BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku
yang secara sporadis tersebar di
sepanjang jazirah Arab. Setiap suku mempunyai fomat dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya.
Perbendaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku.
Perbedaan – perbedaan dialek itu membawa
konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qiraah)
dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qiraat itu sendiri, dengan
melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya sifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu,
Rasulullah s.a.w. sendiri membenarkan pelafalan al-Quran dengan berbagai macam qiraat.
Sesuai dengan
pemaparan di atas, kami tertarik untuk lebih memahami masalah qiraat dan
dijabarkan dalam sebuah dengan judul “QIRAAT AL-QURAN”
B. Perumusan Masalah
Agar penyusunan
makalah ini sesuai dengan judul yang telah ditetapkan, maka diperlukan
perumusan masalahnya. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Qiraat al-Quran?
2. Apa yang melatarbelakangi tumbulnya perbedaan Qiraat
al-Quran?
3. Berapa macamkah qiraat dalam al-Quran
4. Apakah urgensi mempelajari Qiraat al-Quran?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan kami menjadikan makalah
dengan judul di atas adalah sebagai berikut:
- Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Qur’an tentang Qiraat Al-Quran.
- Ingin mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi timbulnya perbedaan Qiraat al-Quran.
- Ingin mengetahui macam-macam Qiraat al-Quran.
- Ingin mengetahui urgensi mempelajari Qiraat al-Quran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraat
Dilihat dari segi bahasa Qiraat merupakan kata jadian (masdar)
dari kata kerja qaraa (membaca),
sedangkan berdasarkan pengertian etimologi
(istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama.
a.
Menurut A-Zarqani
مَذْهَبٌ
يَذْهَبُ إِلَيْهِ إِمَامٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ
فِى النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ
عَنْهُ سَوَآءٌ كَانَتْ هِذِهِ
الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِىنُطْقٍ هَيْئَتِهَا.
“Suatu madzhab yang
dianut oleh seorang imam qiraat yang
berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-Karim serta sepakat
riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam
pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaan.”
b.
Menurut Ibnu Al-Jaziri
عِلْمٌ
بِكَيْفِيَاتِ أَدَاءِ كَلِمَاتِ الْقُرْآنِ وَاخْتِلاَفِهَا بِعَزْوِ
النَّافِلَةِ
“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran
dan perbedaan-perbedaannya dengan cara mengisbatkan kepada penukilnya.”
c.
Menurut Al-Qasthalani
اِخْتِلاَفُ
أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ فِى كِتَابَةِ الْحُرُوْف ِ أَوْ كَيْفِيَتِهَا
مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهِهَما.
“Qiraat dalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz
Al-Quran, baikm menyangkut huruf-hurufnya datau cara pengucapan huruf-huruf
tersebut, seperti takhfif (meringankan) dan tatsqil (memberatkan), dan yang
lainnya.”
d.
Menurut Az-Zarkasyi
اِخْتِلاَفُ
أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِفِىكِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ كَيْفِيَّتِهَا
مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهَا
“Qiraat adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh
Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya tau cara pengucapan huruf-huruf
tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang
lainnya.”
e.
Menurut Ash-Shabuni
مَذْهَبٌ
مِنْ مَذَاهِبِ النُّطْقِ فِى الْقُرْآنِ يَذْهَبُ إِلَيْهِ إِمَامٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ
بِأَسَانِيْدِهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“suatu
madzhab cara pelafalan Al-Quran yang dianut oleh salah seorang iamam
berdasarkan sanad-sanad yang bersambung
kepada Rasulullah s.a.w.”.
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya
berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan
Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun
definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di
antara beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian ada tiga unsur qiraat yang
dapat ditangkap dari definsi di atas, yaitu:
1. Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an
yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam
lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas
riwayat yang bersambung kepada Nabi, jadi bersifat taufiki, bukan tauhidi.
3. Ruang lingkup perbedaan Qiro’at itu menyangkut persoalan
Lughat, Hadzaf, I’rab, Itsbat, Fastil, dan Washl.
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat
1. Latar Belakang Historis
Qiraat sebenarnya
telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu Qiraat bukan merupakan
sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini,
yaitu :
a.
Suatu ketika Umar bin
Al-khathab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca Al-Qur’an.
Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca Surat
Al-Furqon. Menurut Umar, bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan
apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa
bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi
untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi
bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :
هـكَذَا أُنْزِلَتْ
إِنَّ هـذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوْا مَا
تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Memang begitulah Al-Quran
diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran diturunkan atau tujuh huruf, maka bacalah
yang mudah darinya.”
b.
Di dalam sebuah
riwayatnya, Ubay pernah bercerita.
“Aku masuk
ke Mesjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang kemudian ia
membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku. Setelah ia
selesai, aku bertanya siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu? ia
menjawab,”Rasulullah s.a.w.”, kemudian datanglah seorang lainnya mengerjakan
shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda
dengan bacaanku dan bacaan orang pertama, setelah shalatnya selesai aku
bertanya “siapakah yang nenbacakan ayat itu kepadamu? Ia menjawab “Rasulullah
s.a.w. “. Kedua itu lalu kuajak menghadap Nabi, beliau meminta salah satu dari
dua orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaanya selesai, Nabi
bersabda, “Baik” kemudian Nabi meminta pada yang lain agar melakukan hal yang
sama. Dan Nabipun menjawabnya. “baik”.
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada masa
tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar di
berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya dari pada
mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke
murid, sehingga sampai kepada para Imam
Qiraat, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
2. Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada)
Menurut analisis yang
disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana
seorang guru membacakan qiraat itu kepada murid-muridnya.
Hal-hal yang
mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara
melafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut.
a.
Perbedaan dalam
i’rab atau harokat, kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya,
pada firman Allah sebagai berikut :
اَلَّذِيْنَ
يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ....... {النساء : 37}
Artinya : ”
…(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir …”
(Q.S. An.Nisa (4) : 37)
Kata Al-Bakhl yang berarti
kikir di sini dapat dibaca Fathah pada huruf Ba’nya sehingga dibaca bi al-bakhli : dapat pula dibaca dhomah
pada ba’nya sehingga menjadi bi al-bukhli.
b.
Perbedaan pada I’rab
dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman
Allah sebagai berikut.
رَبَّنَا بَاعِدْ
بَيْنَ أَسْفَارِنَا {النساء : 19}
Artinya : “
Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. (Q.S. Saba (34) : 19).
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah Ba’id karena statusnya sebagai fi’il
amar : boleh juga dibaca Ba’ada yang
berarti keduanya menjadi fi’il madhi sehingga artinya telah jauh.
c.
Perbedaan pada
perubahan huruf tanpa peraubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan
maknanya berubah, misalnya pada firman Allah Sebagai berikut.
وَانْظُرْ إِلَى
الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا {البقرة : 259}
Artinya : “
… dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya
kembali”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 259)
Kata Nunsyizuha (kami
menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf Zay (ز) diganti dengan huruf
Ra’ (ر)
sehingga berubah bunyi menjadi Nunsyiruha
yang berarti kami hidupkan kembali.
d.
Perubahan pada
kalimat dengan perubahan bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
Misalnya, pada firman Allah berikut:
وَتَكُوْنُ
الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ {القارعة : 5}
Artinya : “
… dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan “. ( Q.S.
Al-Qori’ah (10) : 5).
Beberapa Qiraat mengganti kata al-‘Ihn
dengan kata ash-Shufi sehingga kata
itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba. Perubahan
seperti ini, berdasarkan ijma ulama tidak dibenarkan karena bertentangan dengan
Mushaf Utsmani.
e.
Perbedaan pada
kalimat menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya uangkapan Thal’in mandhud menjadi thalthin mandhud.
f.
Perbedaan dalam
mendahulukan dan mengakhirinya ; misalnya pada firman Allah yang berbunyi.
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ
الْمَوْتِ بَالْحَقِّ. {ق: 19}
Artinya : “
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya “. (Q.S. Qof (50) :
19)
Konon menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah membacanya menjadi “Wa ja’at sakrat al-haqq bi al-maut”,ia
menggeser kata al-Maut ke belakang,
dan memasukan kata al-Haqq, setelah
mengalami pergeseran, bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
berarti “dan datanglah sakarat yang
benar-benar dengan kematian”. Qiraat semacam ini juga tidak dipakai karena
menyalahi ketentuan yang berlaku.
g.
Perbedaan dengan
menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah sebagai berikut.
جَنَّاتٍ تَجْرِيْ
مِنْ تَحْ تِهَا اْلأَنْهَارُ {البقرة : 25}
Artinya : “ … surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya”.
Kata Min pada ayat ini
dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa Min
justru ditambah.
C. Penyebab Perbedaan Qiraat
Sebab-sebab
munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah :
1.
Perbedaan qiraat
Nabi, artinya dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai
beberapa versi qiraat. Misalnya, Nabi
pernah membaca Surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut :
فَلاَ تَعْلَمُ
نَفْسٌ مَا أُخْفِيْ لَهُمْ مِنْ قُرَّاتِ أَعْيُنٍ
Qiro’at versi mushaf utsmani berbunyi :
فَلاَ تَعْلَمُ
نَفْسٌ مَا أُخْفِيْ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ
2.
Pengakuan dari Nabi
terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal
ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam
Al-Quran.
Contohnya :
a. Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul ‘attaahiin (عَتَّى حِيْنٍ)
padahal ia menghendaki hattaahiin (حَتَّى
حِيْنٍ) Rasul pun membolehkan sebab memang begitulah orang Hudzail
mengucapkan dan menggunakannya.
b. Ketika orang Asadi membaca dihadapan Rasul tiswaddu wujuh (تِسْوَدُّ
وُجُوْهٌ) huruf ta pada kata tiswaddu
dikasrahkan. Dan alam I’had ilaikum (أَلَمْ
إِعْهَدْ إِلَيْكُمْ) huruf hamzah pada suatu kata yang tidak
diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, sebab demikianlah orang
Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c. Ketika seorang Tamim mengucapkan Hamzah pada suatu kata yang
tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul
pun membolehkannya, sebab demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkannya.
d. Ketika seorang Qari membaca Wa idza qila lahum (وَإِذَا
قِيْلَ لَهُمْ) dan ghidha al-ma’u (غِيْضَ
الْمَاءُ) dengan menggabungkan dhomah kepada kasrah, Rasul pun
membolehkannya sebab demikianlah ia menggunakan dan mengucapkannya.
3.
Adanya riwayat dari
para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi Qiraat yang ada.
4.
Adanya lahjah atau
dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Quran.
D. Macam-macam Qiraat
1.
Dari Segi Kuantitas
a.
Qiraat Sab’ah
“Qiraat tujuh” adalah qiraat yang dibangsakan kepada tujuh orang imam
qiraat yang masyhur, yaitu Nafi’ Al-Madani (w. 169 H.), Ibnu Katsir Al-Maliki
(w. 120 H.), Abu ‘Amr Ibn A’la, Ibn ‘Amir al-Dimisyqi (w. 118 H.), ‘Ashim Ibn
Abi al-Nujud al-Kufi (w. 127 H.), Hamzah Ibn Habib al-Zayyat (156 H.), dan Al-Kisai
(w. 189 H.).
b.
Qiraat ‘Asrah
(sepuluh)
“Qiraat sepuluh” adalah qiraat yang tujuh ini ditambah dengan Abu
Ja’far (w. 130 H.), Ya’qub al-Hadlrami (w. 205 H.), dan Khalaf Ibn Hisyam
al-Bazzar (w. 229 H.).
c.
Qiraat Empat Belas
“Qiraat empat belas” adalah qiraat yang sepuluh ditambah dengan Ibnu Muhaishin (w. 123 H.), Al-Yazidi (w. 202 H.), Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H.), dan Al-A’masy (w. 148 H.).
2.
Dari Segi Kualitas
Berdasarkan
penelitian mengutip pendapat Ibnu Zazri, Imam Suyuthi, mengatakan bahwa menurut
sunnah, ada enam sistem qiraat:
a.
Qiraat mutawatir,
yakni yang disampaikan sekelompok orang, mulai dari awal sampai akhir sanad,
yang tidak dimungkinkan bersepakat untuk berbuat dusta. Mislanya, sistem qiraat
yang isnadnya telah disepakati bulat berasal dari tujuh orang ulam ahli qiraat yang dikenal
umum.
b.
Qiraat masyhur,
yakni qiraat yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kulaitas mutawatir.
Qiraat ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani. Masyhur
di kalangan qurra, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Zazri,
dan tidak termasuk qiraah yang keliru. Sebagai perawi, misalnya meriwayatkan
dari Imam tujuh, sementara yang lainnya tidak.
c.
Qiraat Ahad,
yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi
menyalahi tulisan mushaf Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memiliki
kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana
ketentuan yang telah ditetapkan Al-Zazri. Di antaranya yang dikeluarkan
Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakar yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w.
membaca ayat:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى
رَفَارِفَ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيَّ حِسَنٍ. الرحمن: 76
“Mereka
bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.”(Q.S.
Ar-Rahman [55] : 76)
Qiraat versi mushaf Utsmani berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى
رَفَارِفَ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيَّ حِسَنٍ. الرحمن: 76
d.
Qiraah Syadz
(menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih telah banyak kitab yang
ditulis untuk jenis qiraat ini. Di antaranya adalah:
مَلَكَ
يَوْمِ الدِّيْنِ. الفاتحة : 4
“Yang menguasai hari pembalasan”.
Qiraat versi mushaf Utsmani berbunyi:
مَالِكِ
يَوْمِ الدِّيْنِ
e.
Qiraat Maudlu
(palsu) seperti qiraat Al-Khazzani.
As-Suyuthi kemudian menambahkan qiraat yang keenam,
yaitu:
f.
Qiraat yang
menyerupai hadits mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan
tujuan penafsiran, umpamanya qiraaat Abi Waqash yang berbunyi:
وَلَهُ أَخٌ أَوْ
أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ
“…..tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu sebapak)
atau seorang saudara perempuan seibu.”
Qiraat versi Mushaf Utsmani berbunyi:
وَلَهُ أَخٌ أَوْ
أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ
Tolok ukur yang dijadikan pegangan para ulama
dalam menetapkan qiraat sahih adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih.
b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf Utsman
walaupun hanya kemungkinan (ihtimal).
c. Memiliki sanad yang
sahih.
E. Urgensi Mempelajari Qiraat dan Pengaruhnya dalam Istinbath
(Penetapan) Hukum
1. Urgensi Mempelajari Qiraat
a. Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama,
misalnya berdasarkan surat An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang
dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut
adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Artinya : “jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa [4] : 12)
Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat
memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b. Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya,
dalam surat Al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa
memerdekakan abid.
Tambahan kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat
para ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin
bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk alternatif
kifaratnya.
c. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya,
dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya dengan يَطَّهِّرْنَ (sementara dalam
mushaf Ustmani tertulis يَطْهُرْنَ),
dapat difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum
istrinya bersuci dan mandi.
d. Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi
berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua
bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca أَرْجُلِكُمْ. Perbedaan qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan
kesimpulan hukum yang berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan
terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami
maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُوْنُ
الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ
Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:
وَتَكُوْنُ
الْجِبَالُ كَالصُّوْفِ الْمَنْفُوْشِ
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata الْعِهْنِ
adalah الصُّوفِ
.
2. Pengaruh Qiraat terhadap istinbath hukum
Perbedaan antara sebuah qiraat dan qiraat yang
lainnya bila terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, I’rab,
penambahan dan pengurangan kata. Oleh karena itu, Az-Zarkasyi berkata:
“Bahwa
dengan perbedaan qiraat timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama
fiqh membangun hukum “batalnya wudlu” orang yang disentuh (lawan jenis) dan
tidak batalnya atas dasar perbedaan qiraat pada “kamu sentuh” dan “kamu saling
menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya
mencampuri perempuan yang sedang haid ketika terputus haidnya dan tidak
bolehnya hingga mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mereka dalam bacaan:
“hingga mereka suci”.
Para ulama berbeda pendapat tentang persyaratan
berturut-turut pada puasa kifarat sumpah. Mazdhab Hanafi mensyaratkannya
berdasarkan qiraat Ibnu Mas’ud, pada ayat:
فَصِيَامُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Maka puasa tiga hari” (Q.S. Al-Maidah [5] : 89)
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas
dan Mujtahid. Sementara itu, menurut Malik dan Syafi’i memandang puasa
secara terpisah-pisah karena berturut-turut
itu merupakan sifat yang tidak wajib kecuali dengan nash atau qiyas mansuh. Hal
ini menunjukkan bahwa Malik dan Syafi’i
hanya berpegang kepada qiraat yang tertulis dalam mushaf. Dari
keterangan ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang berbagai qiraat
sangat perlu bagi seorang hendak mengistinbath hukum dari ayat-ayat Al-Quran
pada khususnya dan menafsirkannya pada umumnya.
BAB
III
PENUTUP
Sebagai penutup, dari uraian-uraian pada bab pembahasan di atas, dapat
kami ambil beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Qiraat menurut bahasa adalah bacaan. Namun pengertian secara
istilah banyak sekali definisi yang
diberikan oleh para ulama. Perbedaan cara pendefinisian di atas
sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara
melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu
Muhammad.
2. Latar Belakang
timbulnya Qiraat al-Quran menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad
Khalil, Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan
qiraat itu kepada murid-muridnya.
3. Dari segi kuantitas, qiraat terbagi atas tiga bagian, yaitu
Qiraat Sab’ah, Qiraat ‘Asyrah, dan Qiraat ‘Arba’ata ‘Asyar. Sedangkan dari segi
kualitas terbagi atas enam macam, yaitu Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syadz,
Maudlu, dan yang menyerupai hadits mudraj (sisipan).
4. Adapun urgensi mempelajari qiraat adalah:
a.
Menguatkan ketentuan
hukum yang telah disepakati para ulama.
b.
Menarjih hukum yang
diperselisihkan para ulama.
c.
Menggabungkan dua
ketentuan hukum yang berbeda.
d.
Menunjukkan dua
ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
e.
Dapat memberikan
penjelasan terhadap suatu kata di dalam
Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Drs., M.Ag., 2004, Ulumul Quran, Pustaka Setia, Bandung.
As-Shieddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku, 1972, Ilmu-Ilmu Al-Quran, PT. Bulan Bintang,
Jakarta.
As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja
Garfindo, Persada, Jakarta.
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT. atas Nikmat yang
telah diberikan kepada Kami. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kepada Rasulullah s.a.w., keluarganya, sahabatnya dan kita sebagai umatnya.
Amiin.
Makalah yang berjudul “Qiraat Al-Quran” yang diberikan dosen dalam
rangka memenuhi salah satu tugas pokok
mata kuliah Ulum Al-Quran. Semoga adanya makalah ini dapat bermanfaat
bagi kami sebagai penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan yang
diharapkan oleh semuanya. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis
harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak menerima bantuan dan dorongan dari semua pihak, sehingga makalah
ini dapat terwujud. Semoga amal baik yang penulis terima mendapat balasan dari Allah SWT.
Cipasung, Desember 2013
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 3
A. Pengertian Qiraat................................................................. 3
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat.................. 4
C. Penyebab Perbedaan Qiraat............................................... 8
D. Macam-macam Qiraat......................................................... 9
E. Urgensi Mempelajari Qiraat dan Pengaruhnya dalam Istinbath
(Penetapan) Hukum 12
BAB III PENUTUP................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16
|
||||
|
QIRAAT AL-QURAN
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pokok
Mata
Kuliah Ulum al-Quran
Disusun oleh:
Nama : JAJA NURJAMAN
:
TIAR ABDUL BARR
:
M. YUNUS
Tk. / Smt. : I
E/ I
Fak. / Jur. : PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM
CIPASUNG
SINGAPARNA
TASIKMALAYA
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar