengandung sisi kelemahan, antara lain santri cenderung mengikuti apa saja yang dikatakan oleh kiainya, tanpa ada penalaran dan analisis yang cermat. Tradisi ini tentu saja dapat di berlakukan untuk seluruh pesantren dan kiai. Kasus diatas merupakan pengecualian. Namuan, pesantren tradisional sampai sekarang masih menggunakan ketiga metode tersebut dalam system pengajaranya. Dengan begitu pesantren masih mempertahankan keunikanya.

b. Jenjang pendidikan
Jenjang pendidikan pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga- lembaga pendidikan yang memakai system klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan ( ujian ) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab- kitab yang telah di tetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Diantara para santri ada yang mendalami secara khusus salah satu fan (cabang ilmu), misalnya ilmu hadis atau tafsir. Dijawa, misalnya, seorang santri untuk memperoleh spesialisasi, selain mendatangi seorang kiai besar juga harus memilih pesantren memiliki keunikan; dan dengan begitu menjadi karakteristiknya. Misalnya, untuk mendapat ijazah fath al- wahab dan mahalli, seorang santri harus pergi kepesantren kiai Ma’sum Lasem; untuk Tafsir Baidhawi mengaji pada kiai Baidhawi juga di Lasem; untuk hadits Bukhori dan muslim harus mengaji pada kiai HasyimAsy’ari; untuk mendapat ijazah al- Asybah wa al- Nadzair dan jauhar Maknun harus mengaji ke pesantren Termas Pacitan.
Adanya bidang – bidang khusus yang merupakan fokus masing- masing pesantren dapat menarik minat para santri untuk memilih bidang- bidang yang diminati. Hal ini menunjukan keanekaragaman bidang kajian di pesantren – pesantren di mana antara satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan. Secara umum dapat dipahami bahwa setiap pesantren memberikan porsi yang lebih besar pada bidang- bidang tertentu sebagai kekhasan pendidikan yang dimilikinya; dan sekaligus ia dikenal karena kekhususanya itu.
c. Fungsi pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiaran agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu- ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal ( Madrasah , sekolah umum, dan perguruan tinggi ), dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan agama yang sangat kuat di pengaruhi oleh pikiran- pikiran ulama fiqh, hadits, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Sebagai lembaga social, pesantren menampung anak- anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membedakan tingkat social ekonomi mereka. Sementara itu, setiap hari menerima tamu yang dating dari masyarakat umum, baik dari masyarakat sekitar maupun masyarakat jauh. Mereka yang dating bertamu mempunyai motif yang berbeda- beda; ada yang ingin bersilaturahmi, ada yang berkonsultasi, meminta nasihat, memohon do’a, berobat, dan ada pula yang meminta jimat untuk penangkal gangguan dalam kehidupan sehari- hari. Sebagian lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jama’ah. Masjid pesantren sering dipakai untuk majlis ta’lim ( pengajian ), diskusi- diskusi keagamaan, dan sebagainya. Selain itu, kiai dan santri- santri senior, di samping mengajar juga berda’wah baik di dalam kota maupun di luarnya; bahkan sampai ke derah- daerah pedalaman.
Sehubungan dengan tiga fungsi tersebut, pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Masyarakat umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam kehidupan moral keagamaan. Karakteristik pesamtren dilihat dari segi fungsinya, dan sangat berperan di tengah- tengah masyarakat, menjadikanya semakin eksis dan dapat diterima ( acceptable )oleh semua kalangan.

d. Prinsip-prinsip pendidikan pesantren
Sesuai dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatanya yang holistic, pesantren memiliki prinsip- prinsip utama dalam menjalankan pendidikanya. Setidak- tidaknya ada dua belas prinsip yang di pegang teguh pesantren: (1) theocenric, (2)sukasela dalam pengabdian;(3) kearifan; (4) kesederhanaan;(5) kolektivitas;(6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin kemandirian;(9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;(10)mengamalkan ajaran agama;(11) belajar di pesantren bukan untuk mencari ijazah;(12) restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai.
Prinsip- prinsip pendidikan tersebut, agaknya, merupakan nilai- nilai kebenaran universal; dan pada dasarnya sama dengan nilia- nilai luhur kehidupan masyarkat pada umumnya. Dengan nilai- nilai itu pula di pesantren senantiasa tercipta ketentraman, kenyamanan, dan keharmonisan.
Kehidupan pesantren diwarnai dengan asketisme, yang di kombinasikan dengan kesediaan melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh berkah pada jiwa seorang santri, keberkahan ini tentu saja, memberikan bekas pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada giliranya nanti akan membentuk sikap hidupnya. Asketisme yang digunakan pesantren merupakan proyeksi pilihan ideal bagi pola kehidupan umum yang di landa krisis, yang akhirnya menumbuhkan pesantren sebagai unit budaya yang berdiri terpisah dari kehidupan social ( social life ) dan pada waktu yang sama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan ganda inilah yang sebenarnya dapat dikatakan menjadi cirri utama pesantren sebagai salah satu subkultur. Dalam menjalankan peranan ganda ini, pesantren terlibat dalam proses penciptaan nilai atau tata nilai yang memiliki dua unsure utama: peniruan dan pengekangan.unsur pertama, yaitu peniruan, adalah adalah usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan pada ulama salaf kedalam praktik kehidupan di pesantren. Pola kehidupan ini tercermin dalam ketaatan beribadat secara maksimal, penerimaan material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok yang tinggi.
Unsur kedua ialah pengekangan ( ostracization ), yaitu penerapan kedisiplin social yang ketat di pesantren. Kesetian tunggal pada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkanganya merupakan konsekuensi mekanisme pengekangan yang digunakan. Pengusiran seorang santri adalah hukuman yang luar biasa beratnya, karena ia mengandung implikasi penolakan total oleh semua pihak, disamping kehilangan dukungan moral dari kiainya. Kriteria yang biasa di pakai untuk mengukur krsetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanaka pola kehidupan yang tertera dalam leteratur fiqh dan tasawuf . penyimpangan kriteria ini di anggap sebagai “ahli maksiat” bagi santri yang di kucilkan; juga bagi santri yang enggan menaati norma- norma yang telah mengakar dalam pesantren.
Keterangan di atas semakin memperjelas karakteristik pesantren dilihat dari fungsinya. Dalam kehidupan social ia menjadi rujuan moral ( reference of morality)bagi masyarakat sekitarnya. Kiai sebagai figur yang dihormati tidak saja karena kedalaman dan keluasan ilmunya tetapi juga karena kepribadian dan akhlaknya. Di samping itu, prinsip keikhlasan dan kesetiaan santri kepada kiai dan lembaganya serta kehidupan asketis ( sufistik ) di lingkungan pesantren semakin mempertegas identitasnya di tengah kehidupan masyarakat banyak dimana ia merupakan sebuah subkultur. Semua ini mencirikan pesantren sebagai wahana pembinaan moral yang andal, selain penggemblengan intelektual dan kultur islami.
e. Sarana dan tujuan pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaa. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan perilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari- hari. Sarana belajar, misalnya, masih tetap dipertahankan seperti sediakala dengan duduk di atas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai yang tidak begitu mewah, tentu saja ada pengecualian. Kiai sekarang berbeda dengan kia dudlu; kalau dudlu para kiai sering berjalan kaki atau bersepeda; tetapi kiai sekarang sudah terbiasa mengendarai mobil, bahkan mempunyai mobil dan sopir pribadi. Begitu pula tempat kediaman santri yang masih sangat sederhana, terbuat dari kayu dengan fasilitas sekadarnya. Jika dibandingkan dengan system sekolah atau madrasah, dilihat dari segi sarana dan prasana pesantren tradisional jauh lebih sederhana.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitive. Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. adanya keragaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kamandirian dan independensinya.
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau pengabdi masyarakat, sebagai rosul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad ( mengikuti sunnah Nabi ), mapu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah- tengah masyarakat ( ‘izzul Islamiwal muslimin ), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Rumusan di atas menggambarkan bahwa pembinaan akhlak dan kepribadian serta semangat pengabdian menjadi target utama yang ingin dicapai pesantren. Karena itu, pimpinan pesantren memandang bahwa kunci sukses dalam hidup bersama adalah moral agama, yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan. Semua aktivitas sehari- hari di fokuskan pada pencarian nilai- nilai ilahiah. Hanya hidup seperti itu yang dapat mencapai kesempurnaan.
f. Kitab Kuning (kitab-kitab klasik)
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desimasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Inilah kemudian khasanah Islam digali melalui kajia kitab-kitab klasik sekaligus yang membedakanya dengan lembaga pendidikan lainya. Makanya pengajaran kitab kuning telah menjadi karakteristik ciri khas dari proses pembelajaran di pondok pesantren.
Di dunia pesantren, kitab kuning juga sering disebut dengan kitab klasik (al-kutub al-qadimah) atau kitab kuno, karena memang ia merupakan produksi masa lampau yaitu sebelum abad ke-17-an M, atau khususnya masa lahirnya empat mazhab terbesar dalam Islam. Kitab kuning juga disebut dengan “kitab gundul” karena bentuk-bentuk hurufnya kadang tanpa disertakan sandangan (syakl).




v  Pesantren Modern ( Khalaf )
Secara umum pesantren khalaf pada dsarnya adalah pesantren salaf yang sudah beradaptasi dengan dunia luar, dengan pengertian lain lembaga pendidikan pesantren yang telah memasukan kurikulum umum dalam system pembelejaranya, hal ini secara sederhana dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah modern. Hal ini dapat diketahui melalui cirri-ciri khuusnya sebagai berikut :
a. Kehidupan kyai dan santri
Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik sebagaimana dapat dilihat dari penampilan lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang biasanya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa rumah kiai atau pengasuh pesantren, mesjid sebagai tempat pengajaran diberikan, dan tempat penginapan santri ( bilik ). Menurut Zamakhsyari Dhofier, baik pesantren khalafi kecuali pondok Gontor, tetap mempertahankan unsure- unsure tradisional, yaitu pondok, mesjid, pengajaran kitab- kitab Islam klasik, santri, dan kiai.
Dalam lingkungan fisik itu, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan cirri tersendiri dimulai dengan jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian masyarakat pada umumnya. Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan waktu shalat wajib yang lima. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar. Dalam hal inilah, misalnya, sering di jumpai santri yang menanak nasi di tengah malam, mencuci pakaian menjelang terbenam mata hari. Dimensi waktu yang unik ini ercipta karena kegiatan pokok pesantren di pusatkan pada pemberian pengajian kitab- kitab teks ( al- kutub al- muqarrah ) pada setiap selesai shalat wajib. Demikian pula ukuran lamanya waktu yang di pergunakan sehari- hari; pelajaran waktu di tengah hari dan malam lebih panjang dari pada waktu petang dan subuh.
Corak kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang di berikan. Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang – ulang dari tingkat ke tingkat, seakan- akan tanpa akhir. Persolan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang di ulang- ulang selama jangka waktu bertahun- tahun, walaupun buku teks yang dipakai berbeda. Biasanya dimulai dengan kitab kecil ( mabsuthat ); kemudian berpindah ke kitab sedang ( mutawassithat ); sampai kitab yang besar ( al- kutub al- ulya ). Masing- masing kitab di pelajari bertahun- tahun; bahkan pengajaran di pesantren tidak mengenal kata selesai atau tamat. Demikian juga tentang kenaikan tingkat, seorang santri lebih cenderung memilih mengulang kembali kitab yang sebenarnya sudah di pelajarinya bertahun- tahun. Persoalan kenaikan tingkat bukan suatu yang harus di jalani, melainkan yang di pentingkan adalah kedalam dan keluasan ilmu dengan menguasai kitab- kitab yang di tetapkan.
b. Masjid
Pembelajaran di pesantren yang dilakukan kyai biasanya dilakukan di masjid. Masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren. Tetapi seiring dengan perkembangan jumlah santri belajar berlangsung di bangku, tempat khusus dan ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Bahkan perkembangan terahir menunjukan adanya ruang kelas-kelas sebagaimana terdapat pada madarasah.
Masjid dalam sejarah Islam, bukanlah sarana kegiatan peribadatan semata, lebih jauh dari itu masjid menjadi pusat bagi segenap aktivitas Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan umat. Masjid, menurut Nurcholish Madjid dapat juga dikatakan sebagai sarana terpenting masyarakat Islam, dalam pandangan Nurcholish Madjid, pembangunan masjid adalah modal utama Nabi ketika berjuang menciptakan masyarakat beradab.
c. Buku-buku modern
d. Materi Pelajaran
Materi pelajaran yang disajikan kolaborasi kurikulum pendidikan agama ( termsuk kitab-kitab lasik) dan mata pelajaran umum.
e. Ideologi
Pada umumnya menganut theosentris humanistic yang mengacu pada pada pandangan-pandangan ketuhanan dankemanusiaan.

2. Ciri Khusus Lembaga Pendidikan Islam Tradisional : Pesantren ( Salaf)
Dari pembahasan diatas dapat diketahui karakteristik kehidupan pesantren yang sebenarnya, sebagai sesuatu yang berbeda dengan system pendidikan pada umumnya. Berikut ini dipaparkan beberap ciri khusus yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan system pendidikan yang lain. Setidak- tidaknya ada delapan cirri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. kiai sangat memperhatikan para santrinya. Hal ini dimungkinkan karena sama- sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari- hari.
2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menetang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama; bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada guru.
3. Hidup hemat dan sederhana benar- benar di wujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak di dapat disana. Behkan tidak sedikit santri yang hidupnya terlalu sederhana atau erlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatannya.
4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri, dan memasakpun sendiri.
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persoudaraan ( ukhwah ) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan, selain kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid dan ruang belajar bersama.
6. Disiplin sangat di anjurkan di pesantren. Pagi- pagi antara pukul 04.30 atau 05.00, kiai membangunkan para santri untuk diajak shalat subuh berjamaah. Meskipun tidak semua pesantren yang memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menetukan sendiri apa yang seharusnya dilakukan. Namun, pembinaan disiplin sejak masa belajar di pesantren akan meberikan pengaruh besar terhadap para santri; terutama pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang di peroleh para santri di pesantren. Ini merupakan pengaruh kebiasaan puasa sunat, zikir, o’tikaf, shalat tahajud di malam hari, dan latihan- latihan spiritual lainya.
8. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam salah satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang di berikan kepada santri- santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan atau restu kiai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai penuh. Pemberian ijazah ini biasanya diucapkan secara lisan; walaupun kadang kala di tulis, maka catatannya hanya ada pada kiai.
Perlu di catat bahwa ciri- ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus menrus pada sebagian besar pesantren. Adalah kurang relevan kalau ciri- ciri tersebut dilekatkan pada pesantren- pesantren yang telah mengalami pembaharuan dan pengadopsian system pendidikan modern.




BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Pengertian pendidikan islam berarti system pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. pendidikan islam masih dipengaruhi oleh kepentingan masyarakat daripada kepentingan individu.
 Lembaga pendidikan Islam di Indonesia memiliki karakteristik dan ciri khusus yang menonjol dari hampir seluruh jenis dan bentuk pendidikan yaitu mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran agama Islam.
B.                                Saran
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Tulisan ini tentu amat sangat sederhana mengingat kajian yang saya lakukan belumlah sempurna oleh karena itu tulisan ini perlu banyak kritik dan masukan sehingga menjadi satu karya tulis ilmiah yang dapat bermanfaat bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam.
Saya banyak berharap para pembaca yang budiman dapat  memberikan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.





 
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Ali Al-Jumbulati,Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
http://bambumoeda.wordpress.com/2012/06/11/pengertian-pendidikan-islam/
http://pengertianpendidikanislam.blogspot.com/
Zuhaerini, 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya : Usaha Nasional.
Drajat, Zakiah, 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara
Tafsir, Ahmad, 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Persfektif Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya











                                                                                   

MAKALAH
Istilah Pendidikan atau Pengajaran Agama Islam, Pengertian, Fungsi, Tujuan, Prinsip dan Ciri-ciri PAI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metodologi Khusus Pengajaran Agama Islam






 






Disusun Oleh :
Nama         : Ai Rika Nurbaya
Kelas          : II C
Fak/Jur      : Tarbiyah/PAI


INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA-TASIKMALAYA
2013
KATA PENGANTAR

Pertama-tama perkenankanlah saya selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga saya  dapat menyusun makalah ini dengan judul Pengertian, fungsi, tujuan, prinsip dan ciri-ciri PAI.
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memahami aspek pendidikan agama islam. Dengan mempelajari isi dari makalah ini diharapkan generasi muda bangsa mampu menjadi islam yang sesungguhnya, shaleh, beriman kepada Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat.
Ucapan terima kasih dan puji syukur saya  sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini.
Saya  selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu saya  memohon saran serta komentar yang dapat saya  jadikan motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang.
                                                                                                                    

Tasikmalaya , Januari 2014



Ai Rika Nurbaya

DAFTAR ISI :


KATA PENGANTAR .........................................................................              i    
DAFTAR ISI.........................................................................................             ii    
BAB I PENDAHULUAN
1.1   LATAR BELAKANG.......................................................             1    
1.2   TUJUAN.............................................................................             1    
1.3   RUMUSAN MASALAH...................................................             1    
BAB II PEMBAHASAN
2.A  PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM.........................             2    
2.B  FUNGSI PENGAJARAN AGAMA ISLAM...................             4
2.C  TUJUAN PENGAJARAN AGAMA ISLAM.................             5    
2.D  PRINSIP DAN CIRI-CIRI PAI........................................             8    
BAB III PENUTUP
3.1  KESIMPULAN ...................................................................           23    
3.2  SARAN.................................................................................           23    
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................           24    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar