SYARAH
HADITS WALI
Penulis:
Ustadz Ali Musri, M.A.
Mahasiswa
Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, sholawat dan salam buat Nabi terakhir yang
membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga
terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap
berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
TERJEMAHAN
HADITS:
“Dari
Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu
‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yang
memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan
tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang
lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa
seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga
Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang
ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai
kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu
pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku
akan melindunginya”.
Hadits
ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
Hadits
ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam
meriwayatkannya langsung dari Allah, adapun perbedaan antara hadits Qudsi dengan
hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah
bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits
biasa lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian apa perbedaan antara hadits Qudsi dengan Al Qur’an? Karena keduanya
sama-sama datang dari Allah baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama
menyebutkan: perbedaanya adalah Al Quran mendapat pahala dalam segi membaca dan
hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat pahala dengan memahami dan
mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan
tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang
akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa ilmu. WAllahu a’lam bissawaab.
Sahabat
yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam adalah
Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari
Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin
Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H. dan
meninggal dunia pada th 57 H.
Mengapa
beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?
Pertama,
berkat doa nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang
ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua,
ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya
kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain
Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az
Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Tholhah
bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian?
Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan
sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia
mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan
menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan
pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi
dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu
dipintu rumah Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama
tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami
tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan
tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah shalAllahu
‘alaihi wa sallam.”
Abu
Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita
seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah pada
saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal
bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah
istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji
bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu
(demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau.
KANDUNGAN
HADITS
Hadits
di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
PERTAMA:
TENTANG AL WALA’ WAL BARA’ (LOYALITAS DAN BERLEPAS DIRI).
Dalam
potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku
maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi
dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena
urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama
tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah
dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan
sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki
kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat
kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah
terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena
ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin
dan jamal.
Adapun
kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah
merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam,
sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu bid’ah kepada Ahlussunnah, atau
kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula
setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar dikalangan umat
manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh
tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali
Allah adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang
berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi
dan rasul yaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang rafidhah
mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk
tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.
Imam
As Sya’bi mengungkapakan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah
melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: ”Bila engkau
bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan
menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang
nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi
bila engakau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa generasi yang terburuk
dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat Muhammad.”
Oleh
sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata, “Sebetulnya Mereka itu ingin
membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin
mencela orang yang menyampaikan Al Quran dan sunnah supaya bisa membatalkan Al
Quran dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela,
Mereka itu adalah orang-orang zindiq.”
Cara
ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah
sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi
cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar disetiap tempat dan
disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau
pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila
generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan
ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau
meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam
dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasehat para
ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkam kepada mereka.
Sekarang
kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali
Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang
berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia
telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan
senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju
jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang
suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, adapula yang
berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan
banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan
satu persatu disini.
Pengertian
Wali
Wali
secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian
sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi
bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman
lagi bertaqwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama
adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang
paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara
Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali
Allah tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana
mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah.
Maka
dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan:
Golongan
Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang
dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah)
serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib.
Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri
kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Golongan
Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan
hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan
hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana
yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: “Dan tidaklah seorang hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa
yang telah Aku wajibkan kepadanya”.
Kedua
golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya:
“Adapun
jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh
ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk
golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah:
88-91).
Kemudian
para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua
bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis
wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar
menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila
amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali
setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-ciri
Wali Allah
Allah
telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya
para wali-wali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih.
Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Ciri
pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh
berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan
tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang
pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua
kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid
tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara
dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah
sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah
benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari
kiamat bahwa Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul
dan nabi.
Ciri
kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi
apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu
melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan
sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia
meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua
yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan
oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir,
dll.
Ciri-Ciri
Wali Setan
Adapun
ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari
melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya
adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah.
Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada
orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung
membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana
Allah terangkan dalam firmanNya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para
wali-wali mereka:
“Sesunguhnya
setan-setan itu mewahyukankan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika
kamu mentaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”.
(Al An’aam: 121).
Sesungguhnya
menghormati wali bukanlah dengan berdo’a di kuburannya, justru ini adalah
perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan
Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Allah dengan
kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali
kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu
hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi
untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan
berbondong-bondong kekuburan nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam saat Mereka
kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru
sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum
muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib
berdoa, karena kedekatannya dengan nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi
shalAllahu ‘alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa
disamakan dengan kehidupan di alam dunia.
Kemudian
bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan
memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang
amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar
dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak
mengikari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah
kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama
empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau
mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau
melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat
berjama’ah dan shalat jum’at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari
karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau
meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at.
Banyak
orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar
biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan
atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta
oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan
diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang
hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal
yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah amalanya sehari-hari menurut
sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i: “Bila kamu melihat
seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya
dengan sunnah”.
Karena
setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberitahu para walinya
sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang
diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum
musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu
adalah suara syetan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh
orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya
adalah atas tipuan setan.
Sebagaimana
yang diriwayatkan dalam kisah seorang nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang
mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang
berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku
diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar,
kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah:
“Maukah
kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap
pendusta yang banyak dosa “. (Asy Syu’araa: 221-222). Dan yang lain membaca
firman Allah, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali
Mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).
Oleh
sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai
ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an dan Sunnah. Karena nabi shalAllahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya dalam diri
anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”. (HR. At
Tirmizy no: 2988).
Berkata
Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di
hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua
saksi dari kitab dan sunnah”.
Beberapa
kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:
1.
Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala kesalahan,
sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
Banyak
orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian
kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi
kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat
tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal
menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah
adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Pemahaman
seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi
ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana
pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah) dan sebagian dari orang-orang sufi.
Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kiyai atau sang guru dan
membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun
perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al Quran dan Sunnah.
Bahkan
dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya
ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya
berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan
kesesatan mereka.
2.
Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Bentuk
kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka
mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak
ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah
tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi
tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam
menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi
yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah
berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah
engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih
condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa
banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali
tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam
sebagai hamba yang paling mulia disisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai
onta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju
besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat
mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi
sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada
ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam
kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah
lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama
salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa
bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu
pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan
mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula
bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan
memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang lain.
3.
Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Bentuk
kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka
dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan
firman Allah, “Di sisiNya (Allah) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang
dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (Al An’aam: 59). Dan firman Allah,
“Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui
hal yang ghaib kecuali Allah”. (An Naml: 65).
Termasuk
para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali
sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada mereka. Sebagaimana firman Allah
kepada Nabi kita shalAllahu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah: Aku tidak
mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rezki Allah, dan akupun
tidak mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50). Dan firman Allah:
“Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak)
mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan
(memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa
kejelekkan”. (Al A’raaf: 188).
Asumsi
sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga
Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau
meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan
tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada
makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh
kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah.
Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan
menyampaikan doa Mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin
sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmannya: “Ingatlah milik Allah-lah
agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung)
selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (Az Zumar: 3).
KEDUA:
BAGAIMANA MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH.
Hal
tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa
yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan
diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Manhaj
yang benar dalam beribadah
Dalam
hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan
yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan
ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai
dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam)
tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji
sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk
bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling
dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri
Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari
pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena
mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Yang
lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada
dasarnya (amalan bid’ah), seperti maulid atau memperingati tahun baru hijriah,
atau nuzulul Qur’an atau Isra’ mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat
melakukan acara-acara bid’ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan
sholat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan
negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan
pondasi Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak
semata tampa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan
memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid
sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah
tujuan utama dawah para rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah
tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shalAllahu ‘alaihi
wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya.
Oleh sebab itu Imam Malik berpesan: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini
kecuali dengan apa yang telah membuat jaya generesi sebelum Mereka”.
Beberapa
kesalahan dalam melakukan ibadah.
Diantara
kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus
kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu
kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh
sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu
tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki
ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana
pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya
bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Allah
pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An
Nahl: 43).
Kalau
para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakultas teknik yang
para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya,
tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam agama, padahal baca al
fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar gadungan sekarang dalam
mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan, dan lebih sangat aneh
kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita
pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada
siapa saja yang tidak tau dari mana rimbanya. Allah telah berfirman:
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta
pertanggung jawabannya”. (QS Al Israa: 36).
Sebaliknya
adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa
sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang tersebut akan
mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang
yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu
kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang
mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi
aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya”.
Na’uzubillah min hadza haal. Allah telah berfirman: “Apakah kamu menyuruh
manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca
Al kitab taurat), apakah kamu tidak memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).
Oleh
sebab itu kita berlindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari 17 X
dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal.
“Ya
Allah tujukilah kami Jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah
engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi
dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al Fatihah: 6-7).
Ayat
ini ditafsirkan oleh nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang
dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui kebenaran tapi
tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat
adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.
Keutamaan
melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian
diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan
dari Allah adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang
terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah
dicintai Allah maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits
lain bila Allah telah mencintai seseorang, Allah memanggil Jibril dan
memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Allah menyuruh jibril
untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa
Allah mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Allah
menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim
no: 2637).
Kemudian
diantara keutamaan amalan sunnah adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang
punya nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan amalan sunnah perlu
pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya kita mulai yang lebih utama
dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam shalat umpamanya setelah sunnah rawatib
shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi
amalan tersebut, seperti saat mendengar adzan yang afdhol adalah menjawab azan,
bukan membaca Al Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Begitu
pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan
membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku adil dan amanah
dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing
melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai dengan aturan Islam serta
menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka disini kita perlu menuntut
ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.
KETIGA:
TENTANG SIFAT ALLAH AL KALAM (BERBICARA) DAN AL MAHABBAH (CINTA).
Hal
tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan
diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Kaidah
umum dalam beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah.
Dalam
mengimani sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah
perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al
Quran dan Hadits:
Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan
nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang shohih.
Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah
tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat
sifat-sifat tersebut.
Penjelasan
kaedah-kaedah tersebut sebagai berikut;
Bila
kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al
Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam,
setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi
shalAllahu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata:
kami beriman dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan
mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara yang demikian”. (An Nisaa:
150).
Dan
firman Allah lagi: “Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir
dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian
kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan
dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Allah tidak pernah lengah dari
apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
Kaedah
pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang
sifat-sifat Allah adalah sebatas adanya nash dari Al Qu’an atau dari sunnah
yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil
ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah.
Bila
seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari Allah dan
rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia merubah maksud dari
perkataan Allah dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum Yahudi yang suka
merubah dan memutarbalik perkataan Allah dan rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi
oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).
Begitu
pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk,
berarti ia menyerupakan Allah yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba
kurang. Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk adalah kafir. Karena tiada
satupun makhluk yang meyerupai Allah. Sebagaimana firman Allah:
“Tiada
sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (Asy Syura: 11).
Dan
firman Allah: “Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Allah”.
(An Nahl: 74).
Begitu
pula orang yang mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Karena
Allah itu gaib bagaimana akan bisa mengetahui hakikat sifatnya. Tiada yang
mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu sendiri. Sebagai
contoh sederhana bahwa akal manusia tidak bisa mengetahui hakikat sesuatu yang
amat dekat denganya yaitu nyawa (ruh) manusia itu sendiri, tidak ada seorangpun
yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada.
tetapi mereka tidak mampu mengetahui hakikatnya.
Jadi
dalam sifat Allah kita dituntut untuk beriman atas keberadaan sifat tersebut,
bukan ditunutut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Karena setiap sifat
hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama seperti
kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki
manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayab burung tidak
serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayab burung dan sayap pesawat tidak
sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahwa hakikat setiap sifat
sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama makhluk saja tidak sama
sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang Maha Sempurna, tentu pasti
tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan dan kelemahan. Allah
mendengar tapi pendengarnya tidak seperti pendengaran makhluk, pendengarannya
sesuai dengat zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengar Allah Maha Sempurna dari
segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang
makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding. Begitulah kesempurnaan
sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara. Ada orang
yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya tenggorokan, kemudian
karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut. Pertama ia
menyurupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia lari kepada
takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti dari semula
bahwa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu ia tidak
perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tampa mesti memiliki
lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam sewaktu beliau di Makkah. Begitu pula nanti
diakhiratrkepada nabi tangan dan kaki
manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan Mereka tampa ada mulut dan
lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat
sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.
KEEMPAT:
PENGARUH KETAATAN TERHADAP PRILAKU SEORANG MUSLIM.
Hal
tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan
diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku
mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar,
dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya
yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan”.
Kata-kata
“senantiasa” menunjukkan bahwa amalan tersebut berkesenambungan yang lebih
dikenal dalam istilah syar’i “Istiqomah” dalam melakukan amalan-amalan
tersebut. Oleh sebab itu dalam hadits lain disebutkan: “Sebaik-baik amal adalah
yang selalu dilakukan sekalipun sedikit”. Tapi sebagian orang sering melakukan
amalan pada suatu saat saja, kemudian lalu ditinggalkan.
Maksud
hadits ini adalah bila seseorang istiqomah dalam melakukan amalan-amalan
sunnah, ia mendapat pringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh
peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan
berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan ‘inayah kepadanya
untuk melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata seseorang tersebut
terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu yang diharamkan
Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno, dsb. tetapi
dipergunakannya kepada hal yang bermamfaat baik untuk kehidupan dunia maupun
kehidupan akhirat, seperti membaca Al Qur’an atau membaca buku-buku agama dan
buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, tenik, pertanian dst. Kemudian Allah
juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan
nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakanya untuk kemaslahatan duniawi atau
kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasehat agama atau pelajaran di
kampus dan disekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan
sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaaan,
KKN dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan
hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat
kita simpulkan disini bahwa amal sholeh dapat menuntun seseorang kepada segala
hal yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari ketejerumusan kepada
kemaksiatan.
Sebaliknya
orang yang lengket hatinya kepada maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam
kemaksiatan tersebut.
Sebagaimana
firman Allah: “Maka tatkala Mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan
betul hati Mereka”. (Ash shaaf: 5).
Hal
ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda beliau: “Sesungguhnya kejujuran
menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukan kepada surga.
Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku jujur hingga dicatat di sisi Allah
sebagaia orang yang paling jujur. Dan sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada
kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu menunjukan kepada neraka,
sesungguhnya seseorang senantiasa berbohong sampai dicatat di sisi Allah
sebagai seorang yang paling bohong”. (HR. Bukhary no: 5743, dan Muslim no:
2607).
Dalam
hadits lain: “Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu
sendiri”.
Maka
jika amalannya baik, maka balasanya pun baik dan sebaliknya bila amalan
tersebut jelek maka balasannyapun jelek. Oleh sebab itu sebagian ulama
mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal shaleh adalah amal shaleh yang
mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan diterima disisi
Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh keta’atan.
Kekeliruan
orang sufi dalam memahami makna hadits ini.
Sebagian
orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari
orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan,
pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas
sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah.
Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya
akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau
tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau
penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!.
Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan
seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan
sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula
sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah.
Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba
dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah
kekafiran yang amat nyata.
Tentu
akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan
yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan
paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau
menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah
oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua
faktor yang saling berhubungan:
Seperti
yang terdapat di penghujung hadits bahwa Allah berkata: “Dan jika ia meminta
(sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan
dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Jadi
jelas ada disana dua pelaku yaitu hamba yang meminta dan Allah yang
memperkenangkan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon perlindungan
dan Allah yang memberi perlindungan kapadanya. Oleh sebab itu telah berkata
sebagian ulama: Bila seseorang bedalil untuk kebatilannya dengan Al Qur’an atau
hadits shohih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri sudah ada jawaban
untuk menunjukkan kebatilannya.
Manhaj
ulama dalam memahami nas-nas yang mutsyabih (meragukan).
Perlu
pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu
dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah
mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas
pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila
Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang
meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
KELIMA:
BALASAN YANG DIBERIKAN ALLAH UNTUK ORANG YANG SELALU TAAT PADA ALLAH.
Hal
tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti
Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan
melindunginya”.
Dari
potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa para wali itu hanya berdoa dan
memohon perlindungan hanya kepada Allah. Bukan kepada para wali, begitu pula
wali yang mendapat kedudukan yang terhormat disisi Allah bukanlah tempat untuk
meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan dari mara
bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam yang tertipu
oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret mereka berbuat syirik kepada
Allah. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa mendatangkan kebaikan maupun
menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas pemberian Allah kepadanya.
Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Allah dalam berdoa, karena bila
menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti telah menyekutukan mereka
dengan Allah. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh ‘alaihissalam yang telah
menjadikan orang-orang sholeh mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa
kepada Allah.
Akhir
hadits ini juga menerangkan keutamaan wali Allah, bahwa Allah selalu
mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut serta selalu menjaganya
dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam
benak kita kenapa kita melihat kadangkala para wali Allah itu juga ditimpa
kejelekkan dan penyakit seperti nabi Ayub yang ditimpa penyakit begitu pula
Nabi kita Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam pernah kalah dan cedera dalam
perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa baik ditingkat para nabi
dan rasul maupun ditinggkat para sahabat dan Tabi’iin?. Jawabannya adalah
sebagaimana berikut:
Diantara hikmahnya adalah untuk menunjukkan
bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat
ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
Diantara hikmahnya juga adalah untuk
mengangkat derajat mereka di sisi Allah, sebagai balasan atas kesabaran mereka
dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi
shalAllahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Bahwa seseorang itu akan diberi
cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya”. (HR. At Tirmizy no: 2398).
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang
tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya.
Diantara hikmahnya lagi adalah untuk
menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak
Allah, dan tidak ada sedikitpun campur tangan seorang pun dari makhluk,
sekalipun ia nabi atau wali.
Kekeliruan
sebagian orang dalam masalah berdoa.
Ada
beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte
sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa
segalanya telah ditakdirkan Allah, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah
ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan
paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Pertama:
Berdoa merupakan perintah dari Allah, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir
tentu Allah tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.
Kedua:
Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan
rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa
sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu
Mereka tidak akan melakukannya apa lagi menganjurkannya.
Ketiga:
Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang
agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya
ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Keempat:
Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Allah ada dua: Takdir
kauniyah dan takdir syar’iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:
Takdir
kauniyah adalah ketentuan Allah yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi
tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Allah. Adapun
takdir syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Allah yang
diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang
dicintai Allah. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir
kauniyah dengan takdir syar’iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama.
Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khatab: “Kita lari dari takdir
Allah kepada Takdir Allah”. Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu
menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak
akan mencari padang rumput yang subur?.
Kelima:
Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Allah untuk dilakukan, sebagaimana
makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab berarti
ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata
adalah syirik.
Kemudian
diantara kesalahan lain dalam berdo’a adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu
melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa agar Allah menjadikan gunung kelud
jadi gunung emas, atau berdoa agar Allah memberinya keturunan tanpa menikah dan
yang seumpamanya. Maka diantara sikap wali Allah adalah tidak meninggalkan
berdoa dan tidak pula ekstrim dalam berdoa.
Ringkasan
kandungan hadits wali:
Hadits
diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan
berlepas diri).
Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah.
Tentang sifat Allah ; Al Kalam (berbicara)
dan Al Mahabbah (cinta).
Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang
muslim.
Balasan yang diberikan Allah untuk orang
yang selalu taat pada Allah.
Hadits diatas juga memberikan support
secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Allah atau menjadi
penolong wali Allah yang hak.
Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu
kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Allah karena tidak akan
mungkin seseorang menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah sementara
ia juga berloyalitas kepada musuh Allah atau kepada musuh para wali Allah. Ini
sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum
menjadikan Allah sebagai wali karena ia mencintai apa yang dibenci Allah.
Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.
WAllahu
A’lam bisshawaab
Selawat
dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan
para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk
mereka sampai hari kiamat.
Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang
berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Sumber:
http://muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar