BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Filsafat merupakan kegiatan olah fikir yang sangat mendalam
terhadap suatu persoalan kecil yang dianggap penting oleh seseorang, yang
mungkin dianggap sebagai hal yang tidak penting oleh orang lain dan mungkin
tidak dapat memberikan kontribusi secara langsung dalam kehidupan seseorang.
Dalam tahap perkembangannya, filsafat sering mencapai pasang surut
sesuai
masanya. Ada kalanya filsafat mendapatkan tempat yang cukup tinggi di suatu
peradaban masyarakat, namun ada kalanya pula filsafat diabaikan, tidak dianggap
keberadaannya, bahkan sampai mati sama sekali, dan dapat kembali muncul berkat
perjuangan dan pemikiran para filsuf yang berperan sangat besar untuk
perkembangan filsafat tersebut. Dalam perkembangannya, ada banyak tokoh yang
mengikuti suatu aliran filsafat tertentu serta ide yang dicetuskannya, dan
sebagian tokoh dan idenya tersebut akan dipaparkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ALIRAN FILSAFAT, TOKOH DAN
IDENYA
1 Filsafat pada Masa Yunani Kuno.
Pada masa Yunani Kuno, perkembangan filsafat diibaratkan bagai
gunung-gunung dan mata air. Filsafat (akal) mendapatkan tempat yang sangat
tinggi dan mengalahkan agama.
2 Filsafat Socrates
Pada masa Yunani Kuno, akal mendapatkan tempat yang paling tinggi
mengalahkan agama dan segalanya, sehingga manusia pada zaman tersebut hidup
tanpa suatu pegangan apapun. Hal ini dapat terbukti dari:
a. Kekacauan kebenaran, karena tidak ada ukuran umum tentang suatu
nilai kebenaran.
b. Semua teori sains diragukan dan semua akidah dan kaidah agama
dicurigai..
c.Banyak muncul “pembela” kebenaran yang menjadi guru filsafat,
filosof dan hakim sehingga kekacauan semakin meluas.
3 Filsafat pada sekitar Tahun 0 Masehi
Sepeninggal Socrates, pemikirannya masih tetap bekerja. Pada tahun
0 Masehi, perkembangan Filsafat juga diibaratkan sebagai gunung-gunung dan mata
air. Ada dua tokoh penting pada masa ini, yaitu Plato dan Aristoteles.
4 Jaman Kegelapan, Dominasi
Gereja (Abad 12 s/d 13 Masehi)
Pada masa ini, perkembangan filsafat diibaratkan tertutup atau
mati. Tepat di pengujung zaman helenisme menjelang neo-Platonisme, filsafat
benar-benar kalah.
5 Abad 15 (Jaman Pengerahan)
rumusan yang dikemukakan oleh Saint Anselmus yaitu Credo ut
intelligan, tidak akan merugikan perkembangan filsafat jika wahyu yang
dijadikan acuan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis
6 Abad 16 (Awal Jaman
Modern)
Pada awal jaman modern ini, perkembangan filsafat diibartkan
sebagai sungai-sungai. Ada beberapa tokoh yang memberikan sumbangan sejarah
pada masa ini, antara lain Rene Descartes dan David Hume
7 Abad 17 s/d 18 (Jaman
Modern)
Pada masa ini, filsafat diibaratkan sebagai muara sungai.
8 Abad 18 s/d 19 (Jaman Pos
Modern)
Pada masa ini, perkembangan filsafat diibaratkan sebagai
pantai-pantai. Tokoh utama pada masa ini adalah Auguste Comte, yang merupakan
tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris
dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Pendiri
filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi
guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon, untuk memahami sejarah orang
harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses
perubahan.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi
filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang
semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini
diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud
adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan
gejala-gejala. Bagi Comte, untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan
metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini
mempunyai 4 ciri, yaitu metode ini diarahkan pada fakta-fakta, diarahkan pada
perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup, berusaha ke arah kepastian,
dan berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen, yang biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, serta
metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan. Menurut Comte, perkembangan
pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu; zaman teologis, zaman
metafisis dan zaman ilmiah atau zaman positif.
1) Pada zaman teologis ,
manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa
adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
2) Zaman metafisis atau tahap transisi. Tahapan ini menurut Comte
hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu
monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban
yang spekulatif, bukan dari analisa empirik.
3) Zaman positif, adalah
tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap
ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang
dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini
menghasilkan pengetahuan yang instrumental.
9 Pos Pos Modern (Power
Now)
Pada masa ini, perkembangan filsafat diibaratkan sebagai laut
dangkal. Ada beberapa pandangan yang sangat berpengaruh pada masa ini, antara
lain paham Pragmatism, Utilitarian, Capitalis dan Hedonisme.
a. Pragmatism
Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre Peirce
pada tahun 1839.
b. Utilitarian
Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat yang
berkembang sebagai kritik atas dominasi hukum alam.
c. Capitalis
Dalam perkembangan filsafat kapitalis, tokoh yang sangat berperan
adalah Karl Marx yang menyatakan beberapa hal penting terkait dengan
kapitalisme.
d. Hedonisme
Salah satu aliran aksiolgis dalam filsafat adalah Hedonisme.
Hedonisme erat kaitannya dengan Epicurus, karena dia yang menggagas hedonisme. Epicurus memiliki pandangan tentang agama dan
kesenangan atau kenikmatan, yaitu:
1. Pendapat Epicurus
tentang agama dan Tuhan
2. Pandangan Epicurus tentang kenikmatan:
10 Kehidupan Praktis
(Kontekstual)
Pada masa ini, perkembangan filsafat diibaratkan sebagai Laut
Dalam. Orang telah melakukan telaah secara mendalam tentang segala sesuatu yang
menarik di benak atau fikirannya
B.
Epistemologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan)
dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat,
karakter dan jenis pengetahuan. Topik
ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam
bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan
berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Metode-metode untuk
memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu
cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan
melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada
waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula
rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi.
Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi
yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai
sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa
yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian
bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme
mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri
barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai
dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam
pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah
Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu
sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan
diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai
pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya
tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang
gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut
empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada
pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri
terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi
adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa,
atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara
unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini
memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati
oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan
tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh
penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi
baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat,
intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan
pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam
beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh
melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi
sebagian saja-yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa
yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan
dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan,
barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang
senyatanya.
e. Dialektis
Yaitu tahap logika yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam
kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan.
Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari
satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling
kurang dua kutub
C. Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang
berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme
(Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang
mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur[1].
Ilmu di sini mengacu pada
kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal
budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang
dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Logika sebagai ilmu pengetahuan
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana obyek
materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek
formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
Logika sebagai cabang filsafat
Logika adalah sebuah
cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-pikirannya
serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba
membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi
yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai
cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai
cabang matematika. logika tidak bisa dihindarkan
dalam proses hidup mencari kebenaran
Dasar-dasar Logika
Konsep bentuk
logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan
(validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya.
Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan
antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika
silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah
contoh-contoh dari logika formal.
Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan
induktif.
Penalaran deduktif
Penalaran deduktif, kadang disebut logika deduktif adalah
penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan
deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi
logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak
valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika
dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya.
Contoh argumen deduktif:
- Setiap mamalia punya sebuah jantung
- Semua kuda adalah mamalia
- ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Penalaran induktif
Penalaran induktif, kadang disebut logika induktif—adalah
penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai
kesimpulan umum.
Contoh argumen induktif:
- Kuda Sumba punya sebuah jantung
- Kuda Australia punya sebuah jantung
- Kuda Amerika punya sebuah jantung
- Kuda Inggris punya sebuah jantung
- ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa ciri utama yang
membedakan penalaran induktif dan deduktif.
Deduktif
|
Induktif
|
Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar
|
Jika premis benar, kesimpulan mungkin benar, tapi tak pasti
benar.
|
Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya
secara implisit, dalam premis.
|
Kesimpulan memuat informasi yang tak ada, bahkan secara implisit,
dalam premis.
|
BAB III.
KESIMPULAN
Dalam perkembangannya, filsafat seringkali mengalami pasang dan
surut pada setiap periode. Masa pasang dan surut dalam tahap perkembangan
filsafat tersebut membuktikan bahwa filsafat sebagai kegiatan olah fikir, tidak
hanya tiba-tiba ada sebagai hasil pemikiran manusia sekarang, namun itu
merupakan hasil perkembangan olah fikir sejak zaman dahulu. Dari hasil
pemahaman perkembangan pasang surut filsafat sejak jaman yunani kuno hingga
jaman sekarang, dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa keberadaan filsafat
(akal) dan hati (agama) harus saling beriringan dan tidak saling
mengalahkan.kejayaan filsafat tanpa agama tidak akan membawa kehidupan yang
seimbang dalam masyarakat. Hal ini terbukti pada jaman yunani kuno dan awal
jaman modern. Demikian pula kemenangan agama tanpa filsafat juga tidak akan
membawa kedamaian. Hal ini terbukti pada masa abad ke 12/ 13 Masehi, dimana
kekuasaan didominasi kekuatan gereja. Jadi, peran filsafat dan agama secara
berimbang sangat diperlukan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang
seimbang dan damai.
MAKALAH
FILSAFAT UMUM
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu
Tugas Kuliah
Filsafat

DISUSUN
OLEH :
ISMA
PATIMATU SOLIHAT
FAK/JUR
: TARBIYAH / PAI
INSTITUT
AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA
– TASIKMALAYA

KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas
penulis ucakan kepada Allah STW, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa
menyelesaikan sebuah karya tulis filsafat berjudul " ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT EFISTIMOLOGI
DAN LOGIKA"
Saya menyadari bahwa masih
sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu saya
mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih
positif bagi kita semua
Tasikmalaya, Februari 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.
Latar Belakang............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 2
A.
Aliran – Aliran Filsafat ................................................................. 2
B.
Efistimologi..................................................................................... 5
C.
Logika............................................................................................. 8
BAB III KESIMPULAN........................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Bahm, Archie,
J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of
Values; 44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.
Bertens, K.,
1987., “Panorama Filsafat Modern”, Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.
Koento Wibisono
S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”,
Intan Pariwara, Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.
Koento Wibisono
S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian
Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta
p.3, 14-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar