FIQIH MUAMALAH DAN RUANG LINGKUPNYA
A.
Pengertian Fiqih Muamalah
Fiqih
Muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan
dari Fiqih, Muamalah, dan Fiqih Muamalah.
1.
Fiqih
Menurut
etimologi, fiqih adalah الفهم)) [paham], seperti
pernyataan : فقهت الدرس (saya paham
pelajaran itu). Arti ini sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis
riwayat Imam Bukhari berikut:
من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين
Artinya:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya,
niscaya diberikan kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti
pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah,
akhlak, maupun ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun,
pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah
Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari
dalil-dalil yang terinci.
Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan
pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula menurut Al-Amidi,
pengetahuan hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari penalaran (nadzar
dan istidhah). Pengetahuan yang tidak melalui jalur ijtihad(kajian),
tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram,
dan masalah-masalah qath’i lainnya tidak bermasuk fiqih.
Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih bersifat ijtihadi
dan zhanni. Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering
dirangkaikan dengan kata al-Islami sehingga terangkai al-Fiqih
Al-Islami, yang sering diterjemahkan dengan hukum Islam yang memiliki
cakupan sangat luas. Pada perkembanagn selanjutnya, ulama fiqih membagi menjadi
beberapa bidang, diantaranya Fiqih Muamalah.
2.
Pengertian
Muamalah
Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk
masdar dari kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat,
dan saling mengenal.
Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur
hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa
memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur
hubungan antar sesama manusia, dapat kita temukan dalam hukum Islam
tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan,
perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan
lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan,
minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang
dihalalkan atau yang diharamkan.
Aturan agama yang mengatur hubunagn antara
manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan mengganggu,
merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu
alasan yang dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan
penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam semesta.
Dari uraian diatas telah kita ketahui bahwa
muamalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek, baik
dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial-budaya. Firman
Allah dalam surat an Nahl ayat 89:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya:
“ Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk
petunjuk dan rahmat serta berita gembira bagi orang-orang islam.”(QS.An-Nahl:
89)
3.
Fiqih Muamalah
Pengertian
fiqih muamalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua:
1.
Fiqih muamalah
dalam arti luas
-
Menurut Ad-Dimyati, fiqih muamalah adalah
aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
-
Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu
ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan perekonomian, amanah dalam bentuk
titipan dan pinjaman, ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat
pengadilan, bahkan soal distribusi harta waris.
-
Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu
ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan perekonomian yang dilakukan anggota
masyarakat, dan bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan
satu sama lain.
Berdasarkan pemikiran diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa fiqh muamalah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum
tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang
piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai
keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.
Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk
mengatur kehidupan manusia dalam urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi
dan sosial kemayarakatan. Manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa
mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah sekalipun dalam perkara yang
bersifat duniawi sebab segala aktifitas manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dalam Islam tidak ada pemishan antara
amal perbuatan dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktifitas manusia di
dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di akhirat.
2.
Fiqih muamalah
dalam arti sempit:
- Menurut
Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling
menukar manfaat.
- Menurut
Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang
paling baik.
Jadi pengertian Fiqih muamalah dalam arti
sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang
telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh,
mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda).
Ciri utama fiqih muamalah adalah adanya
kepentingan keuntungan material dalam proses akad dan kesepakatannya. Berbeda
dengan fiqh ibadah yang dilakukan semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan
kepada Allah tanpa ada tendensi kepentingan material.
Tujuannya adalah dalam rangka menjaga
kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak
dirugikan oleh tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu
untuk memenuhi kepentingan hidup mereka.
B. Pembagian Fiqih Muamalah
Menurut
Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:
- Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
- Munakahat (Hukum Perkawinan)
- Muhasanat (Hukum Acara)
- Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
- Tirkah (Hukum Peninggalan)
Dari pembagian
diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat dan tirkah.
Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah
membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian:
1.
Al-Muamalah
Al-Madiyah
Al-Muamalah Al-Madiyah adalah
muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat
bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram,
dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang
menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua
aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al- bai’ (jual beli)
tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih
dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita harus menuruti tata
cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.
2.
Al-Muamalah
Al-Adabiyah
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah
ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra
manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti
jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan
Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar pada
keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll.
Pada
prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah dan Al-Muamalah Al-Adabiyah
tidak dapat dipisahkan.
C.
Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
Ruang
lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:
1.
Al-Muamalah
Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah
Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari
salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan,
dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta.
2.
Al-Muamalah
Al-Madiyah
1.
Jual beli
(Al-bai’ at-Tijarah)
2.
Gadai (rahn)
3.
Jaminan/
tanggungan (kafalah)
4.
Pemindahan
utang (hiwalah)
5.
Jatuh bangkit
(tafjis)
6.
Batas bertindak
(al-hajru)
7.
Perseroan atau
perkongsian (asy-syirkah)
8.
Perseroan harta
dan tenaga (al-mudharabah)
9.
Sewa menyewa
tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
10.
Upah (ujral
al-amah)
11.
Gugatan
(asy-syuf’ah)
12.
Sayembara
(al-ji’alah)
13.
Pembagian
kekayaan bersama (al-qisamah)
14.
Pemberian
(al-hibbah)
15.
Pembebasan
(al-ibra’), damai (ash-shulhu)
16.
beberapa
masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit,
dan masalah lainnnya.
17.
Pembagian hasil
pertanian (musaqah)
18.
Kerjasama dalam
perdagangan (muzara’ah)
19.
pembelian
barang lewat pemesanan (salam/salaf)
20.
Pihak
penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
21.
Pinjaman barang
(‘ariyah)
22.
Sewa menyewa
(al-ijarah)
23.
Penitipan
barang (wadi’ah)
Peluang ijtihad
dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa
dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku
ekonomi.
D.
Hubungan Hukum Islam dengan Hukum Romawi
Ada 3 perbedaan
pendapat tentang hukum Islam dengan hukum Romawi :
1.
Golongan
orientalis, Von Kremaer, Ignaz Golziher dan Amon, berpendapat bahwa hukum Islam
benar-benar dipengaruhi oleh hukum Romawi. Amon menyatakan bahwa syari’at Islam
adalah hukum Romawi Timur yang sudah mengalami perubahan-perubahan dalam
penyesuaiannya dengan masalah-masalah politik negara-negara Arab yang menjadi
jajahannya.
2.
Golongan
sarjana Muslim, Faiz al-Kuhri, Arif al-Naqdi, dan Syaikh Muhammad Sulaiman,
berpendapat bahwa hukum Islam sama sekali tidak dipengaruhi oleh hukum Romawi,
sebab hukum Islam dipraktikkan/diundangkan lebih dahulu daripada hukum Romawi,
yakni hukum Romawi timbul setelah sarjana Barat mempelajari hukum Islam.
3.
Golongan
moderat, Sayyid Muhammad Hafidz Shabri, Ahmad Amin, dan Syafiq Syahanah,
berpendapat bahwa kedua pendapat diatas memiliki nilai kebenaran dan juga memiliki
nilai kesalahan.
Menurut Abdul
Madjid hukum Islam dan hukum Romawi terdapat perbedaan-perbedaan yang menonjol,
antara lain :
Kedudukan
wanita Romawi di bawah perintah kekuasaan kaum laki-laki selama hidupnya,
wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk melakukan transaksi-transaksi
harta kekayaan tanpa izin suami, sedangkan dalam hukum Islam tidak seketat itu
walaupun harus diakui ada batasan-batasannya.
Pemindahan
hutang (hiwalah) dalam hukum Romawi dilarang, sedangkan dalam hukum Islam
dibolehkan menurut semua madzhab.
JUAL BELI MENURUT FIQIH MUAMALAH
A. Pengertian
jual beli
Secara
etimologi jual beli adalah al-Bai’. At- tijarah dan al-mubadalah
yang berarti menjual atau mengganti. Kata at- tijarah disebutkan oleh
Allah dalam firmannya :
“…..Rezki yang
Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka
itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” ( Q.S.
Fathir:29)
Wahbah
al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “ menukar sesuatu dengan
sesuatu yang lain”. Secara terminologi terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh ulama fiqih, yaitu :
-
Pertukaran harta dengan harta atas dasar saling
merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
-
Saling tukar harta dengan harta melalui cara
tertentu.
-
Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk
pemindahan milik dan pemilikan.
-
Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta
dengan harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat
bahwa substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama. Dapat dipahami
pula bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau
barang yang mempunyai nilai sukarela di antara kedua belah pihak.
B.
Landasan hukum jual beli
Jual beli
adalah suatu alat atau sarana yang menguntungkan antara satu pihak dengan
pihak yang lain, di mana antara sesama umat manusia dapat saling menolong dalam
mencukupi kebutuhan mereka. Untuk itu agama Islam pun mengaturnya dalam
al-Qur’an dan hadist. Terdapat beberapa ayat al-Quran dan sunnah rasulullah SAW
yang mengatur tentang jual beli, di antaranya:
-
Q.S. Al-Baqarah ayat 275 :
“ Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
-
Q.S. Al-Baqarah ayat 198 :
“ Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia ( rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
-
Q.S. an-Nisa ayat 29
“ ….kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….”
-
Rasulullah SAW bersabda :
سُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلّم : أَيُّ
الكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ فَقَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَ كُلُّ بَيْعٍ
مَبْرُوْرٍ
(رواه البزّارو الحاكم )
“ Rasulullah
SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik.
Rasulullah SAW menjawab : Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli
yang diberkati “
( HR. Al-Bazzar
dan Al-Hakim )
-
Rasulullah bersabda :
اِنَّمَا البَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه البيهقى)
“ Jual beli itu
didasarkan atas suka sama suka “
C.
Hukum Jual Beli
Dilihat dari
kandungan ayat-ayat dan redaksi hadist di atas, para ulama fiqih sepakat bahwa
hukum asal jual beli adalah halal atau boleh. Hal ini dikarenakan umat manusia
sangat membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian
tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya. Akan tetapi, pada situasi tertentu
hukum asal ini dapat berubah.
Karena hukum
asalnya adalah halal, maka apabila ada salah satu dari berbagai macam jual beli
dianggap haram, maka yang menganggap demikian harus menunjukkan dalil dan
alasannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa hukum muamalah itu boleh,
sampai ada dalil yang mengharamkannya.
D.
Rukun dan syarat jual beli.
Jual beli
mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga jual beli dapat
dikatakan sah menurut syara’. Dalam menentukan rukun dan syarat ini terdapat
perbedaan antara ulama Hanafiyah dan jumhur ulama. Yaitu:
-
Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya
satu yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul
(ungkapan menjual dari penjual). Sedangkan orang yang berakad dan objek jual
beli masuk kedalam syarat-syarat jual beli.
-
Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada
empat, yaitu adanya orang yang berakad, adanya shigat ( lafal ijab kabul ),
adanya objek jual beli yaitu barang yang dibeli dan nilai tukar pengganti
barang.
Adapun
syarat-syaratnya terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama. Yaitu :
a. Madzhab
Hanafiyah
Menurut fuqaha
Hanafiyah ada empat macam syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli, yaitu :
-
Syarat akad ( syarat in ‘aqad)
Diantara syaratnya adalah orang yang melakukan
akad harus cakap bertindak hukum, adanya persesuaian antara ijab dan kabul dan
berlangsung dalam satu majlis akad, harus ada barang yang diperjual belikan,
milik sendiri dan dapat diserahterimakan.
-
Syarat shihhah
Syarat
shihhah adalah jual beli tyersebut tidak boleh mengandung enam unsur yang
merusaknya, yaitu: jihalah (ketidak jelasan), ikrah ( paksaan), tauqit
(pembatasan waktu), gharar ( tipu daya), dharar (aniaya) dan
persyaratan yang merugikan pihak lain
-
Syarat nafadz ada dua, yaitu adanya unsur
milkiyah atau wilayah dan benda yang diperjualbelikan bukan hak orang lain.
-
Syarat luzum yakni tidak adanya khiyar yang
memberikan pilihan kepada masing-masing pihak untuk membatalkan atau meneruskan
jual beli.
b. Madzhab
Malikiyah
Fuqoha
malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli, yaitu :
-
Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad
( ‘aqid ), adalah harus mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat dan pemilik barang.
-
Syarat yang berkaitan dengan shigat ( lafal
ijab kabul ). Adalah dilaksanakan dalam satu majlis dan antara ijab dan kabul
tidak terputus.
-
Syarat yang berkaitan dengan objeknya yaitu
barang yang diperjual belikan tidak dilarang oleh syara’, suci, bermanfaat,
diketahui oleh ‘aqid dan dapat diserah terimakan.
c.
Madzhab Syafi’yah
Menurut para fuqoha Syafi’iyah syaratnya
adalah:
-
Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid yaitu
baligh, berakal dan cakap hukum, tidak dipaksa, Islam dalam hal jual belimushaf
dan kitab hadist, tidak kafir harbi dalam hal jual beli peralatan perang.
-
Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul,
yaitu : berupa percakapan dua pihak, pihak pertama menyatakan barang dan
harganya, qabul dinyatakan oleh pihak kedua, antara ijab dan kabul tidak
terputus dengan percakapan lain, kalimat qabul tidak berubah dengan qabul yang
baru, terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul, shigat akad tidak digantungkan
dengan sesuatu yang lain, dan tidak dibatasi oleh periode waktu tertentu.
-
Syarat yang berhubungan dengan objek jual beli
adalah harus suci, dapat diserah terimakan, dapat dimanfaatkan secara syara’,
hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya, berupa materi dan
sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.
d. Madzhab
Hanabillah
Fuqaha
Hanabilah merumuskan tiga kategori persyaratan, yaitu:
-
Yang berhubungan dengan ‘aqid adalah harus
baligh dan berakal sehat kecuali dalam jual beli barang-barang yang ringan, dan
harus ada kerelaan.
-
Syarat yang berkaitan dengan shigat yaitu harus
berlangsung dalam satu majlis, antara ijab dan qabul tidak terputus dan akadnya
tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu.
-
Syarat yang berkaitan dengan objek adalah berupa
mal atau harta, milik para pihak, dapat diserahterimakan, dinyatakan secara
jelas oleh para pihak, harga dinyatakan secara jelas dan tidak ada halangan
syara’.
Dari perbedaan
pendapat dari ulama keempat madzhab tersebut terdapat persamaan dan perbedaan.
Namun dari semua itu dapat dirumuskan bahwa syarat-syarat jual beli menurut
jumhur ulama adalah :
a.
Syarat-syarat orang yang berakad, yaitu:
-
Berakal. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang
yang telah melakukan jual beli itu harus telah baligh dan berakal. Maka, batal
akad bagi anak kecil, orang gila dan orang bodoh. Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya. harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Q.S.
An-Nisa: 5)
-
Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
b. Syarat
yang terkait dengan ijab kabul, yaitu:
-
Kabul sesuai dengan ijab
-
Dilakukan dalam satu majlis
c. Syarat
barang yang diperjualbelikan
-
Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi
pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
-
Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
Oleh sebab itu Barang seperti bangkai, khamar dan darah tidak sah menjadi objek
jual beli.
-
Milik seseorang
-
Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau
pada waktu yang disepakati bersama ketika akad berlangsung
d. Syarat
nilai tukar ( harga barang)
-
Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak
harus jelas jumlahnya
-
Boleh diserahkan pada waktu akad, dan apabila
harga barang tersebut diserahkan kemudian, maka waktu pembayarannya harus jelas
-
Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling
mempertukarkan, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang
diharamkan oleh syara’.
E.
Macam-Macam jual beli
Jual beli dapat
ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a. Ditinjau
dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
- Jual
beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada
di hadapan penjual dan pembeli.
- Jual
beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad
berlangsung.
- Jual
beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan
dalam agama Islam.
b. Ditinjau dari segi pelaku atau
subjek jual beli:
- Dengan
lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu
dapat diganti dengan isyarat.
- Dengan
perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan
oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan
menurut syara’.
- Jual
beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul.
Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya.
Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah
rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam
Nawawi membolehkannya.
c. Ditinjau
dari segi hukumnya,
Jual beli
dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual
beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama
membaginya menjadi dua, yaitu:
-
Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat
dan rukunnya
-
Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak
memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan
fuqoha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1.
Shahih, yaitu
jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2.
Bathil, adalah
jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak
diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
-
Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’
al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang
tidak tampak.
-
Jual beli barang yang zatnya haram dan najis,
seperti babi, bangkai dan khamar.
-
Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab
kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
-
Jual beli yang menimbulkan kemudharatan,
seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
-
Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan
penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih
bergantung pada induknya.
3.
Fasid, yaitu
jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat
sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya
-
Jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak
dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
-
Jual beli dengan menghadang dagangan di luar
kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat
membelinya dengan harga murah
-
Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun,
kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
-
Jual beli barang rampasan atau curian.
-
Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
Rasulullah bersabda:
لاَ يَسُوْمُ
الرَّجُلُ عَلَى سَوْمِ أَخِيْهِ (رواه البخارى و مسلم)
“ Tidak boleh
seseorang menawar di atas tawaran saudaranya” (HR.Bukhari
& muslim )
F. Hikmah
jual beli
Di syariatkannya jual beli tentu mengandung
hikmah dan manfaat bagi manusia, di antara hikmah dan manfaat itu antara lain:
-
Menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat
yang menghargai hak milik orang lain.
-
Penjual dan pembeli dapat memenuhi kenutuhannya
atas dasar kerelaan dan suka sama suka.
-Menjauhkan
diri dari memakan atau memiliki barang yang haram
RESUME
TENTANG JUAL
BELI
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah
Fiqih Muamalah
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD ZAKARIA YAHYA
MUHAMMAD ZAKARIA YAHYA
KELAS : A - 2
FAK/JUR :
EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA –
TASIKMALAYA
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar