BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa
cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio
seperti para rasionalis metafisis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman
yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran
rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu
pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta,
kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul.
Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau
simplifikasi atas fenomena tersebut.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang
bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan
modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan
kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik.
Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat
kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu
pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu
pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan
empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
1
|
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas,
agar pembahasan dalam makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita
rumuskan masalah-masalah yang akan di bahas, antara lain :
1. Pengertian kebenaran
dan tingkatan-tingkatannya.
2. Bagaimana hubungan antara metode
ilmiah dangan kebenaran ilmiah?
3. Teori-teori kebenaran
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu
sumber dalam memahami kebenaran ilmiah dan menjadi bahan pertimbangan dalam
kaidah penelitian ilmiah.
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan
yaitu memberikan gambaran tentang materi-materi yang berhubungan dengan
permasalahan melalui literatur buku-buku yang tersedia, tidak lupa juga penulis
ambil sedikit dari media massa/internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran
Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda
yang nyata benar-benar ada maupun tidak
terwujud. Jika subyek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah
proporsi/perbandingan yang benar. Apabila subyek menyatakan kebenaran bahwa
proporsi/perbandingan yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat,
karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran
tidak begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu
sendiri, Secara
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan
human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat
manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk”
suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari
makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan
oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui
tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat
menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan
yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun
yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian
yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita
pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran,
pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan
diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi
strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas
komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang
diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan
tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan
system.
3
|
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran.
Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada
waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran
itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu
yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk
ketidak benaran (keburukan).
Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan
makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau
pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan
hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah
suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga
ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang
sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari
suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak
bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain,
keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari
sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti
dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran ilmiah merupakan hasil koheren antara sistem
kebenaran ilmiah dengan fakta empiris. Kebenaran ilmiah yang obyektif bersifat
probable, tentative, evolutif, bahkan relative, dan bahkan tidak pernah
mencapai kesempurnaan. Kebenaran ilmiah tidak bisa dibuat suatu standar yang
berlaku bagi semua jenis ilmu. Tidak ada standar pengukuran tunggal dalam
mengukur kebenaran ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmiah dapat diperoleh dengan
metode ilmiah.
Kebenaran
ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran
empiris, kebenaran rasional, dan kebenaran metafisis. Kebenaran moral menjadi
bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa
yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan
psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif.
Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan
akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada
merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
B. Hubungan antara metode dengan kebenaran
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu
kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui
untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu
pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana
penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam
dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan
kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi
metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau
metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang
dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu
pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma (metode, dan kebenaran)
tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian
maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah
kesesuaian antara apa yang diklai sebagai diketahui dengan kenyataan yang
sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian
antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas
sebagaimana adanya.
Setiap tradisi
epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh
berkat metode yang dipergunakannya, adapun metode-meode tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Empirisme
Aliran ini menyatakan pengalaman melalui ke-terindra-an
lahiriahnya sebagai penentu kebenaran. “Teori kebenaran korespondensi “menurut
versinya adalah menempatkan kenyataan sebatas perantaraan indra lahiriah untuk
membuktikan suatu kebenaran. Epistemology empirisme mengusung teori kebenaran
korespondensi atau lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai “teori kebenaran
empirisme” karena definisi fakta yang di maksud adalah sebatas kenyataan
empiris yakni satu-satunya obyek yang dapat dikategorikan dalam pengetahuan
dimana hanya indra lahiriah sebagai otoritas penyusunnya.
Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja Empirisme
bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal.
Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan pengenal
bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Mereka
memberi peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang
pengenal bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi
mereka untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan
dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut
Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal,
sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena
kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Disamping itu
teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau
objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang
sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan
dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.
Sifat empiris dari kebenaran
ilmiah mengatakan bahwa, kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang
ada. Bahkan sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan
kenyataan empiris dalam dunia ini. Sifat pragmatis menghubungkan kedua
kebenaran antara rasional-logis, dan empiris. Kalau pernyataan dianggap benar
secara logis dan empiris, pernyataan tersebut juga harus berguna dalam membantu
memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.
Immanual Kant (dalam Keraf, 2001)
menyatakan kebenaran empiris dan kebenaran logis sangat penting dalam
melahirkan pengetahuan manusia. Kebenaran logis diperoleh dari penalaran dengan
akal budi, sedangkan kebenaran empiris diperoleh melalui pengamatan dengan
panca indra. Karena sering suatu pernyataan sangat benar dari segi logis tetapi
tidak di dukung oleh fakta, kadang pula sebaliknya pernyataan yang didukung
fakta sering tidak dapat dijelaskan secara masuk akal. Jadi kebenaran ilmiah
haruslah memenuhi kedua kreteria baik secara empiris maupun rasional.
2. Rasionalisme
Kebenaran ilmiah yang rasional-logis, adalah kebenaran
yang dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi
tertentu. Proposisi yang menjadi kesimpulan dan dianggap benar dapat diperoleh
secara deduksi dan induksi. Secara deduksi dimana kesimpulan diperoleh sebagai
konsekuensi logis dari proposisi tertentu yang dianggap benar. Secara induksi
berarti yang dilakukan adalah suatu proses generalisasi yang mengungkapkan
hubungan tertentu di antara berbagai fakta yang telah ditemukan.
Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang
dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan
dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan
mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk
mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukup
bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka menggunakan
Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran
Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat
kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam
suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.
Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya
berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori
kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan secara
logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional, yaitu
melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi
mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya
dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam
dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan
lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan.
Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran
argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.
3. Metafisis
kebenaran metafisik/ontologis,
kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer
yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu
sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari
relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan dengan
fakta. Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran
epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu
sungguh ada.
kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh
berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal
budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.
Contoh
kebenaran metafisika:
1. Kepercayaan
akan adanya Tuhan
2. Terdapat
sistem kepercayaan yaitu agama
3. Adanya berbagai ajaran/kajian yang berbeda dari
berbagai agama
C. Teoti-Teori Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran
ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu
langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya
pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang
sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah,
yang
dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat
beberapa teori tentang kebenaran, antara lain :
1. Teori
Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima
secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan
kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara
pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk
melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau
pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya jika
seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat
faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa.
Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau
Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek
yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota
Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai
hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau
kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari.
Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar,
jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai
persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan
kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan
memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam
pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal
sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau
dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan
objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.
Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena
kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah
pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang
sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan
menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan
pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah
hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu,
kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai
benar memang sesuai dengan kenyataan.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita
oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh
subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai
dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi (corespondence
theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu
terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan
atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat
tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran
dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima
unsur yang perlu yaitu :
Statemaent
(pernyataan)
Persesuaian
(agreemant)
Situasi (situation)
Kenyataan (realitas)
Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan
kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels
dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad
skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
2. Teori
Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori keteguhan)
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Artinya pertimbangan adalah benar
jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah
diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya, bila kita
menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang
benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan
mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa
karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya
dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan
tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan
tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan
berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite
regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai
keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran
sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu
perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas.
Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi
lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran
pernyataan tersebut.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,
Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran
yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah
arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian
perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni
persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
3. Teori
Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan
adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan
filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James
(1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.
Lewis.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan
rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan
dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan, Sehingga dapat dikatakan
bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan
dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan
manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang
sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan
dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu
sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung
menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan , yaitu :
Yang
benar adalah yang memuaskan keinginan kita,
Yang
benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,
Yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme)
itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka
teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran.
kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada
fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita
dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut
dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap
sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang
praktis.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi
dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam
pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah
mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih
disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally).
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar
bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh
suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu.
Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu
ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat
diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan
sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar
dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar
jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada
pemukiman manusia.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku
atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful)
dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para
pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan
(workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory
consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak
kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
o Sesuai
dengan keinginan dan tujuan
o Sesuai
dengan teruji dengan suatu eksperimen
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari
ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial.
Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya
dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu
pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Metode Ilmiah
merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang
sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam
penelitian disebut metode ilmiah sesuai dengan tujuan dan fungsinya
Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah
Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah
Sedangkan kebenaran Ilmiah adalah
kebenaran yang bersifat mutlak dengan pembuktian dengan melalui beberapa
tahapan atau proses menuju pencapaian kebenaran tersebut.
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan
nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia
Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan
kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran
mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris
kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan
hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak
Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif,
inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat
ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk
datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata
sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran
dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah
selanjutnya
13
|
Daftar
Pustaka
Ø Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Bandung: Remadja Rosyda Karya, 1988.
Ø Prof.DR. Ahmad Tafsir,Filsafat
Umum, Remaja Rodaskara, Bandung,2009
Ø http//ilmu sebagai aktivitas penelitian.com
Ø Feel Like Shil Dejavu, Kebenaran
Ilmiah, http///.www.Blog at Wrodpress.com, akses 30 Maret 2011
Ø Abbas, H.M. 1997 “Kebenaran Ilmiah” dalam:
Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara,
Yogyakarta,
14
|
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur hanyalah milik Allah SWT, shalawat beserta salam semoga tercurah
limpahkan kepada Nabi besar kita yakni nabi Muhamad SAW. Penulis bersyukur
kepada Allah swt, karena berkat rahmat dan karunianya penulis bisa
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun sebagai
penunjang pembelajaran dalam perkuliahan dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“FILSAFAT ILMU”.
Pembuatan
makalah ini semoga bisa bermanfaat bagi yang membacanya dan umumnya bagi kita
semua sebagai mahasiswa dan mahasiswi yang akan mempelajari mata kuliah
Filsafat Ilmu ini.Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
membantu pada proses pembuatan makalah ini, kami mengaharapkan
bimbingan-bimbingan dan nasihat-nasihat khususnya dari bapak dan ibu dosen dan
umumnya dari mahasiswa-mahasiswi, dan terakhir kami sadar bahwa dalam pembuatan
makalah ini kurang dari kesempurnaan dan banyak kekhilapan, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat saya harapka dari pembaca.
Cipasung,
Oktober 2013
Penulis
i
|
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR......................................................................... …. i
DAFTAR ISI........................................................................................ …. Ii
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................. …... 1
A.
Latar Belakang.............................................................. ……. 1
B.
Batasan Masalah……………………………………… ……. 2
B.
Rumusan Masalah.......................................................... ……. 3
C.
Tujuan............................................................................ ……. 2
BAB II
PEMBAHASAN................................................................ ……. 3
A.
Pengertian kebenaran..……………………...................... ……. 3
B.
Hubungan Antara Metode Dengan Kebenaran.……………. 5
C.
Teori-Teori kebenaran……………………………………… 8
BAB III
PENUTUP.......................................................................... ……. 13
KESIMPULAN................................................................... …….
SARAN
....................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... ……. 14
ii
|
MAKALAH
FILSAFAT ILMU
Ilmu Sebagai Aktivitas Penelitian, Metode
Ilmiah Dan Pengetahuan Sistematis
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas
Mata Kuliah Idividu “FILSAFAT ILMU”
Dosen
\Pembimbing: NANI WIDYAWATI S.Ag, M.Ag
Disusun oleh:
M.
ABDURRAHMAN
Kelas :
III D (Tarbiyah PAI)
Semester : V
INSTITUT AGAMA
ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA - TASIKMALAYA
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar