Adzan: Pengertian,
Pensyariatan, Keutamaan, Hukum, Syarat-Syarat dan Sunnahnya
Pengertian
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman,
permakluman atau pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat
Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
يَوْمَ الْحَجِّ الاكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
Dan suatu permakluman daripada Allah dan
Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.(QS. At-Taubah : 3)
Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau
panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan
untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ
رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta
yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27)
Secara syariat, definisi adzan adalah perkataan
tertentu yang bergun memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu.
Dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi
adzan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
Pensyariatan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil
dari Al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
2.1. Al-Quran
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka
benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. Al-Maidah : 58)
2.2. Sunnah :
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ : قَالَ لَنَا النَّبِيُّ وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ
فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada kami,”Bila waktu shalat telah tiba,
hendaklah ada dari kamu yang beradzan”.(HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ
رَبِّهِ قَالَ: طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: اَللَّهُ أَكْبَرَ اللَّهِ أَكْبَرُ فَذَكَرَ
الاذَانَ – بِتَرْبِيع التَّكْبِيرِ بِغَيْرِ
تَرْجِيعٍ و الإقَامَةَ فُرَادَى إِلاَّ قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ – قَالَ: فَلَمَّا
أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ: إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ.
Dari Abdullah bin Zaid bin Abdirabbihi
berkata,”Ada seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru : “Allahu
akbar alahu akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir tanpa
tarji’, dan iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya Aku
datangi Rasulullah SAW, maka beliau bersabda,”Itu adalah mimpi yang benar. (HR.
Ahmad dan Abu Daud)
Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya
dengan mimpi sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah SAW juga diperlihatkan
praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit.
Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi SAW
diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di atas 7 lapis
langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk langit, dimana
disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam Maka Allah menyempurnakan
kemuliaannya di antara para penduduk langit dan bumi.
Namun hadits ini riwayatnya teramat lemah dan
gharib. Riwayat yang shahih adalah bahwa adzan pertama kali dikumandangkan di
Madinah sebagai-mana hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim.
Keutamaan
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga
andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan
Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau perlu mereka melakukan
undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits
nabi SAW :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
قَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فيِ الآذَانِ وَالصَّفِ الأَوَّلِ ثُمَّ لمَ
ْيَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا رواه البخاري وغيره
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan
berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa
mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara
mereka..”(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan
bahwa nanti di akhirat, orang yang mengumandang-kan adzan adalah orang yang
mendapatkan keutamaan dan kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ أَنَّ النّبِيَّ قَالَ: إِنَّ المُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ
القِيَامَةِ رواه أحمد ومسلم وابن ماجه
Dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang adzan (muazzin) adalah orang yang paling
panjang lehernya di hari kiamat”. (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)
Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah,
menjadi muadzdzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya
dari pada imam shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً ِمَّنْ دَعَا إِلَى
اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”(QS. Fushshilat :
33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah
di dalam ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling
tinggi dibandingkan yang lain.
Namun pendapat sebaliknya datang dari
Al-Hanafiyah, dimana mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama
dari pada kedudukan orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya, Nabi Muhammad
SAW dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan bukan orang yang
mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila kedudukan seorang imam
shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.
Hukum
Hukum adzan menurut jumhur ulama selain
al-Hanabilah adalah sunnah muakkadah, yaitu bagi laki-laki yang dikerjakan di
masjid untuk shalat wajib 5 waktu dan juga shalat Jumat.
Sedangkan selain untuk shalat tersebut, tidak
disunnahkan untuk mengumandangkan adzan, misalnya shalat Iedul Fithri, shalat
Iedul Adha, shalat tarawih, shalat jenazah, shalat gerhana dan lainnya. Sebagai
gantinya digunakan seruan dengan lafaz “Ash-shalatu jamiatan” (الصلاة جامعة). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits
berikut :
Dari Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwa
telah terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah SAW, maka kepada orang-orang
diserukan : “Ash-shalatu Jami`ah”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bagi jamaah shalat wanita, yang
dianjurkan hanyalah iqamat saja tanpa adzan menurut As-Syafi`iyah dan
Al-Malikiyah. Oleh sebab untuk menghindari fitnah dengan suara adzan wanita.
Bahkan iqamat pun dimakruhkan oleh al-Hanafiyah.
Syarat Adzan
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa
syarat yang harus terpenuhi sebelumnya. Diantara syarat-syarat adzan adalah :
5.1. Telah Masuk Waktu
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum
masuk waktu shalat, maka adzannya itu haram hukumnya sebagaimana telah
disepakati oleh para ulama. Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus diulang
lagi adzannya. Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di masa
Rasulllah SAW. Adzan yang pertama sebelum masuk waktu shubuh, yaitu pada 1/6
malam yang terakhir. Dan adzan yang kedua adalah adzan yang menandakan masuknya
waktu shubuh, yaitu pada saat fajar shadiq sudah menjelang.
5.2. Harus Berbahasa Arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain
arab tidak sah. Sebab adzan adalah praktek ibadah yang bersifat ritual, bukan
semata-mata panggilan atau menandakan masuknya waktu shalat.
5.3. Tidak Bersahutan
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung
menyambung antara satu orang dengan orang lainnya dengan cara bergantian,
hukumnya tidak sah.
Sedangkan mengumandangkan adzan dengan beberapa
suara vokal secara berberengan, dibolehkan hukumnya dan tidak dimakruhkan
sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Bani
Umayyah.
5.4. Muslim, Laki, Akil Baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh
non-muslim, wanita, orang tidak waras atau anak kecil. Sebab mereka semua bukan
orang yang punya beban ibadah.
Bahkan Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa orang
itu tidak boleh fasik, bila sudah terjadi maka harus diulangi oleh orang lain
yang tidak fasik. Al-Malikiyah mengatakan bahwa dia harus adil.
5.5. Tertib Lafaznya
Tidak diperbolehkan untuk terbolak-balik dalam
mengumandangkan lafadz adzan. Urutannya harus benar. Namun para ulama sepakat
bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak disyaratkan harus punya wudhu`,
menghadap kiblat, atau berdiri. Hukum semua itu hanya sunnah saja, tidak
menjadi syarat sahnya adzan.
Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan
juga orang yang mengumandangkan iqamat. Namun bukan menjadi keharusan yang
mutlak, lantaran di masa Rasululah SAW, Bilal radhiyallahu ‘anhu
mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah Abdullah bin Zaid,
shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu dilakukan atas
perintah nabi juga.
Sunnah Adzan
1. Hendaklah muadzin suci dan hadast
besar dan kecil. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan hal-hal
yang dianjurkan baginya berwudhu’.
2. Hendaklah ia berdiri menghadap
kiblat. Ibnu mundzir berkata sesuatu yang telah menjadi ijma’ (kesempatan para
ulama) bahwa berdiri ketika adzan termasuk sunnah Nabi karena suara bisa lebih
keras, dan termasuk sunnah juga ketika adzan menghadap ke arah kiblat, sebab
para muadzin Rasullullah mengumandangkan adzan sambil menghadap kearah kiblat.
3. Menghadapkan wajah dan lehernya
ke sebelah kanan ketika mengucapkan ‘Hayya ‘alalfalah’ dan ke sebelah kiri
ketika mengucapkan, ‘Hayya ‘alal falah’, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebagai berikut :
Dari Abu Juhaifah ia pernah melihat Bilal
beradzan, ia berkata, “Kemudian saya ikuti mulutnya ketika ke arah sini dan
sini dengan adzan tersebut.” ( Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 114 no: 634,
Muslim I : 360 no no: 503, ‘Aunul Ma’bud II: 219no: 516, Tarmidzi I: 126 no:
197, dan Nasa’I II: 12).
(Adapun memalingkan dada ke kanan dan ke kiri
ketika adzan, maka sama sekali tidak dijelaskan dalam sunnah Nabi saw. dan
tidak pula disebutkan dalam hadits-hadits yang menerangkan menghadapkan leher
ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri. Selesai. Berasal dari kitab Tamamul
Minnah ha.150)
4. Memasukkan dua jari ke dalam
telinganya, karena ada pernyataan Abu Juhaifah:
Saya melihat Bilal adzan dan berputar serta
mengarahkan mulut ke sini dan ke sini, sedangkan dua jarinya berada
ditelinganya.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 164 dan Sunan Tirmidzi I: 126 no:
197).
5. Mengeraskan suaranya ketika
adzan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi saw., “Karena
sesungguhnya tidaklah akan mendengar sejauh suara muadzin, baik jin, manusia,
adapun sesuatu yang lain, melainkan mereka akan menjadi saksi baginya pada hari
kiamat.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 625, Fathul Bari H: 87: 609 dan Nasa’i
II: 12).
(Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini Hasan
Shahih dan sudah diamalkan oleh para ulama’ mereka menganjurkan muadzin
memasukkan dua jari ke dalam dua telinganya ketika adzan.” selesai)
6. Di Anjurkan Muadzin Mengucapkan, Dua Kali
Takbir Dalam Sekali Nafas
Dari Umar bin Khathab r.a., bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Apabila muadzin mengucapkan ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR,
kemudian muadzin mengucapkan, ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAH, lalu ia
mengucapkan (juga), ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAI-L…, (Shahih: Shahih Abu Daud,
no: 527, Muslim 1:289 no: 385 dan ‘Aunul Ma’bud 11: 228 rio: 523).
Dalam hadits di atas terkandung isyarat yang
jelas bahwa muadzin mengucapkan setiap dua takbir dalam sekali nafas, dan orang
yang mendengar pun menjawabnya seperti itu. (Lihat Syarhu Muslim III: 79).
7. Dianjurkan Melakukan Tarji’
Tarji’ ialah mengulangi bacaan syahadatain, dua
kali pertama dengan suara pelan dan dua kali kedua dengan suara keras. (Lihat
Syarhu Nawawi Muslim III: 81).
Dari Abu Mahdzurah r.a. bahwa Rasulullah pernah
rnengajarinya adzan ini: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR. ASYHADU ALLAA, ILAAHA
ILLALLAAH ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH
ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH, Kemudian beliau mengulangi dengan
mengucapkan (lagi): ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR
RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RAS ULULLAAH, HAYYA ALASHSHALAAH HAYYA
‘ALASHSHALAAH, HAYYA ALAL FALAKH HAYYA ‘ALAL FALAAH, ALLAAHU AKBAR ALLAAHU
AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 191 dan Muslim I:
287 no: 379).
8. Dianjurkan Adzan Pada Awal
Masuknya Waxtu Shalat Dan Mendahulukan Pada Waktu Shubuh Khususnya
Dari Jabir bin Samurah, berkata, “Adalah Bilal
biasa adzan dengan sempurna bila matahari bergeser ke barat, kemudian ia tidak
mengumandangkan iqamah hingga Nabi saw. keluar kepadanya, maka ketika beliau
telah keluar ia mengumandangkan iqamah ketika ia melihatnya.” (Shahih: Shahih
Abu Daud no: 503, al-Fathur Rabbani 111: 35 no: 283 dan ini lafadz: baginya,
Muslim 1: 423 no: 606, Aunul Ma’bud II: 241 no: 533 semakna).
Makna LAA YAKHRUMU ialah mengucapkan
lafadz-lafadz adzan dengan sempurna tidak ada yang ketinggalan. Demikian
menurut Imam Syaukani dalam Nailul Authar II:31.
Dari Ibnu Umar r.a., bahwa nabi bersabda
“Sesungguhnya Bilal biasa adzan di waktu malam, maka hendaklah kamu makan dan
minum hingga Ibnu Ummi Makan mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul
Bari II: 104 no: 622 dan Muslim II: 768 no: 38dan 1092).
Nabi sudah menerangkan hikmah didahulukannya
adzan shubuh sebelum waktunya dengan sabdanya, “Janganlah sekali-kali adzan
Bilal mencegah salah seorang di antara kamu dan sahumya, karena sesungguhnya ia
memberitahu -atau beliau bersabda- ia berseru di waktu malam agar orang yang
biasa bangun malam di antara kamu kembali pulang (ke rumahnya) dan untuk
membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak di antara kamu.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari II: 103 no: 621, Muslim 11: 768 no: 1093 dan ‘Aunul Ma’bud
VI: 472 no: 2330).
SHALAT
BERJAMAAH
Didalam hadits dikatakan bahwa pahala shalat
berjama’ah adalah 27 kali dibandingkan dengan shalat sendiri. Banyak orang
Islam berhitung secara kuantitatif seolah-olah dengan melakukan shalat
berjama’ah maka ia akan menabung pahala sebanyak 27 kali. Demikian juga ketika
di dalam hadis dikatakan bahwa shalat di Masjidil Haram akan dilipatgandakan
pahalanya sebanyak seratus ribu kali lipat. Luar biasa.
Shalat berjama’ah berarti berkelompok dengan
panduan seorang imam. Apa yang dilakukan imam akan diikuti oleh makmumnya,
kecuali imam salah. Semua makmum harus berbaris dengan shaf yang teratur dan
lurus. Semua mengikuti arah Imam, betapa kuatnya organisasi ini. Siapa yang
dapat mematahkan shaf yang kokoh? Sayang makna dari keuntungan shalat
berjama’ah luput dimengerti oleh umat islam! Salah satu kunci keberhasilan dakwah
di zaman Rasulullah saw adalah persatuan. Salah satu cara menumbuhkan persatuan
tersebut adalah dengan shalat berjama’ah. Kecintaan mereka, disiplin dan
keikhlasan mereka dalam menunaikan shalat berjama’ah telah menumbuhkan semangat
persatuan dan keberanian yang tinggi diantara mereka. di sisi lain hubungan
silaturahmi yang penuh kasih sayang semangat erat terjalin diantara mereka.
Sehingga gambaran umat Islam yang bagaikan dua jari dieratkan benar-benar
nampak di zaman itu.
Dalam hal disiplin dan kecintaan mereka dalam
shalat berjama’ah kita dapati di dalam salah satu riwayat bahwa seorang sahabat
yang sudah uzur dan tuna netra setiap hari beliau shalat berjama’ah ke masjid
walaupun jaraknya tidak bisa dibilang dekat, diceritakan bahwa sahabat tersebut
meminta keringanan Rasulullah saw untuk beliau khusus untuk shalat subuh shalat
di rumah saja. Rasulullah saw mengizinkan, tetapi baru beberapa langkah
Rasulullah saw meralat bahwa sahabat tersebut tetap menunaikan shalat
berjama’ah di Masjid. Betapa tingginya semangat dan disiplin yang terbentuk
waktu itu. Bisa kita bayangkan seandainya di Masjid Istiqlal, setiap umat Islam
yang berada di dalam radius beberapa kilometer dari Masjid - menunaikan ibadah
shalat berjama’ah di Masjid lima kali sehari - majid tersebut mungkin tidak
akan mampu menampung, dan kitapun bisa membayangkan dampak persatuan, kecintaan
dan kebaikan akan lebih terbentuk di dalam masyarakat. Dan lebih luas lagi
musuh-musuh Islam yang melihat tentu akan gentar melihat persatuan Islam yang terbentuk
dari hal yang paling mendasar sekali.
Contoh dalam hal ini adalah di Perancis, Islam
yang dari sisi prosentase sebenarnya masih jauh dibandingkan dengan masyarakat
asli yang beragama non Muslim, tetapi Islam yang sedikit tersebut sudah
menjadikannya sebagai 'ancaman' bagi eksistensi umat Kristiani disana. Betapa
tidak kita menyaksikan bahwa setiap ibadah shalat toko-toko disana sampai tutup
karena orang-orang Islam yang harus shalat di jalan-jalan dan trotoar, karena
tidak tercukupinya masjid untuk menampung umat Islam yang semakin bertambah.
Ketakutan itu seharusnya memang tidak perlu dirisaukan, karena semakin shaleh
dan taatnya seseorang pada agama dan bentuk-bentuk peribadatan, tentu hal itu
akan membawa seseorang akan semakin saleh secara sosial, karena itu adalah
tuntutan pasti dari Islam. Sehingga dampak tersebut akan terasa di kalangan
masyarakat Perancis sendiri. Tetapi walau bagaimanapun kita pun mengerti
ketakutan mereka jika kita membandingkannya dengan tindakan-tindakan terorisme
yang dilakukan oleh 'oknum-oknum' muslim. Jadi Shalat berjama’ah adalah hal
yang harus selalu kita perhatikan, tidak sekedar kita menganggap untuk
kepentingan pribadi kita, tidak sekedar untuk memenuhi masjid tetapi lebih dari
itu adalah kita harus menumbuhkan persatuan Islam, persatuan dalam
bermasyarakat dan persatuan dalam beragama. Berkenaan dengan urgensi shalat
berjama’ah bagi persatuan umat islam, perlu disusun sebuah makalah yang mampu
menjadi wahana bagi umat islam untuk memperoleh wawasan dan konsep keilmuan
berkenaan dengan shalat berjama’ah ini baik secara teoritis maupun secara
praktis. Oleh sebab itu, penulis menulis sebuah makalah yang bertajuk “Shalat
Berjama’ah”.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apakah yang
dimaksud dengan shalat berjama’ah?
2. Bagaimana
dalil tentang shalat berjama’ah?
3. Bagaimana
hukum shalat berjama’ah?
4. Bagaimana
syarat-syarat shalat berjama’ah?
5. Apakah keutamaan
dari shalat berjama’ah?
6. Bagaimana
anjuran berjama’ah shalat subuh dan isya’?
7. Bagaimana
keutaamaan shaf pertama dalam shalat berjama’ah?
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah
ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. shalat
berjama’ah;
2. dalil tentang
shalat berjama’ah;
3. hukum shalat
berjama’ah;
4. syarat-syarat
shalat berjama’ah
5. keutamaan dari
shalat berjama’ah;
6. anjuran
berjama’ah shalat subuh dan isya’;
7. keutaamaan
shaf pertama dalam shalat berjama’ah.
A. Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, seorang menjadi imam dan yang
lainnya menjadi makmum dengan syarat-syarat yang ditentukan.[1][1]
Shalat berjama’ah minimal atau paling sedikit
dilakukan oleh dua orang, namun semakin banyak orang yang ikut shalat
berjama’ah tersebut jadi jauh lebih baik. Paling sedikit shalat berjama’ah
selain jamaah shalat Jum’at terdiri dari dua orang imam dan makmum. Sedang
shalat berjama’ah Jum’at paling sedikit terdiri dari empat orang, imam dan
makmum, yang keempatnya itu bilangan Jum’at, menurut pendapat Imam Shafi’I yang
tidak kuat (Jam’ Rishalatain fi al-Jum’at: 23). Adapun jamaah I’adah shalat
Dhuhur seusai shalat Jum’at terdiri dari imam dan makmum sebanyak peserta
jamaah shalat Jum’at, termasuk imam dan seluruh bilangan Jum’at itu. (tersebut
dalam kitab-kitab fiqih Shafi’iyah)
Shalat berjama’ah memiliki nilai pahala 27
derajat lebih baik daripada shalat sendiri. Disamping pahala yang besar,
didalam shalat berjama’ah terdapat beberapa hikmah yang besar, diantaranya
1. Menambah
syi’ar islam;
2. Memakmurkan
mesjid;
3. Mempererat
tali persahabatan dan persaudaraan antar sesama muslim;
4. Menumbuhkan
persamaan derajat antar sesama muslim baik yang rakyat maupun yang pejabat
tidak ada perbedaan disisi Allah kecuali karena ketakwaannya;
5. Menghilangkan
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin; dan
6. Menumbuhkan
sikap saling pengertian, peduli dan saling tolong menolong antara sesama
muslim.
Pasal Shalat
Berjama’ah menurut Kitab Fathul Qarib
Pasal IX
Dalam pasal ini dijelaskan tentang shalat
berjama’ah bagi kaum pria dalam shalat fardu, selain shalat jum’at, hukumnya
sunah muakad, hal ini menurut pendapat penyusun/mushonif dan Imam Rafi’i r.a.
sedangkan yang paling benar adalah fardu kifayah, menurut pendapat Imam Nawawi
r.a.
Definisi berjama’ah: makmum dinyatakan
memperoleh berjama’ah bersama imam, didalam shalat selain shalat jum’at selama
imam belum mengucapkan shalat awal, walau makmum tersebut belum sempat beserta
imam.
Adapun cara jum’at secara berjama’ah hukumnya
fardu ‘ain dan bagi makmum yang tertinggal jamaah dinilai gagal (tidak
berhasil) kecuali ia dapat menjumpai imam (shalat bersamanya paling tidak satu
rakaat).
Hak dan
Kewajiban Makmum
Makmum wajib berniat (menjadi makmum) yaitu
mengikuti shalat imamnya, dan (dalam niat) tidak wajib menyebut nama imamnya,
bahkan cukup niat mengikuti imam (siapa saja) yakni hadir saat itu, walau ia
tidak mengenal imamnya. Demikian ini untuk menjaga supaya tidak sampai salah,
kalau sampai hal ini terjadi maka batal shalatnya.
Misalnya: Seorang makmum berniat shalat
mengikuti imam dengan disebut namanya misalnya nama si Fulan, ternyata yang
menjadi imam saat itu bukan si Fulan, melainkan orang lain, maka batal shalat
makmum tersebut.
Berbeda jika makmum menentukan imamnya hanya
dengan isyarat, misalnya sengaja (berniat) mengikuti Zaid ini, tapi
kenyataannya lain, bahkan yang menjadi imam adalah Umar, maka sah shalatnya.
Hak Bagi Imam
Lain halnya dengan imam, ia tidak wajib berniat
menjadi imam dalam halnya sahnya untuk diikuti, kecuali shalat jum’at, (imam
wajib niat menjadi ima dalam shalat jum’at). Adapun shalat-shalat selain
jum’at, niat menjadi imam adalah sunah (itu hak bagi imam) kalau tidak niat
jadi imam, maka shalatnya dinilai munfarid (sendirian).
Ketentuan Sah
atau Tidaknya Berjama’ah
Orang merdeka tidak boleh menjadi makmum
(mengikuti) seorang imam (dari seorang budak). Dan anak yang telah baligh boleh
menjadi makmum dari imam (yang masih murahik/anak di bawah umur), berbeda
dengan anak balita (yang belum tamyiz[2][2]) tidak sah menjadi imam dalam shalat.
Seorang pria bermakmum kepada wanita tidak sah,
demikian juga banci muskil (menjadi masalah) bermakmum kepada sesama, atau
banci bermakmum kepada wanita, maka hukumnya tidak sah.
Hukumnya tidak sah, seorang qari’ (yang fasih
bacaan al-qurannya) bermakmum kepada yang ummi (tidak pandai membaca fatihah
dengan fasih, baik huruf maupun tasydidnya).
Syarat-Syarat
Menjadi Makmum
Di tempat (bagian) mana seorang makmum shalat
berjama’ah dengan imam di masjid, maka ia haruslah musyahadah (mengetahui
gerak-gerik imamnya) dalam shalat, atau cukup dengan menyaksikan, sebagian shaf
yang di depannya, maka jika demikian dinilai sah shalat jamaahnya, dengan
catatan makmum tidak mendahului shalatnya imam.
Atau dari tempat berdirinya (makmum) itu tidak
lebih maju (ke depan) dari tempat imam berdiri. Dan kalau sampai terjadi
penyimpangan dari ketentuan tersebut, maka tidak sah shalatnya, walaupun makmum
itu majunya hanya setapak kaki dari imamnya, berbeda jika tegaknya itu sepadan
dengan tempat tegaknya imam, itu tetap sah.
Makmum disunahkan sedikit mundur dari tempat
berdirinya imam dan bukan berarti sedikit mundurnya sendirian dari barisan
(shaf) hingga tidak memperoleh keutamaan shalat berjama’ah.
Apabila terlaksana shalat berjama’ah, imam
shalat di dalam masjid, lalu makmum shalat di luar masjid, sedangkan keberadaan makmum tersebut
jaraknya dekat dengan imam, diperkirakan jarak antara keduanya tidak sampai 300
dzira’, dan ia tahu persis gerak-gerik shalat imamnya, tidak ada penghalang
(yang menutupi) antara keduanya, maka boleh mengikutinya, dan jarak tersebut
dihitung dari akhir batas masjid (batas belakangnya).
Kalau imam dan makmum tidak berada di masjid,
misalnya di tanah terbuka atau dalam suatu bangunan, maka syaratnya (jarak
makmum dengan imam) tidak lebih dari 300 dzira’, dan tiada penghalang yang
menutupi keduanya.
B. Dalil tentang Shalat
Berjama’ah
1. Q.S An- Nisa
ayat 102
#sÎ)ur |MZä. öNÍkÏù |MôJs%r'sù ãNßgs9 no4qn=¢Á9$# öNà)tFù=sù ×pxÿͬ!$sÛ Nåk÷]ÏiB y7tè¨B ….
Artinya: dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu…
2.
Q.S Al-Baqarah [2] ayat 43
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya:
dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.[3][3]
3.
Q.S Ali 'Imran [3] ayat 43
ÞOtöyJ»t ÓÉLãYø%$# Å7În/tÏ9 ÏßÚó$#ur ÓÉëx.ö$#ur yìtB úüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya: Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud
dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.[4][4]
4.
Q.S Al A'raaf [7] ayat 204
#sÎ)ur Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ
Artinya: dan apabila dibacakan Al Quran, Maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat.[5][5]
5.
Hadits Rasulullah SAW.
وَعَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله
عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( صَلَاةُ اَلرَّجُلِ مَعَ
اَلرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ, وَصَلَاتُهُ مَعَ اَلرَّجُلَيْنِ
أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ اَلرَّجُلِ, وَمَا كَانَ أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ
إِلَى اَللَّهِ تِعالى ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ
اِبْنُ حِبَّان
Artinya: Dari Ubay Ibnu Ka'ab Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sholat seorang
bersama seorang lebih baik daripada sholatnya sendirian, sholat seorang bersama
dua orang lebih baik daripada sholatnya bersama seorang, dan jika lebih banyak
lebih disukai oleh Allah 'Azza wa Jalla." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i.
Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.[6][6]
6. Hadits
Rasulullah SAW.
|
عَنْ
عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( صَلَاةُ اَلْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ
صَلَاةِ اَلْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
|
Artinya: Dari
Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Sholat berjama'ah itu lebih utama dua puluh tujuh
derajat daripada sholat sendirian." Muttafaq Alaihi.[7][7]
C. Hukum Shalat Berjama’ah
Penyusun kitab Matan al-Ghayat wa
al-Taqrib, Syaih Abu Syuja’ dan Imam Rafi’[8][8] berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah
adalah sunnah muakkadah. Sedangkan Imam Nawawi[9][9] berpendapat fardlu kifayah. Perkataan Abu
Syuja’[10][10] dan Rafi’I termasuk lemah (dhaif), sedang
perkataan Imam Nawawi termasuk lebih sah dan kuat, sehingga menjadi qaul
mu’tamad. Dalam kitab Fath al-Qarib disebutkan :
“Shalat
berjama’ah bagi orang-orang lelaki merdeka dalam setiap shalat fardlu selain
shalat Jum’at adalah Sunnah Muakkadah menurut mushannif Syaih Abi Syuja’ dan
Imam Rafi’I. (Adapun) yang lebih syah (mu’tamad) menurut Imam Nawawi,
bahwasannya shalat berjama’ah itu fardlu kifayah”.
Mengingat shalat berjama’ah termasuk bagian
dari syiar Islam dalam meramaikan tempat-tempat ibadah dan merupakan unjuk
kerukunan terhadap orang-orang yang kurang sefaham dengan ukhuwah
islamiyah, sekalipun tidak sekeras Ahmad Hambali[11][11], tetapi pendapat Imam Nawawi tersebut cukup
menggugah umat bahwa shalat jamaah itu fardlu yang harus ditunaikan oleh
sebagian anggota masyarakat. Sebab bila tidak demikian, seluruh mukallaf satu
kampung berdosa semuanya.
Menurut
pendapat Abi Syuja’, dan Imam Rafi’I bahwa shalat berjama’ah hukumnya
sunnah mu’akkadah (sunnah ‘ainiyah atau sunnah kifayah). Pendapat kedua
mujtahid terkenal ini didasarkan pada realita saat itu banyak kelompok
masyarakat (perkampungan) tak mendirikan shalat jamaah, karena faktor tempat
berjama’ah belum ada, kondisi masyarakat tidak menyatu, tidak memungkinkan
waktu meraka untuk shalat berjama’ah dan lain sebagainya.
Sementara menurut keyakinan mereka bahwa
berjama’ah dalam shalat adalah fardlu kifayah, tetapi kenyataan mereka enggan
juga melaksanakan kewajiban itu, sehingga mereka terkena dosa. Berbeda kalau
hukum shalat berjama’ah itu sunnah mu’akkadah, tinggalnya tidak terhukum dosa.
Bila ikut shalat berjama’ah tetap mendapat pahala besar. Hanya saja pendapat
kedua mujtahid ahli zuhud ini tidak banyak mendapat dukungan, sehingga pendapat
mereka dilemahkan.[12][12]
D. Syarat-Syarat Shalat
Berjama’ah
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam shalat
berjama’ah adalah.
1. Syarat untuk
imam
a. Orang yang paling faham dalam urusan agama
terutama dalam masalah shalat;
b.Orang yang paling baik dan fasih bacaannya;
c. Orang yang paling banyak hafalan al-Qur’annnya;
d.
Tidak sedang bermakmum kepada orang lain;
e. Bukan perempuan atau khuntsa (banci), jika makmumnya laki-laki atau khuntsa;
f. Orang
yang paling wara’, yaitu orang yang paling baik akhlaknya, adil, dan
bukan orang fasiq;
g.Lebih tua dari jama’ah lainnya.
2. Syarat untuk
makmum
a. Niat mengikuti imam (berjama’ah);
b.Tidak meyakini batal shalat imam;
c. Mendengar atau melihat imam dan atau melihat
gerakan shaf terdekat;
d.
Tidak mendahului atau mengakhirkan diri dari imam dengan dua rukun fa’ly, kecuali jika ada uzur;
e. Tidak terlalu depan dari imam;
f. Tidak ada penghalang antara imam dan makmum;
g.Tidak terlalu jauh dari imam, jika keduanya
tidak dalam satu bangunan;
h.Tidak ada perbedaan antara imam dan makmum
dalam gerakan shalat.[13][13]
Jika
imam lupa, maka makmum harus memberitahu imam dengan cara mengucapkan kalimat
tasbih bagi makmum laki-laki, dan bertepuk tangan bagi makmum perempuan.
Jika
imam batal, maka salah seorang makmum maju ke depan untuk menggantikan imam.
Jika
datang terlambat, maka makmum akan menjadi masbuq
yang boleh mengikuti imam sama seperti makmum lainnya, namun setelah imam
salam, masbuq menambah jumlah rakaat
yang tertinggal. Jika ia mendapatkan ruku’ bersama imam walaupun sebentar maka
ia mendapatkan satu raka’at. Jika masbuq
adalah makmum pertama, maka ia menepuk pundak imam untuk mengajak shalat
berjama’ah.
E. Keutamaan Shalat
Berjama’ah
1. Dari Ibnu Umar
ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Shalat berjama’ah itu lebih utama
daripada shalat sendirian, dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
2. Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Shalat seseorang dengan
berjama’ah itu dilipatkan dua puluh lima kali lipat atas shalat sendiri yang
dikerjakan di rumah atau di pasar. Hal itu apabila ia berwudhu dengan sempurna,
kemudian keluar menuju ke masjid dengan niat hanya untuk shalat, maka setiap
kali ia melangkah, derajatnya dinaikkan dan kesalahan (dosa)nya diturunkan.
Lali ketika ia melakukan shalat, malaikat senantiasa memohonkan ampun dan
rahmat untuknya, selama ia masih tetap berada di tempat shalatnya dan tidak
berhadas. Malaikat berdoa: “Ya Allah ampunilah dia Ya Allah rahmatilah dia.”
Dan tetap dianggap berada dalam shalat (mendapat pahala seperti itu), selama ia
menanti shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata: Ada seorang buta datang kepada Nabi saw. dan ia berkata:
“Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang menuntun saya untuk datang ke
masjid,” kemudian ia minta keringanan kepada beliau agar diperkenankan shalat
di rumahnya, maka beliau pun mengizininya,
tetapi ketik ia bangkit hendak pulang, beliau bertanya kepadanya:
“Apakah kamu mendengar azan?” ia menjawab: “Ya” Beliau bersabda: “Kamu harus
datang ke Masjid.” (HR. Muslim)
4. Dari Abdullah,
ada yang memanggilnya dengan Amar bin Qais yang terkenal dengn Ibnu Ummi Maktum
ra. (muazin) bahwasanya ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota
Madinah ini banyak hal-hal yang membahayakan dan binatang buas.” Rasulullah
saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar: HAYYA ‘ALASH SHALAAH HAYYA ‘ALAL
FALAAH, maka kamu harus mendatanginya.” (HR. Abu Dawud)
5. Dari Abu
Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Demi Zat yang menguasaiku.
Sungguh aku benar-benar pernah bermaksud menyuruh mengumpulkan kayu bakar.
Kemudian aku memerintah shalat dengan mengumandangkan azan lebih dulu. Lalu aku
menyeruh seseorang mengimami orang banyak. Kemudian aku pergi ke rumah
orang-orang yang tidak memenuhi panggilan shalat, lalu aku bakar rumah- rumah
mereka dengan mereka sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Dari Ibnu
Mas’ud ra., ia berkata: “Barangsiapa merasa senang apabila bertemu Allah Ta’ala
besok (pada hari kiamat) dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia memelihara
shalat pada waktunya, ketik mendengar suara azan. Sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi
Muhammad saw. jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian melakukan shalat itu di
rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah, niscaya kalian telah
meninggalkan sunnah Nabi, pasti kalian sesat. Aku benar-benar melihat di antara
kita tidak ada yang meninggalkan shalat jamaah, kecuali orang-orang munafik
yang benar-benar munafik. Sungguh pernah terjadi seorang lelaki diantar ke
masjid, ia terhuyung-huyung di antara dua orang, sampai ia diberdirikan dalam
shaf (barisan shalat).” (HR. Muslim)
Dan di dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullah
saw. telah mengajarkan jalan-jalan petunjuk yakni shalat di masjid yang
terdengar azannya.
7. Dari Abu
Darda’ ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila di
suatu desa atau kampung terdapat tiga orang, dan di situ tidak diadakan shalat
jamaah niscaya mereka telah dijajah oleh setan. Oleh karena itu hendaklah kamu
sekalian selalu mengerjakan shalat dengan berjama’ah sebab serigala itu hanya
menerkam kambing yang jauh terpencil dari kawan-kawannya.” (HR. Abu Dawud)[14][14]
F. Anjuran Berjama’ah Shalat Subuh Dan Isya’[15][15]
1. Dari Utsman
bin Affan ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Barangsiapa yang shalat Isya' dengan berjama’ah, seolah-olah ia mengerjakan
shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh dengan berjama’ah
seolah-olah ia mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR. Muslim)
Dan di dalam
riwayat Turmudzi ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa
mengerjakan shalat Isya' dengan berjama’ah, maka ia dianggap mengerjakan shalat
setengah malam, dan barangsiapa mengerjakan shalat Isya' dan Subuh dengan
berjama’ah, maka ia dianggap mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR.
Turmudzi)
2. Dari Abu
Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya manusia
mengetahui keutamaan shalat Isya' dan Subuh tentu mereka mendatangi keduanya
(berjama’ah), walaupun dengan merangkak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada shalat yang
lebih berat bagi orang-orang munafik melebihi shalat Subuh dan Isya'.
Seandainya mereka mengetahui keutamaan kedua shalat itu, niscaya mereka
mendatangi keduanya (berjama’ah), walaupun dengan merangkak.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
G. Keutamaan Shaf Pertama
1. Dari Jabir bin
Samurah ra., ia berkata: Rasulullah saw. keluar kepada kami dan bersabda:
‘Tidakkah kalian ingin bershaf (berbaris) sebagaimana shaf malaikat di hadapan
Tuhannya?” Rasulullah saw. bersabda: “Mereka menyempurnakan shaf-shaf pertama
dan berapat-rapat di dalam shaf.” (HR. Muslim)
2. Dari Abu
Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya orang-orang
mengetahui besarnya pahala mendatangi azan dan shaf pertama, kemudian untuk
mendapatkannya harus diundi niscaya mereka mau mengadakan undian.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
3. Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Shaf kaum lelaki yang
paling baik adalah yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf terakhir,
sedangkan shaf kaum wanita yang paling baik adalah shaf terakhir dan yang
paling jelek adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)
4. Dari Abu Sa’id
Al Khudriy ra. bahwasanya Rasulullah saw. melihat para sahabat mundur ke
belakang, maka beliau bersabda: “Majulah kalian! Makmumlah kalian kepadaku dan
hendaklah makmum kepada kalian orang-orang yang datang sesudah kalian. Tak
henti-hentinya suatu kaum datang terlambat, sampai Allah mengakhiri mereka.”
(HR. Muslim)
5. Dari Abu
Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. mengusap- usap bahu kami ketika kami
sedang shalat serta beliau bersabda: “Ratakan barisan kalian dan jangan
berselisih yang menyebabkan hati kalian berbeda. Harap dekat denganku, di
antara kalian yang sudah baligh dan berakal, kemudian orang-orang yang di bawahnya
(seperti anak-anak yang sudah tamyiz/pintar), kemudian yang di bawahnya.” (HR.
Muslim)
6. Dari Anas ra.,
ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:”Ratakanlah shaf-shaf kalian! Sebab,
meratakan shaf itu termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan di dalam riwayat Bukhari dikatakan:
“Sesunguhnya meratakan shaf itu termasuk menegakkan shalat.”
7. Dari Anas ra.,
ia berkata: Ketika iqamat untuk shalat dikumandangkan, Rasulullah saw. menoleh
kepada kami dan bersabda: “Ratakanlah shaf-shaf kalian dan merapatlah! Karena,
aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” (HR. Bukhari)
Dan di dalam
riwayat lain dikatakan: “Kemudian masing-masing dari kami meluruskan bahunya
dengan bahu kawannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki kawannya.” (HR.
Bukhari)
8. Dari An Nu’man
bin Basyir ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Hendaknya
benar-benar diratakan shaf-shaf kalian, atau Allah betul-betul mengganti
wajah-wajah kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
9. Dalam riwayat
Muslim, bahwasanya Rasulullah saw. meluruskan shaf kami sehingga seakan-akan
beliau meluruskan anak panah, sampai beliau berpendapat bahwa kami sudah sadar.
Pada suatu hari beliau keluar dan langsung berdiri, ketika beliau hendak takbir
ada seseorang yang dadanya menonjol tidak lurus dalam barisan itu, kemudian
beliau bersabda: “Wahai hamba Allah, kamu seklian harus meluruskan barisanmu
atau Allah akan menyelisihkan di antara kamu sekalian.”
10. Dari Al Barra’ bin Azib ra., ia berkata:
Rasulullah memasuki sela-sela shaf sambil mengusap dada dan bahu kami, serta
bersabda: “Janganlah kalian berbengkok-bengkok, karena hatimu nanti akan
berselisih.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mengaruniakan rahmat, dan
malaikat memohonkan rahmat untuk orang-orang yang berada pada shaf pertama.”
(HR. Abu Dawud)
11. Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda: “Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah bahu-bahu
kalian, tutuplah lobang-lobang shaf kalian dan janganlah kamu biarkan renggang
shafmu karena akan ditempati setan. Barangsiapa yang mempertemukan shaf maka
Allah akan mempertemukannya, dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah
akan memutuskannya.” (HR. Abu Dawud)
12. Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah
saw. bersabda: “Rapatkanlah shaf-shaf kalian dan berdekat-dekatlah kalian serta
luruskanlah leher kalian. Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya,
sungguh aku melihat setan-setan itu masuk di sela-sela barisan seperti kambing
yang hitam lagi kecil.” (HR. Abu Dawud)
13. Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah
saw. bersabda: “Sempurnakanlah shaf terdepan kemudian shaf yang berada di
belakangnya. Apabila ada yang tidak penuh maka hendaklah pada shaf yang paling
belakang.” (HR. Abu Dawud)
14. Dari ‘Aisyah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan rahmat dan malaikat
memohonkan kepada orang-orang yang berada pada shaf sebelah kanan.” (HR. Abu
Dawud)
15. Dari Al Barra’ ra., ia berkata:
“Apabila kami shalat di belakang Rasulullah saw. maka kami suka pada sebelah
kanannya, karena beliau menatap kami dengan wajahnya, sehingga saya mendengar
beliau berdoa: ROBBI QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB’ATSU AU TAJMA’U ‘IBAADAKA (Ya
Tuhan, hindarkan aku dari siksa-Mu pada hari Kau bangkitkan atau Kau kumpulkan
hamba-hamba-Mu).” (HR. Muslim)
16. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: “Tempatkanlah imam itu di tengah-tengah dan tutuplah
sela- sela shafmu.” (HR. Abu Dawud)[16][16]
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat
mengemukakan simpulan sebagai berikut.
1. Shalat
berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama, seorang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum.
2. Sholat seorang
bersama seorang lebih baik daripada sholatnya sendirian, sholat seorang bersama
dua orang lebih baik daripada sholatnya bersama seorang, dan jika lebih banyak
lebih disukai oleh Allah 'Azza wa Jalla.
3. Shalat berjama’ah
bagi orang-orang lelaki merdeka dalam setiap shalat fardlu selain shalat Jum’at
adalah Sunnah Muakkadah.
4. Syarat-syarat
dalam shalat berjama’ah antara lain, seorang imam adalah seseorang yang paling
adil dan fasih bacaan al-Qur’annya. Sedangkan seorang makmun haruslah mengikuti
gerakan imam tanpa mendahuluinya.
5. Shalat
berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian.
6. Mengerjakan
shalat Isya' dan Subuh dengan berjama’ah, dianggap mengerjakan shalat semalam
suntuk.
7. Meratakan dan
merapatkan shaf itu termasuk menyempurnakan shalat. Sebaik-baiknya shaf untuk
laki-laki adalah shaf pertama dan yang terjelek adalah shaf terakhir.
Sebaliknya bagi perempuan, sebaik-baiknya shaf adalah shaf terakhir dan yang
terjelek adalah shaf pertama.
B. Saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis
merumuskan saran sebagai berikut.
1. Kita hendaknya
menguasai konsep shalat berjama’ah yang baik dan benar.
2. Kita hendaknya
menerapkan konsep shalat berjama’ah yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an Digital App
Artikel islam.
(2010) makna shalat berjama’ah. [online].
Tersedia:
http://1artikelislam.blogspot.com/2010/02/makna-shalat-berjama’ah.html. [22
september 2013]
Bulughul Maram
App
Fath al-Qarib
FKDT KAB. TSM.
(2012). Diktat Bahan Ajar Diniyah
Takmiliyah Awaliyah Fiqh Kelas 2, Tasikmalaya: tidak diterbitkan.
FKDT KAB. TSM.
(2012). Diktat Bahan Ajar Diniyah
Takmiliyah Awaliyah Fiqh Kelas 3, Tasikmalaya: tidak diterbitkan.
Rifa’I, N.H. Tata Cara Shalat Lengkap. Jombang:
Lintas Media
Riyadhus
shalihin jilid 1 dan jilid 2 [Indonesia version]
Abdillah,
Syamsuddin. (2010). Terjemah Fathul Qarib,
Surabaya: Mutiara Ilmu
Tersedia:
Tanbihun.com [22 september 2013]
MAKALAH
ADZAN, IQOMAH DAN SHALAT BERJAMAAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Pelajaran Fiqih
Disusun Oleh :
Kelompok : II ( Dua ) Kelas : VII – A
Ketua : Sifa Damayanti
Wakil Ketua : Fajar
Anggota : M.
Silmy Kaffa
Putri
Nayla
Amiya
Dicky
Mahfud
Alvia
Rini
M. Khoirul R
MADRASAH TSANAWIYAH CIPASUNG
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2014
[1][1]
Modul Fiqh DT, kelas 2
[2][2]
Belum mencapai usia 7 tahun, belum bisa membedakan yang salah dan yang benar
[3][3]
Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah
kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
[4][4]
Shalatlah dengan berjama'ah.
[5][5]
Maksudnya: jika dibacakan Al Quran kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan
sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang,
terkecuali dalam shalat berjama’ah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri
waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran.
[6][6]
Bulughul maram, hadits no. 447
[7][7]
Bulughul maram, hadits no. 422
[8][8]
Nama aslinya yaitu Al-Imam Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim bin Fadhal
al-Quzwaini. Beliau termasuk mujtahid fatwa . Wafat pada tahun 623 H. (Thabaqat
al-Shafi’iyah: 182).
[9][9]
Nama lengkapnya Al-Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi. dilahirkan pada tahun 630
H. di Nawa sebuah negeri dekat Damaskus Sirian, dan wafat tahun 676 H.
(Thabaqat al-Shafi’iyah: 201)
[10][10]
Syaihul Imam Abu Thayyib atau Abu Syuja’ Shihabul Millah waddin, Ahmad bin
Husain bin Ahmad al-Asfahani. Beliau lahir tahun 433 H. di Asfahan, Persi dan
wafat di Madinah tahun 593 H. dalam usia 160 tahun dan dikubur dekat “Pintu
Jibril” masjid Nabawi di Madinah (al-Bajuri: I/9-10)
[11][11]
Al-Imam Ahmad bin Hambal lahir tahun 780 M. dan wafat tahun 855 M. Beliau
seorang ulama besar pernah dipenjara selama 15 tahun, karena tragedi “Al-Qur’an
Mahluk” oleh kaum Mu’tazilah di Irak dan salah satu murid Imam Shafi’I yang
menjadi mujtahid muthlaq (al-Thabaqat al-Kubra: I/54-56)
[12][12]
Tanbihun.com
[13][13]
Modul Fiqh DT kelas 3
[14][14]
Riyadhus shalihin Hal. 365-367
[15][15]
Riyadhus shalihin
[16][16]
Riyadhus shalihin hal. 370-372
Tidak ada komentar:
Posting Komentar