TOKO 0SCAR CLASSER

Minggu, 10 Agustus 2014

PENGERTIAN ADZAN DAN SHALAT BERJAMAAH

Adzan: Pengertian, Pensyariatan, Keutamaan, Hukum, Syarat-Syarat dan Sunnahnya

Pengertian
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الاكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
Dan suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.(QS. At-Taubah : 3)

Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27)
Secara syariat, definisi adzan adalah perkataan tertentu yang bergun memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu.
Dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi adzan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
Pensyariatan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil dari Al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
2.1. Al-Quran
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. Al-Maidah : 58)
2.2. Sunnah :
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ : قَالَ لَنَا النَّبِيُّ وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada kami,”Bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan”.(HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ  قَالَ: طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: اَللَّهُ أَكْبَرَ اللَّهِ أَكْبَرُ فَذَكَرَ الاذَانَبِتَرْبِيع التَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ و الإقَامَةَ فُرَادَى إِلاَّ قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ – قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ  فَقَالَ: إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ.
Dari Abdullah bin Zaid bin Abdirabbihi berkata,”Ada seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru : “Allahu akbar alahu akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir tanpa tarji’, dan iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya Aku datangi Rasulullah SAW, maka beliau bersabda,”Itu adalah mimpi yang benar. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya dengan mimpi sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah SAW juga diperlihatkan praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit.
Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi SAW diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di atas 7 lapis langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk langit, dimana disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam Maka Allah menyempurnakan kemuliaannya di antara para penduduk langit dan bumi.
Namun hadits ini riwayatnya teramat lemah dan gharib. Riwayat yang shahih adalah bahwa adzan pertama kali dikumandangkan di Madinah sebagai-mana hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim.

Keutamaan
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau perlu mereka melakukan undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits nabi SAW :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فيِ الآذَانِ وَالصَّفِ الأَوَّلِ ثُمَّ لمَ ْيَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا رواه البخاري وغيره
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara mereka..”(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat, orang yang mengumandang-kan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ أَنَّ النّبِيَّ قَالَ: إِنَّ المُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ القِيَامَةِ رواه أحمد ومسلم وابن ماجه
Dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang adzan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat”. (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)
Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah, menjadi muadzdzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya dari pada imam shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً ِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”(QS. Fushshilat : 33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah di dalam ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi dibandingkan yang lain.
Namun pendapat sebaliknya datang dari Al-Hanafiyah, dimana mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama dari pada kedudukan orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya, Nabi Muhammad SAW dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan bukan orang yang mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila kedudukan seorang imam shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.

Hukum
Hukum adzan menurut jumhur ulama selain al-Hanabilah adalah sunnah muakkadah, yaitu bagi laki-laki yang dikerjakan di masjid untuk shalat wajib 5 waktu dan juga shalat Jumat.
Sedangkan selain untuk shalat tersebut, tidak disunnahkan untuk mengumandangkan adzan, misalnya shalat Iedul Fithri, shalat Iedul Adha, shalat tarawih, shalat jenazah, shalat gerhana dan lainnya. Sebagai gantinya digunakan seruan dengan lafaz “Ash-shalatu jamiatan” (الصلاة جامعة). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits berikut :
Dari Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwa telah terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah SAW, maka kepada orang-orang diserukan : “Ash-shalatu Jami`ah”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bagi jamaah shalat wanita, yang dianjurkan hanyalah iqamat saja tanpa adzan menurut As-Syafi`iyah dan Al-Malikiyah. Oleh sebab untuk menghindari fitnah dengan suara adzan wanita. Bahkan iqamat pun dimakruhkan oleh al-Hanafiyah.

Syarat Adzan
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sebelumnya. Diantara syarat-syarat adzan adalah :
5.1. Telah Masuk Waktu
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, maka adzannya itu haram hukumnya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus diulang lagi adzannya. Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di masa Rasulllah SAW. Adzan yang pertama sebelum masuk waktu shubuh, yaitu pada 1/6 malam yang terakhir. Dan adzan yang kedua adalah adzan yang menandakan masuknya waktu shubuh, yaitu pada saat fajar shadiq sudah menjelang.
5.2. Harus Berbahasa Arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain arab tidak sah. Sebab adzan adalah praktek ibadah yang bersifat ritual, bukan semata-mata panggilan atau menandakan masuknya waktu shalat.
5.3. Tidak Bersahutan
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung menyambung antara satu orang dengan orang lainnya dengan cara bergantian, hukumnya tidak sah.
Sedangkan mengumandangkan adzan dengan beberapa suara vokal secara berberengan, dibolehkan hukumnya dan tidak dimakruhkan sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Bani Umayyah.
5.4. Muslim, Laki, Akil Baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh non-muslim, wanita, orang tidak waras atau anak kecil. Sebab mereka semua bukan orang yang punya beban ibadah.
Bahkan Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa orang itu tidak boleh fasik, bila sudah terjadi maka harus diulangi oleh orang lain yang tidak fasik. Al-Malikiyah mengatakan bahwa dia harus adil.
5.5. Tertib Lafaznya
Tidak diperbolehkan untuk terbolak-balik dalam mengumandangkan lafadz adzan. Urutannya harus benar. Namun para ulama sepakat bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak disyaratkan harus punya wudhu`, menghadap kiblat, atau berdiri. Hukum semua itu hanya sunnah saja, tidak menjadi syarat sahnya adzan.
Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan juga orang yang mengumandangkan iqamat. Namun bukan menjadi keharusan yang mutlak, lantaran di masa Rasululah SAW, Bilal radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah Abdullah bin Zaid, shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu dilakukan atas perintah nabi juga.
Sunnah Adzan
1.   Hendaklah muadzin suci dan hadast besar dan kecil. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan hal-hal yang dianjurkan baginya berwudhu’.
2.   Hendaklah ia berdiri menghadap kiblat. Ibnu mundzir berkata sesuatu yang telah menjadi ijma’ (kesempatan para ulama) bahwa berdiri ketika adzan termasuk sunnah Nabi karena suara bisa lebih keras, dan termasuk sunnah juga ketika adzan menghadap ke arah kiblat, sebab para muadzin Rasullullah mengumandangkan adzan sambil menghadap kearah kiblat.
3.   Menghadapkan wajah dan lehernya ke sebelah kanan ketika mengucapkan ‘Hayya ‘alalfalah’ dan ke sebelah kiri ketika mengucapkan, ‘Hayya ‘alal falah’, sebagaimana yang telah dijelaskan sebagai berikut :
Dari Abu Juhaifah ia pernah melihat Bilal beradzan, ia berkata, “Kemudian saya ikuti mulutnya ketika ke arah sini dan sini dengan adzan tersebut.” ( Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 114 no: 634, Muslim I : 360 no no: 503, ‘Aunul Ma’bud II: 219no: 516, Tarmidzi I: 126 no: 197, dan Nasa’I II: 12).
(Adapun memalingkan dada ke kanan dan ke kiri ketika adzan, maka sama sekali tidak dijelaskan dalam sunnah Nabi saw. dan tidak pula disebutkan dalam hadits-hadits yang menerangkan menghadapkan leher ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri. Selesai. Berasal dari kitab Tamamul Minnah ha.150)
4.   Memasukkan dua jari ke dalam telinganya, karena ada pernyataan Abu Juhaifah:
Saya melihat Bilal adzan dan berputar serta mengarahkan mulut ke sini dan ke sini, sedangkan dua jarinya berada ditelinganya.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 164 dan Sunan Tirmidzi I: 126 no: 197).
5.   Mengeraskan suaranya ketika adzan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi saw., “Karena sesungguhnya tidaklah akan mendengar sejauh suara muadzin, baik jin, manusia, adapun sesuatu yang lain, melainkan mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 625, Fathul Bari H: 87: 609 dan Nasa’i II: 12).
(Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini Hasan Shahih dan sudah diamalkan oleh para ulama’ mereka menganjurkan muadzin memasukkan dua jari ke dalam dua telinganya ketika adzan.” selesai)
6. Di Anjurkan Muadzin Mengucapkan, Dua Kali Takbir Dalam Sekali Nafas
Dari Umar bin Khathab r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila muadzin mengucapkan ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, kemudian muadzin mengucapkan, ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAH, lalu ia mengucapkan (juga), ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAI-L…, (Shahih: Shahih Abu Daud, no: 527, Muslim 1:289 no: 385 dan ‘Aunul Ma’bud 11: 228 rio: 523).
Dalam hadits di atas terkandung isyarat yang jelas bahwa muadzin mengucapkan setiap dua takbir dalam sekali nafas, dan orang yang mendengar pun menjawabnya seperti itu. (Lihat Syarhu Muslim III: 79).
7.   Dianjurkan Melakukan Tarji’
Tarji’ ialah mengulangi bacaan syahadatain, dua kali pertama dengan suara pelan dan dua kali kedua dengan suara keras. (Lihat Syarhu Nawawi Muslim III: 81).
Dari Abu Mahdzurah r.a. bahwa Rasulullah pernah rnengajarinya adzan ini: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR. ASYHADU ALLAA, ILAAHA ILLALLAAH ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH, Kemudian beliau mengulangi dengan mengucapkan (lagi): ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RAS ULULLAAH, HAYYA ALASHSHALAAH HAYYA ‘ALASHSHALAAH, HAYYA ALAL FALAKH HAYYA ‘ALAL FALAAH, ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 191 dan Muslim I: 287 no: 379).
8.   Dianjurkan Adzan Pada Awal Masuknya Waxtu Shalat Dan Mendahulukan Pada Waktu Shubuh Khususnya
Dari Jabir bin Samurah, berkata, “Adalah Bilal biasa adzan dengan sempurna bila matahari bergeser ke barat, kemudian ia tidak mengumandangkan iqamah hingga Nabi saw. keluar kepadanya, maka ketika beliau telah keluar ia mengumandangkan iqamah ketika ia melihatnya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 503, al-Fathur Rabbani 111: 35 no: 283 dan ini lafadz: baginya, Muslim 1: 423 no: 606, Aunul Ma’bud II: 241 no: 533 semakna).
Makna LAA YAKHRUMU ialah mengucapkan lafadz-lafadz adzan dengan sempurna tidak ada yang ketinggalan. Demikian menurut Imam Syaukani dalam Nailul Authar II:31.
Dari Ibnu Umar r.a., bahwa nabi bersabda “Sesungguhnya Bilal biasa adzan di waktu malam, maka hendaklah kamu makan dan minum hingga Ibnu Ummi Makan mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 104 no: 622 dan Muslim II: 768 no: 38dan 1092).
Nabi sudah menerangkan hikmah didahulukannya adzan shubuh sebelum waktunya dengan sabdanya, “Janganlah sekali-kali adzan Bilal mencegah salah seorang di antara kamu dan sahumya, karena sesungguhnya ia memberitahu -atau beliau bersabda- ia berseru di waktu malam agar orang yang biasa bangun malam di antara kamu kembali pulang (ke rumahnya) dan untuk membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak di antara kamu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 103 no: 621, Muslim 11: 768 no: 1093 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 472 no: 2330).


 SHALAT BERJAMAAH



Didalam hadits dikatakan bahwa pahala shalat berjama’ah adalah 27 kali dibandingkan dengan shalat sendiri. Banyak orang Islam berhitung secara kuantitatif seolah-olah dengan melakukan shalat berjama’ah maka ia akan menabung pahala sebanyak 27 kali. Demikian juga ketika di dalam hadis dikatakan bahwa shalat di Masjidil Haram akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak seratus ribu kali lipat. Luar biasa.
Shalat berjama’ah berarti berkelompok dengan panduan seorang imam. Apa yang dilakukan imam akan diikuti oleh makmumnya, kecuali imam salah. Semua makmum harus berbaris dengan shaf yang teratur dan lurus. Semua mengikuti arah Imam, betapa kuatnya organisasi ini. Siapa yang dapat mematahkan shaf yang kokoh? Sayang makna dari keuntungan shalat berjama’ah luput dimengerti oleh umat islam! Salah satu kunci keberhasilan dakwah di zaman Rasulullah saw adalah persatuan. Salah satu cara menumbuhkan persatuan tersebut adalah dengan shalat berjama’ah. Kecintaan mereka, disiplin dan keikhlasan mereka dalam menunaikan shalat berjama’ah telah menumbuhkan semangat persatuan dan keberanian yang tinggi diantara mereka. di sisi lain hubungan silaturahmi yang penuh kasih sayang semangat erat terjalin diantara mereka. Sehingga gambaran umat Islam yang bagaikan dua jari dieratkan benar-benar nampak di zaman itu.           
Dalam hal disiplin dan kecintaan mereka dalam shalat berjama’ah kita dapati di dalam salah satu riwayat bahwa seorang sahabat yang sudah uzur dan tuna netra setiap hari beliau shalat berjama’ah ke masjid walaupun jaraknya tidak bisa dibilang dekat, diceritakan bahwa sahabat tersebut meminta keringanan Rasulullah saw untuk beliau khusus untuk shalat subuh shalat di rumah saja. Rasulullah saw mengizinkan, tetapi baru beberapa langkah Rasulullah saw meralat bahwa sahabat tersebut tetap menunaikan shalat berjama’ah di Masjid. Betapa tingginya semangat dan disiplin yang terbentuk waktu itu. Bisa kita bayangkan seandainya di Masjid Istiqlal, setiap umat Islam yang berada di dalam radius beberapa kilometer dari Masjid - menunaikan ibadah shalat berjama’ah di Masjid lima kali sehari - majid tersebut mungkin tidak akan mampu menampung, dan kitapun bisa membayangkan dampak persatuan, kecintaan dan kebaikan akan lebih terbentuk di dalam masyarakat. Dan lebih luas lagi musuh-musuh Islam yang melihat tentu akan gentar melihat persatuan Islam yang terbentuk dari hal yang paling mendasar sekali.
Contoh dalam hal ini adalah di Perancis, Islam yang dari sisi prosentase sebenarnya masih jauh dibandingkan dengan masyarakat asli yang beragama non Muslim, tetapi Islam yang sedikit tersebut sudah menjadikannya sebagai 'ancaman' bagi eksistensi umat Kristiani disana. Betapa tidak kita menyaksikan bahwa setiap ibadah shalat toko-toko disana sampai tutup karena orang-orang Islam yang harus shalat di jalan-jalan dan trotoar, karena tidak tercukupinya masjid untuk menampung umat Islam yang semakin bertambah. Ketakutan itu seharusnya memang tidak perlu dirisaukan, karena semakin shaleh dan taatnya seseorang pada agama dan bentuk-bentuk peribadatan, tentu hal itu akan membawa seseorang akan semakin saleh secara sosial, karena itu adalah tuntutan pasti dari Islam. Sehingga dampak tersebut akan terasa di kalangan masyarakat Perancis sendiri. Tetapi walau bagaimanapun kita pun mengerti ketakutan mereka jika kita membandingkannya dengan tindakan-tindakan terorisme yang dilakukan oleh 'oknum-oknum' muslim. Jadi Shalat berjama’ah adalah hal yang harus selalu kita perhatikan, tidak sekedar kita menganggap untuk kepentingan pribadi kita, tidak sekedar untuk memenuhi masjid tetapi lebih dari itu adalah kita harus menumbuhkan persatuan Islam, persatuan dalam bermasyarakat dan persatuan dalam beragama. Berkenaan dengan urgensi shalat berjama’ah bagi persatuan umat islam, perlu disusun sebuah makalah yang mampu menjadi wahana bagi umat islam untuk memperoleh wawasan dan konsep keilmuan berkenaan dengan shalat berjama’ah ini baik secara teoritis maupun secara praktis. Oleh sebab itu, penulis menulis sebuah makalah yang bertajuk “Shalat Berjama’ah”.


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Apakah yang dimaksud dengan shalat berjama’ah?
2.      Bagaimana dalil tentang shalat berjama’ah?
3.      Bagaimana hukum shalat berjama’ah?
4.      Bagaimana syarat-syarat shalat berjama’ah?
5.      Apakah keutamaan dari shalat berjama’ah?
6.      Bagaimana anjuran berjama’ah shalat subuh dan isya’?
7.      Bagaimana keutaamaan shaf pertama dalam shalat berjama’ah?


Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1.      shalat berjama’ah;
2.      dalil tentang shalat berjama’ah;
3.      hukum shalat berjama’ah;
4.      syarat-syarat shalat berjama’ah
5.      keutamaan dari shalat berjama’ah;
6.      anjuran berjama’ah shalat subuh dan isya’;
7.      keutaamaan shaf pertama dalam shalat berjama’ah.


A.    Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, seorang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum dengan syarat-syarat yang ditentukan.[1][1]
Shalat berjama’ah minimal atau paling sedikit dilakukan oleh dua orang, namun semakin banyak orang yang ikut shalat berjama’ah tersebut jadi jauh lebih baik. Paling sedikit shalat berjama’ah selain jamaah shalat Jum’at terdiri dari dua orang imam dan makmum. Sedang shalat berjama’ah Jum’at paling sedikit terdiri dari empat orang, imam dan makmum, yang keempatnya itu bilangan Jum’at, menurut pendapat Imam Shafi’I yang tidak kuat (Jam’ Rishalatain fi al-Jum’at: 23). Adapun jamaah I’adah shalat Dhuhur seusai shalat Jum’at terdiri dari imam dan makmum sebanyak peserta jamaah shalat Jum’at, termasuk imam dan seluruh bilangan Jum’at itu. (tersebut dalam kitab-kitab fiqih Shafi’iyah)
Shalat berjama’ah memiliki nilai pahala 27 derajat lebih baik daripada shalat sendiri. Disamping pahala yang besar, didalam shalat berjama’ah terdapat beberapa hikmah yang besar, diantaranya
1.      Menambah syi’ar islam;
2.      Memakmurkan mesjid;
3.      Mempererat tali persahabatan dan persaudaraan antar sesama muslim;
4.      Menumbuhkan persamaan derajat antar sesama muslim baik yang rakyat maupun yang pejabat tidak ada perbedaan disisi Allah kecuali karena ketakwaannya;
5.      Menghilangkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin; dan
6.      Menumbuhkan sikap saling pengertian, peduli dan saling tolong menolong antara sesama muslim.

Pasal Shalat Berjama’ah menurut Kitab Fathul Qarib
Pasal IX
Dalam pasal ini dijelaskan tentang shalat berjama’ah bagi kaum pria dalam shalat fardu, selain shalat jum’at, hukumnya sunah muakad, hal ini menurut pendapat penyusun/mushonif dan Imam Rafi’i r.a. sedangkan yang paling benar adalah fardu kifayah, menurut pendapat Imam Nawawi r.a.
Definisi berjama’ah: makmum dinyatakan memperoleh berjama’ah bersama imam, didalam shalat selain shalat jum’at selama imam belum mengucapkan shalat awal, walau makmum tersebut belum sempat beserta imam.
Adapun cara jum’at secara berjama’ah hukumnya fardu ‘ain dan bagi makmum yang tertinggal jamaah dinilai gagal (tidak berhasil) kecuali ia dapat menjumpai imam (shalat bersamanya paling tidak satu rakaat).
Hak dan Kewajiban Makmum
Makmum wajib berniat (menjadi makmum) yaitu mengikuti shalat imamnya, dan (dalam niat) tidak wajib menyebut nama imamnya, bahkan cukup niat mengikuti imam (siapa saja) yakni hadir saat itu, walau ia tidak mengenal imamnya. Demikian ini untuk menjaga supaya tidak sampai salah, kalau sampai hal ini terjadi maka batal shalatnya.
Misalnya: Seorang makmum berniat shalat mengikuti imam dengan disebut namanya misalnya nama si Fulan, ternyata yang menjadi imam saat itu bukan si Fulan, melainkan orang lain, maka batal shalat makmum tersebut.
Berbeda jika makmum menentukan imamnya hanya dengan isyarat, misalnya sengaja (berniat) mengikuti Zaid ini, tapi kenyataannya lain, bahkan yang menjadi imam adalah Umar, maka sah shalatnya.
Hak Bagi Imam
Lain halnya dengan imam, ia tidak wajib berniat menjadi imam dalam halnya sahnya untuk diikuti, kecuali shalat jum’at, (imam wajib niat menjadi ima dalam shalat jum’at). Adapun shalat-shalat selain jum’at, niat menjadi imam adalah sunah (itu hak bagi imam) kalau tidak niat jadi imam, maka shalatnya dinilai munfarid (sendirian).
Ketentuan Sah atau Tidaknya Berjama’ah
Orang merdeka tidak boleh menjadi makmum (mengikuti) seorang imam (dari seorang budak). Dan anak yang telah baligh boleh menjadi makmum dari imam (yang masih murahik/anak di bawah umur), berbeda dengan anak balita (yang belum tamyiz[2][2]) tidak sah menjadi imam dalam shalat.
Seorang pria bermakmum kepada wanita tidak sah, demikian juga banci muskil (menjadi masalah) bermakmum kepada sesama, atau banci bermakmum kepada wanita, maka hukumnya tidak sah.
Hukumnya tidak sah, seorang qari’ (yang fasih bacaan al-qurannya) bermakmum kepada yang ummi (tidak pandai membaca fatihah dengan fasih, baik huruf maupun tasydidnya).
Syarat-Syarat Menjadi Makmum
Di tempat (bagian) mana seorang makmum shalat berjama’ah dengan imam di masjid, maka ia haruslah musyahadah (mengetahui gerak-gerik imamnya) dalam shalat, atau cukup dengan menyaksikan, sebagian shaf yang di depannya, maka jika demikian dinilai sah shalat jamaahnya, dengan catatan makmum tidak mendahului shalatnya imam.
Atau dari tempat berdirinya (makmum) itu tidak lebih maju (ke depan) dari tempat imam berdiri. Dan kalau sampai terjadi penyimpangan dari ketentuan tersebut, maka tidak sah shalatnya, walaupun makmum itu majunya hanya setapak kaki dari imamnya, berbeda jika tegaknya itu sepadan dengan tempat tegaknya imam, itu tetap sah.
Makmum disunahkan sedikit mundur dari tempat berdirinya imam dan bukan berarti sedikit mundurnya sendirian dari barisan (shaf) hingga tidak memperoleh keutamaan shalat berjama’ah.
Apabila terlaksana shalat berjama’ah, imam shalat di dalam masjid, lalu makmum shalat di luar  masjid, sedangkan keberadaan makmum tersebut jaraknya dekat dengan imam, diperkirakan jarak antara keduanya tidak sampai 300 dzira’, dan ia tahu persis gerak-gerik shalat imamnya, tidak ada penghalang (yang menutupi) antara keduanya, maka boleh mengikutinya, dan jarak tersebut dihitung dari akhir batas masjid (batas belakangnya).
Kalau imam dan makmum tidak berada di masjid, misalnya di tanah terbuka atau dalam suatu bangunan, maka syaratnya (jarak makmum dengan imam) tidak lebih dari 300 dzira’, dan tiada penghalang yang menutupi keduanya.



B.     Dalil tentang Shalat Berjama’ah
1.      Q.S An- Nisa ayat 102
#sŒÎ)ur |MZä. öNÍkŽÏù |MôJs%r'sù ãNßgs9 no4qn=¢Á9$# öNà)tFù=sù ×pxÿͬ!$sÛ Nåk÷]ÏiB y7tè¨B ….
Artinya: dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu…
2.      Q.S Al-Baqarah [2] ayat 43
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
Artinya:  dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.[3][3]
3.      Q.S Ali 'Imran [3] ayat 43
ÞOtƒöyJ»tƒ ÓÉLãYø%$# Å7În/tÏ9 ÏßÚó$#ur ÓÉëx.ö$#ur yìtB šúüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
Artinya: Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.[4][4]
4.      Q.S Al A'raaf [7] ayat 204
#sŒÎ)ur ˜Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ  
Artinya: dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.[5][5]
5.      Hadits Rasulullah SAW.
وَعَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( صَلَاةُ اَلرَّجُلِ مَعَ اَلرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ, وَصَلَاتُهُ مَعَ اَلرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ اَلرَّجُلِ, وَمَا كَانَ أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اَللَّهِ تِعالى )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان                        
Artinya: Dari Ubay Ibnu Ka'ab Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sholat seorang bersama seorang lebih baik daripada sholatnya sendirian, sholat seorang bersama dua orang lebih baik daripada sholatnya bersama seorang, dan jika lebih banyak lebih disukai oleh Allah 'Azza wa Jalla." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.[6][6]
6.      Hadits Rasulullah SAW.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( صَلَاةُ اَلْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ اَلْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sholat berjama'ah itu lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada sholat sendirian." Muttafaq Alaihi.[7][7]

C.    Hukum Shalat Berjama’ah
Penyusun kitab Matan al-Ghayat wa al-Taqrib, Syaih Abu Syuja’ dan Imam Rafi’[8][8] berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan Imam Nawawi[9][9] berpendapat fardlu kifayah. Perkataan Abu Syuja’[10][10] dan Rafi’I termasuk lemah (dhaif), sedang perkataan Imam Nawawi termasuk lebih sah dan kuat, sehingga menjadi qaul mu’tamad. Dalam kitab Fath al-Qarib disebutkan :
“Shalat berjama’ah bagi orang-orang lelaki merdeka dalam setiap shalat fardlu selain shalat Jum’at adalah Sunnah Muakkadah menurut mushannif Syaih Abi Syuja’ dan Imam Rafi’I. (Adapun) yang lebih syah (mu’tamad) menurut Imam Nawawi, bahwasannya shalat berjama’ah itu fardlu kifayah”.
Mengingat shalat berjama’ah termasuk bagian dari syiar Islam dalam meramaikan tempat-tempat ibadah dan merupakan unjuk kerukunan terhadap orang-orang yang kurang sefaham dengan ukhuwah islamiyah, sekalipun tidak sekeras Ahmad Hambali[11][11], tetapi pendapat Imam Nawawi tersebut cukup menggugah umat bahwa shalat jamaah itu fardlu yang harus ditunaikan oleh sebagian anggota masyarakat. Sebab bila tidak demikian, seluruh mukallaf satu kampung berdosa semuanya.
Menurut  pendapat Abi Syuja’, dan Imam Rafi’I bahwa shalat berjama’ah hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah ‘ainiyah atau sunnah kifayah). Pendapat kedua mujtahid terkenal ini didasarkan pada realita saat itu banyak kelompok masyarakat (perkampungan) tak mendirikan shalat jamaah, karena faktor tempat berjama’ah belum ada, kondisi masyarakat tidak menyatu, tidak memungkinkan waktu meraka untuk shalat berjama’ah dan lain sebagainya.
Sementara menurut keyakinan mereka bahwa berjama’ah dalam shalat adalah fardlu kifayah, tetapi kenyataan mereka enggan juga melaksanakan kewajiban itu, sehingga mereka terkena dosa. Berbeda kalau hukum shalat berjama’ah itu sunnah mu’akkadah, tinggalnya tidak terhukum dosa. Bila ikut shalat berjama’ah tetap mendapat pahala besar. Hanya saja pendapat kedua mujtahid ahli zuhud ini tidak banyak mendapat dukungan, sehingga pendapat mereka dilemahkan.[12][12]

D.    Syarat-Syarat Shalat Berjama’ah
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam shalat berjama’ah adalah.
1.      Syarat untuk imam
a. Orang yang paling faham dalam urusan agama terutama dalam masalah shalat;
b.Orang yang paling baik dan fasih bacaannya;
c. Orang yang paling banyak hafalan al-Qur’annnya;
d.            Tidak sedang bermakmum kepada orang lain;
e. Bukan perempuan atau khuntsa (banci), jika makmumnya laki-laki atau khuntsa;
f. Orang  yang paling wara’, yaitu orang yang paling baik akhlaknya, adil, dan bukan orang fasiq;
g.Lebih tua dari jama’ah lainnya.

2.      Syarat untuk makmum
a. Niat mengikuti imam (berjama’ah);
b.Tidak meyakini batal shalat imam;
c. Mendengar atau melihat imam dan atau melihat gerakan shaf terdekat;
d.            Tidak mendahului atau mengakhirkan diri dari imam dengan dua rukun fa’ly, kecuali jika ada uzur;
e. Tidak terlalu depan dari imam;
f. Tidak ada penghalang antara imam dan makmum;
g.Tidak terlalu jauh dari imam, jika keduanya tidak dalam satu bangunan;
h.Tidak ada perbedaan antara imam dan makmum dalam gerakan shalat.[13][13]
                        Jika imam lupa, maka makmum harus memberitahu imam dengan cara mengucapkan kalimat tasbih bagi makmum laki-laki, dan bertepuk tangan bagi makmum perempuan.
                        Jika imam batal, maka salah seorang makmum maju ke depan untuk menggantikan imam.
                        Jika datang terlambat, maka makmum akan menjadi masbuq yang boleh mengikuti imam sama seperti makmum lainnya, namun setelah imam salam, masbuq menambah jumlah rakaat yang tertinggal. Jika ia mendapatkan ruku’ bersama imam walaupun sebentar maka ia mendapatkan satu raka’at. Jika masbuq adalah makmum pertama, maka ia menepuk pundak imam untuk mengajak shalat berjama’ah.
                       
E.     Keutamaan Shalat Berjama’ah
1.      Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian, dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim) 
2.      Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Shalat seseorang dengan berjama’ah itu dilipatkan dua puluh lima kali lipat atas shalat sendiri yang dikerjakan di rumah atau di pasar. Hal itu apabila ia berwudhu dengan sempurna, kemudian keluar menuju ke masjid dengan niat hanya untuk shalat, maka setiap kali ia melangkah, derajatnya dinaikkan dan kesalahan (dosa)nya diturunkan. Lali ketika ia melakukan shalat, malaikat senantiasa memohonkan ampun dan rahmat untuknya, selama ia masih tetap berada di tempat shalatnya dan tidak berhadas. Malaikat berdoa: “Ya Allah ampunilah dia Ya Allah rahmatilah dia.” Dan tetap dianggap berada dalam shalat (mendapat pahala seperti itu), selama ia menanti shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)  
3.      Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Ada seorang buta datang kepada Nabi saw. dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang menuntun saya untuk datang ke masjid,” kemudian ia minta keringanan kepada beliau agar diperkenankan shalat di rumahnya, maka beliau pun mengizininya,  tetapi ketik ia bangkit hendak pulang, beliau bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengar azan?” ia menjawab: “Ya” Beliau bersabda: “Kamu harus datang ke Masjid.” (HR. Muslim)  
4.      Dari Abdullah, ada yang memanggilnya dengan Amar bin Qais yang terkenal dengn Ibnu Ummi Maktum ra. (muazin) bahwasanya ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah ini banyak hal-hal yang membahayakan dan binatang buas.” Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar: HAYYA ‘ALASH SHALAAH HAYYA ‘ALAL FALAAH, maka kamu harus mendatanginya.” (HR. Abu Dawud)  
5.      Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Demi Zat yang menguasaiku. Sungguh aku benar-benar pernah bermaksud menyuruh mengumpulkan kayu bakar. Kemudian aku memerintah shalat dengan mengumandangkan azan lebih dulu. Lalu aku menyeruh seseorang mengimami orang banyak. Kemudian aku pergi ke rumah orang-orang yang tidak memenuhi panggilan shalat, lalu aku bakar rumah- rumah mereka dengan mereka sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim) 
6.      Dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata: “Barangsiapa merasa senang apabila bertemu Allah Ta’ala besok (pada hari kiamat) dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat pada waktunya, ketik mendengar suara azan. Sesungguhnya  Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi Muhammad saw. jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian melakukan shalat itu di rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi, pasti kalian sesat. Aku benar-benar melihat di antara kita tidak ada yang meninggalkan shalat jamaah, kecuali orang-orang munafik yang benar-benar munafik. Sungguh pernah terjadi seorang lelaki diantar ke masjid, ia terhuyung-huyung di antara dua orang, sampai ia diberdirikan dalam shaf (barisan shalat).” (HR. Muslim)  
Dan di dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullah saw. telah mengajarkan jalan-jalan petunjuk yakni shalat di masjid yang terdengar azannya. 
7.      Dari Abu Darda’ ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila di suatu desa atau kampung terdapat tiga orang, dan di situ tidak diadakan shalat jamaah niscaya mereka telah dijajah oleh setan. Oleh karena itu hendaklah kamu sekalian selalu mengerjakan shalat dengan berjama’ah sebab serigala itu hanya menerkam kambing yang jauh terpencil dari kawan-kawannya.” (HR. Abu Dawud)[14][14] 
              
F.       Anjuran Berjama’ah Shalat Subuh Dan Isya’[15][15]
1.      Dari Utsman bin Affan ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang shalat Isya' dengan berjama’ah, seolah-olah ia mengerjakan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh dengan berjama’ah seolah-olah ia mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR. Muslim)  
Dan di dalam riwayat Turmudzi ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Isya' dengan berjama’ah, maka ia dianggap mengerjakan shalat setengah malam, dan barangsiapa mengerjakan shalat Isya' dan Subuh dengan berjama’ah, maka ia dianggap mengerjakan shalat semalam suntuk.” (HR. Turmudzi) 
2.      Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya manusia mengetahui keutamaan shalat Isya' dan Subuh tentu mereka mendatangi keduanya (berjama’ah), walaupun dengan merangkak.” (HR. Bukhari dan Muslim)  
3.      Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik melebihi shalat Subuh dan Isya'. Seandainya mereka mengetahui keutamaan kedua shalat itu, niscaya mereka mendatangi keduanya (berjama’ah), walaupun dengan merangkak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

G.    Keutamaan Shaf Pertama
1.      Dari Jabir bin Samurah ra., ia berkata: Rasulullah saw. keluar kepada kami dan bersabda: ‘Tidakkah kalian ingin bershaf (berbaris) sebagaimana shaf malaikat di hadapan Tuhannya?” Rasulullah saw. bersabda: “Mereka menyempurnakan shaf-shaf pertama dan berapat-rapat di dalam shaf.” (HR. Muslim) 
2.      Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala mendatangi azan dan shaf pertama, kemudian untuk mendapatkannya harus diundi niscaya mereka mau mengadakan undian.” (HR. Bukhari dan Muslim)  
3.      Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Shaf kaum lelaki yang paling baik adalah yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf terakhir, sedangkan shaf kaum wanita yang paling baik adalah shaf terakhir dan yang paling jelek adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)  
4.      Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra. bahwasanya Rasulullah saw. melihat para sahabat mundur ke belakang, maka beliau bersabda: “Majulah kalian! Makmumlah kalian kepadaku dan hendaklah makmum kepada kalian orang-orang yang datang sesudah kalian. Tak henti-hentinya suatu kaum datang terlambat, sampai Allah mengakhiri mereka.” (HR. Muslim)  
5.      Dari Abu Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. mengusap- usap bahu kami ketika kami sedang shalat serta beliau bersabda: “Ratakan barisan kalian dan jangan berselisih yang menyebabkan hati kalian berbeda. Harap dekat denganku, di antara kalian yang sudah baligh dan berakal, kemudian orang-orang yang di bawahnya (seperti anak-anak yang sudah tamyiz/pintar), kemudian yang di bawahnya.” (HR. Muslim)  
6.      Dari Anas ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:”Ratakanlah shaf-shaf kalian! Sebab, meratakan shaf itu termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)  
Dan di dalam riwayat Bukhari dikatakan: “Sesunguhnya meratakan shaf itu termasuk menegakkan shalat.”  
7.      Dari Anas ra., ia berkata: Ketika iqamat untuk shalat dikumandangkan, Rasulullah saw. menoleh kepada kami dan bersabda: “Ratakanlah shaf-shaf kalian dan merapatlah! Karena, aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” (HR. Bukhari)  
Dan di dalam riwayat lain dikatakan: “Kemudian masing-masing dari kami meluruskan bahunya dengan bahu kawannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki kawannya.” (HR. Bukhari)   
8.      Dari An Nu’man bin Basyir ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Hendaknya benar-benar diratakan shaf-shaf kalian, atau Allah betul-betul mengganti wajah-wajah kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)  
9.      Dalam riwayat Muslim, bahwasanya Rasulullah saw. meluruskan shaf kami sehingga seakan-akan beliau meluruskan anak panah, sampai beliau berpendapat bahwa kami sudah sadar. Pada suatu hari beliau keluar dan langsung berdiri, ketika beliau hendak takbir ada seseorang yang dadanya menonjol tidak lurus dalam barisan itu, kemudian beliau bersabda: “Wahai hamba Allah, kamu seklian harus meluruskan barisanmu atau Allah akan menyelisihkan di antara kamu sekalian.”  
10.  Dari Al Barra’ bin Azib ra., ia berkata: Rasulullah memasuki sela-sela shaf sambil mengusap dada dan bahu kami, serta bersabda: “Janganlah kalian berbengkok-bengkok, karena hatimu nanti akan berselisih.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mengaruniakan rahmat, dan malaikat memohonkan rahmat untuk orang-orang yang berada pada shaf pertama.” (HR. Abu Dawud) 
11.  Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah bahu-bahu kalian, tutuplah lobang-lobang shaf kalian dan janganlah kamu biarkan renggang shafmu karena akan ditempati setan. Barangsiapa yang mempertemukan shaf maka Allah akan mempertemukannya, dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya.” (HR. Abu Dawud)  
12.  Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Rapatkanlah shaf-shaf kalian dan berdekat-dekatlah kalian serta luruskanlah leher kalian. Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh aku melihat setan-setan itu masuk di sela-sela barisan seperti kambing yang hitam lagi kecil.” (HR. Abu Dawud) 
13.  Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Sempurnakanlah shaf terdepan kemudian shaf yang berada di belakangnya. Apabila ada yang tidak penuh maka hendaklah pada shaf yang paling belakang.” (HR. Abu Dawud)  
14.  Dari ‘Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan rahmat dan malaikat memohonkan kepada orang-orang yang berada pada shaf sebelah kanan.” (HR. Abu Dawud) 
15.  Dari Al Barra’ ra., ia berkata: “Apabila kami shalat di belakang Rasulullah saw. maka kami suka pada sebelah kanannya, karena beliau menatap kami dengan wajahnya, sehingga saya mendengar beliau berdoa: ROBBI QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB’ATSU AU TAJMA’U ‘IBAADAKA (Ya Tuhan, hindarkan aku dari siksa-Mu pada hari Kau bangkitkan atau Kau kumpulkan hamba-hamba-Mu).” (HR. Muslim) 
16.  Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tempatkanlah imam itu di tengah-tengah dan tutuplah sela- sela shafmu.” (HR. Abu Dawud)[16][16]


KESIMPULAN  DAN SARAN



A.    Simpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat mengemukakan simpulan sebagai berikut.
1.      Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, seorang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum.
2.      Sholat seorang bersama seorang lebih baik daripada sholatnya sendirian, sholat seorang bersama dua orang lebih baik daripada sholatnya bersama seorang, dan jika lebih banyak lebih disukai oleh Allah 'Azza wa Jalla.
3.      Shalat berjama’ah bagi orang-orang lelaki merdeka dalam setiap shalat fardlu selain shalat Jum’at adalah Sunnah Muakkadah.
4.      Syarat-syarat dalam shalat berjama’ah antara lain, seorang imam adalah seseorang yang paling adil dan fasih bacaan al-Qur’annya. Sedangkan seorang makmun haruslah mengikuti gerakan imam tanpa mendahuluinya.
5.      Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian.
6.      Mengerjakan shalat Isya' dan Subuh dengan berjama’ah, dianggap mengerjakan shalat semalam suntuk.
7.      Meratakan dan merapatkan shaf itu termasuk menyempurnakan shalat. Sebaik-baiknya shaf untuk laki-laki adalah shaf pertama dan yang terjelek adalah shaf terakhir. Sebaliknya bagi perempuan, sebaik-baiknya shaf adalah shaf terakhir dan yang terjelek adalah shaf pertama.

B.     Saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan saran sebagai berikut.
1.     Kita hendaknya menguasai konsep shalat berjama’ah yang baik dan benar.
2.     Kita hendaknya menerapkan konsep shalat berjama’ah yang baik dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA





Alqur’an Digital App
Artikel islam. (2010) makna shalat berjama’ah. [online]. Tersedia: http://1artikelislam.blogspot.com/2010/02/makna-shalat-berjama’ah.html. [22 september 2013]
Bulughul Maram App
Fath al-Qarib
FKDT KAB. TSM. (2012). Diktat Bahan Ajar Diniyah Takmiliyah Awaliyah Fiqh Kelas 2, Tasikmalaya: tidak diterbitkan.
FKDT KAB. TSM. (2012). Diktat Bahan Ajar Diniyah Takmiliyah Awaliyah Fiqh Kelas 3, Tasikmalaya: tidak diterbitkan.
Rifa’I, N.H. Tata Cara Shalat Lengkap. Jombang: Lintas Media
Riyadhus shalihin jilid 1 dan jilid 2 [Indonesia version]
Abdillah, Syamsuddin. (2010). Terjemah Fathul Qarib, Surabaya: Mutiara Ilmu
Tersedia: Tanbihun.com [22 september 2013]





MAKALAH
ADZAN, IQOMAH DAN SHALAT BERJAMAAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Pelajaran Fiqih







Disusun Oleh :
Kelompok : II ( Dua ) Kelas : VII – A
Ketua : Sifa Damayanti
Wakil Ketua : Fajar
Anggota :     M. Silmy Kaffa
Putri
Nayla
Amiya
Dicky
Mahfud
Alvia
Rini
M. Khoirul R


MADRASAH TSANAWIYAH   CIPASUNG
SINGAPARNA – TASIKMALAYA
2014


[1][1] Modul Fiqh DT, kelas 2
[2][2] Belum mencapai usia 7 tahun, belum bisa membedakan yang salah dan yang benar
[3][3] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
[4][4] Shalatlah dengan berjama'ah.
[5][5] Maksudnya: jika dibacakan Al Quran kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjama’ah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran.
[6][6] Bulughul maram, hadits no. 447
[7][7] Bulughul maram, hadits no. 422
[8][8] Nama aslinya yaitu Al-Imam Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim bin Fadhal al-Quzwaini. Beliau termasuk mujtahid fatwa . Wafat pada tahun 623 H. (Thabaqat al-Shafi’iyah: 182).
[9][9] Nama lengkapnya Al-Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi. dilahirkan pada tahun 630 H. di Nawa sebuah negeri dekat Damaskus Sirian, dan wafat tahun 676 H. (Thabaqat al-Shafi’iyah: 201)
[10][10] Syaihul Imam Abu Thayyib atau Abu Syuja’ Shihabul Millah waddin, Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Asfahani. Beliau lahir tahun 433 H. di Asfahan, Persi dan wafat di Madinah tahun 593 H. dalam usia 160 tahun dan dikubur dekat “Pintu Jibril” masjid Nabawi di Madinah (al-Bajuri: I/9-10)
[11][11] Al-Imam Ahmad bin Hambal lahir tahun 780 M. dan wafat tahun 855 M. Beliau seorang ulama besar pernah dipenjara selama 15 tahun, karena tragedi “Al-Qur’an Mahluk” oleh kaum Mu’tazilah di Irak dan salah satu murid Imam Shafi’I yang menjadi mujtahid muthlaq (al-Thabaqat al-Kubra: I/54-56)
[12][12] Tanbihun.com
[13][13] Modul Fiqh DT kelas 3
[14][14] Riyadhus shalihin Hal. 365-367
[15][15] Riyadhus shalihin
[16][16] Riyadhus shalihin hal. 370-372

Tidak ada komentar:

Posting Komentar