TOKO 0SCAR CLASSER

Selasa, 03 Desember 2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang jazirah Arab. Setiap suku mempunyai fomat dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbendaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku.
Perbedaan – perbedaan dialek itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qiraah) dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qiraat itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya sifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah s.a.w. sendiri membenarkan pelafalan al-Quran dengan berbagai macam qiraat.
Sesuai dengan pemaparan di atas, kami tertarik untuk lebih memahami masalah qiraat dan dijabarkan dalam sebuah dengan judul “QIRAAT AL-QURAN”

B.     Perumusan Masalah

Agar penyusunan makalah ini sesuai dengan judul yang telah ditetapkan, maka diperlukan perumusan masalahnya. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan Qiraat al-Quran?
2.      Apa yang melatarbelakangi tumbulnya perbedaan Qiraat al-Quran?
3.      Berapa macamkah qiraat dalam al-Quran
4.      Apakah urgensi mempelajari Qiraat al-Quran?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan kami menjadikan makalah dengan judul di atas adalah sebagai berikut:
  1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Qur’an tentang  Qiraat Al-Quran.
  2. Ingin mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi timbulnya perbedaan Qiraat al-Quran.
  3. Ingin mengetahui macam-macam Qiraat al-Quran.
  4. Ingin mengetahui urgensi mempelajari Qiraat al-Quran.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Qiraat
Dilihat dari segi bahasa Qiraat merupakan kata jadian (masdar) dari kata kerja qaraa (membaca), sedangkan berdasarkan pengertian etimologi (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama.
a.           Menurut A-Zarqani
مَذْهَبٌ يَذْهَبُ إِلَيْهِ إِمَامٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ عَنْهُ سَوَآءٌ  كَانَتْ هِذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِىنُطْقٍ هَيْئَتِهَا.
 “Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qiraat  yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaan.”

b.           Menurut Ibnu Al-Jaziri
عِلْمٌ بِكَيْفِيَاتِ أَدَاءِ كَلِمَاتِ الْقُرْآنِ وَاخْتِلاَفِهَا بِعَزْوِ النَّافِلَةِ
“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara mengisbatkan kepada penukilnya.”

c.            Menurut Al-Qasthalani
اِخْتِلاَفُ أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ فِى كِتَابَةِ الْحُرُوْف ِ أَوْ كَيْفِيَتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهِهَما.
“Qiraat dalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Quran, baikm menyangkut huruf-hurufnya datau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan) dan tatsqil (memberatkan), dan yang lainnya.”
d.           Menurut Az-Zarkasyi
اِخْتِلاَفُ أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِفِىكِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ كَيْفِيَّتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهَا
“Qiraat adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya tau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”

e.            Menurut Ash-Shabuni
مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّطْقِ فِى الْقُرْآنِ يَذْهَبُ إِلَيْهِ إِمَامٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ بِأَسَانِيْدِهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“suatu madzhab cara pelafalan Al-Quran yang dianut oleh salah seorang iamam berdasarkan sanad-sanad  yang bersambung kepada Rasulullah s.a.w.”.
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di antara beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian ada tiga unsur qiraat yang dapat ditangkap dari definsi di atas, yaitu:
1.       Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam lainnya.
2.       Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi, jadi bersifat taufiki, bukan tauhidi.
3.       Ruang lingkup perbedaan Qiro’at itu menyangkut persoalan Lughat, Hadzaf, I’rab, Itsbat, Fastil, dan Washl.

B.       Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat
1.      Latar Belakang Historis
Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu Qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu :
a.         Suatu ketika Umar bin Al-khathab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca Al-Qur’an. Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca Surat Al-Furqon. Menurut Umar, bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :
هـكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هـذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Memang begitulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran diturunkan atau tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.”
b.         Di dalam sebuah riwayatnya, Ubay pernah bercerita.
“Aku masuk ke Mesjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang kemudian ia membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku. Setelah ia selesai, aku bertanya siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu? ia menjawab,”Rasulullah s.a.w.”, kemudian datanglah seorang lainnya mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku dan bacaan orang pertama, setelah shalatnya selesai aku bertanya “siapakah yang nenbacakan ayat itu kepadamu? Ia menjawab “Rasulullah s.a.w. “. Kedua itu lalu kuajak menghadap Nabi, beliau meminta salah satu dari dua orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaanya selesai, Nabi bersabda, “Baik” kemudian Nabi meminta pada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabipun menjawabnya. “baik”.

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke murid, sehingga  sampai kepada para Imam Qiraat, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.

2.      Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada)
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qiraat itu kepada murid-muridnya.
Hal-hal yang mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut.
a.         Perbedaan dalam i’rab atau harokat, kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya, pada firman Allah sebagai berikut :
اَلَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ....... {النساء : 37}
Artinya : ” …(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir …” (Q.S. An.Nisa (4) : 37)
Kata Al-Bakhl yang berarti kikir di sini dapat dibaca Fathah pada huruf Ba’nya sehingga dibaca bi al-bakhli : dapat pula dibaca dhomah pada ba’nya sehingga menjadi bi al-bukhli.
b.         Perbedaan pada I’rab dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah sebagai berikut.
رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا {النساء : 19}
Artinya : “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. (Q.S. Saba (34) : 19).
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah Ba’id karena statusnya sebagai fi’il amar : boleh juga dibaca Ba’ada yang berarti keduanya menjadi fi’il madhi sehingga artinya telah jauh.
c.          Perbedaan pada perubahan huruf tanpa peraubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah Sebagai berikut.
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا {البقرة : 259}
Artinya : “ … dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 259)
Kata Nunsyizuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf Zay (ز) diganti dengan huruf Ra’ (ر) sehingga berubah bunyi menjadi Nunsyiruha yang berarti kami hidupkan kembali.
d.         Perubahan pada kalimat dengan perubahan bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah. Misalnya, pada firman Allah berikut:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ {القارعة : 5}
Artinya : “ … dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan “. ( Q.S. Al-Qori’ah (10) : 5).
Beberapa Qiraat mengganti kata al-‘Ihn dengan kata ash-Shufi sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma ulama tidak dibenarkan karena bertentangan dengan Mushaf Utsmani.
e.          Perbedaan pada kalimat menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya uangkapan Thal’in mandhud menjadi thalthin mandhud.
f.          Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirinya ; misalnya pada firman Allah yang berbunyi.
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بَالْحَقِّ. {ق: 19}
Artinya : “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya “. (Q.S. Qof (50) : 19)
Konon menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah membacanya menjadi “Wa ja’at sakrat al-haqq bi al-maut”,ia menggeser kata al-Maut ke belakang, dan memasukan kata al-Haqq, setelah mengalami pergeseran, bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berarti “dan datanglah sakarat yang benar-benar dengan kematian”. Qiraat semacam ini juga tidak dipakai karena menyalahi ketentuan yang berlaku.
g.         Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah sebagai berikut.
جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْ تِهَا اْلأَنْهَارُ {البقرة : 25}
Artinya : “ … surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”.
Kata Min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa Min justru ditambah.

C.      Penyebab Perbedaan Qiraat
Sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah :
1.           Perbedaan qiraat Nabi, artinya dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat. Misalnya,  Nabi pernah membaca Surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut :
فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيْ لَهُمْ مِنْ قُرَّاتِ أَعْيُنٍ
Qiro’at versi mushaf utsmani berbunyi :
فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيْ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ
2.           Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Quran.
Contohnya :
a.       Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul ‘attaahiin (عَتَّى حِيْنٍ) padahal ia menghendaki hattaahiin (حَتَّى حِيْنٍ) Rasul pun membolehkan sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.

b.      Ketika orang Asadi membaca dihadapan Rasul tiswaddu wujuh (تِسْوَدُّ وُجُوْهٌ) huruf ta pada kata tiswaddu dikasrahkan. Dan alam I’had ilaikum (أَلَمْ إِعْهَدْ إِلَيْكُمْ) huruf hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, sebab demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.

c.       Ketika seorang Tamim mengucapkan Hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, sebab demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkannya.
d.      Ketika seorang Qari membaca Wa idza qila lahum (وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ) dan ghidha al-ma’u (غِيْضَ الْمَاءُ) dengan menggabungkan dhomah kepada kasrah, Rasul pun membolehkannya sebab demikianlah ia menggunakan dan mengucapkannya.
3.           Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi Qiraat yang ada.
4.           Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Quran.

D.   Macam-macam Qiraat
1.           Dari Segi Kuantitas
a.        Qiraat Sab’ah
“Qiraat tujuh” adalah qiraat yang dibangsakan kepada tujuh orang imam qiraat yang masyhur, yaitu Nafi’ Al-Madani (w. 169 H.), Ibnu Katsir Al-Maliki (w. 120 H.), Abu ‘Amr Ibn A’la, Ibn ‘Amir al-Dimisyqi (w. 118 H.), ‘Ashim Ibn Abi al-Nujud al-Kufi (w. 127 H.), Hamzah Ibn Habib al-Zayyat (156 H.), dan Al-Kisai (w. 189 H.).
b.        Qiraat ‘Asrah (sepuluh)
“Qiraat sepuluh” adalah qiraat yang tujuh ini ditambah dengan Abu Ja’far (w. 130 H.), Ya’qub al-Hadlrami (w. 205 H.), dan Khalaf Ibn Hisyam al-Bazzar (w. 229 H.).
c.         Qiraat Empat Belas
“Qiraat empat belas” adalah qiraat yang sepuluh ditambah dengan Ibnu Muhaishin (w. 123 H.), Al-Yazidi (w. 202 H.), Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H.), dan Al-A’masy (w. 148 H.).
2.           Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian mengutip pendapat Ibnu Zazri, Imam Suyuthi, mengatakan bahwa menurut sunnah, ada enam sistem qiraat:
a.        Qiraat mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang, mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak dimungkinkan bersepakat untuk berbuat dusta. Mislanya, sistem qiraat yang isnadnya telah disepakati bulat berasal dari  tujuh orang ulam ahli qiraat yang dikenal umum.
b.        Qiraat masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kulaitas mutawatir. Qiraat ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani. Masyhur di kalangan qurra, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Zazri, dan tidak termasuk qiraah yang keliru. Sebagai perawi, misalnya meriwayatkan dari Imam tujuh, sementara yang lainnya tidak.
c.         Qiraat Ahad, yakni  yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana  ketentuan yang telah ditetapkan Al-Zazri. Di antaranya yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakar  yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. membaca ayat:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارِفَ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيَّ حِسَنٍ. الرحمن: 76
“Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.”(Q.S. Ar-Rahman [55] : 76)
Qiraat versi mushaf Utsmani berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارِفَ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيَّ حِسَنٍ. الرحمن: 76
d.        Qiraah Syadz (menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini. Di antaranya adalah:
مَلَكَ يَوْمِ الدِّيْنِ. الفاتحة : 4
“Yang menguasai hari pembalasan”.
Qiraat versi mushaf Utsmani berbunyi:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
e.         Qiraat Maudlu (palsu) seperti qiraat Al-Khazzani.
As-Suyuthi kemudian menambahkan qiraat yang keenam, yaitu:
f.         Qiraat yang menyerupai hadits mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran, umpamanya qiraaat Abi Waqash yang berbunyi:
وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ
“…..tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu sebapak) atau seorang saudara perempuan seibu.”
Qiraat versi Mushaf Utsmani berbunyi:
وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ
Tolok ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qiraat sahih adalah sebagai berikut:
a.       Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab,  baik yang fasih atau paling fasih.
b.      Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf Utsman walaupun hanya kemungkinan (ihtimal).
c.       Memiliki sanad  yang sahih.

E.   Urgensi Mempelajari Qiraat dan Pengaruhnya dalam Istinbath (Penetapan) Hukum
1.       Urgensi Mempelajari Qiraat
a.       Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama, misalnya berdasarkan surat An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa [4] : 12)
Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b.      Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa memerdekakan abid.
Tambahan  kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat para ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk alternatif kifaratnya.
c.       Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya dengan  يَطَّهِّرْنَ (sementara dalam mushaf Ustmani tertulis يَطْهُرْنَ), dapat difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.      Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca أَرْجُلِكُمْ. Perbedaan qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.       Dapat memberikan penjelasan  terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ
Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالصُّوْفِ  الْمَنْفُوْشِ
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata الْعِهْنِ adalah الصُّوفِ .
2.       Pengaruh Qiraat terhadap istinbath hukum
Perbedaan antara sebuah qiraat dan qiraat yang lainnya bila terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Oleh karena itu, Az-Zarkasyi berkata:
“Bahwa dengan perbedaan qiraat timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqh membangun hukum “batalnya wudlu” orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qiraat pada “kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian juga  hukum bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haid ketika terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mereka dalam bacaan: “hingga mereka suci”.
Para ulama berbeda pendapat tentang persyaratan berturut-turut pada puasa kifarat sumpah. Mazdhab Hanafi mensyaratkannya berdasarkan qiraat Ibnu Mas’ud, pada ayat:
فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Maka puasa tiga hari” (Q.S. Al-Maidah [5] : 89)
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Mujtahid. Sementara itu, menurut Malik dan Syafi’i memandang puasa secara  terpisah-pisah karena berturut-turut itu merupakan sifat yang tidak wajib kecuali dengan nash atau qiyas mansuh. Hal ini menunjukkan bahwa Malik dan Syafi’i  hanya berpegang kepada qiraat yang tertulis dalam mushaf. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang berbagai qiraat sangat perlu bagi seorang hendak mengistinbath hukum dari ayat-ayat Al-Quran pada khususnya dan menafsirkannya pada umumnya.


BAB III

PENUTUP


Sebagai penutup, dari uraian-uraian pada bab pembahasan di atas, dapat kami ambil beberapa kesimpulan, di antaranya:
1.      Qiraat menurut bahasa adalah bacaan. Namun pengertian secara istilah banyak sekali definisi yang  diberikan oleh para ulama. Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad.
2.       Latar Belakang timbulnya Qiraat al-Quran menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qiraat itu kepada murid-muridnya.
3.      Dari segi kuantitas, qiraat terbagi atas tiga bagian, yaitu Qiraat Sab’ah, Qiraat ‘Asyrah, dan Qiraat ‘Arba’ata ‘Asyar. Sedangkan dari segi kualitas terbagi atas enam macam, yaitu Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syadz, Maudlu, dan yang menyerupai hadits mudraj (sisipan).
4.      Adapun urgensi mempelajari qiraat adalah:
a.         Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
b.        Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama.
c.         Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
d.        Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
e.         Dapat memberikan penjelasan  terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan, Drs., M.Ag., 2004, Ulumul Quran, Pustaka Setia, Bandung.
As-Shieddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku, 1972, Ilmu-Ilmu Al-Quran, PT. Bulan Bintang, Jakarta.
As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo, Persada, Jakarta.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT. atas Nikmat yang telah diberikan kepada Kami. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah s.a.w., keluarganya, sahabatnya dan kita sebagai umatnya. Amiin.
Makalah yang berjudul “Qiraat Al-Quran” yang diberikan dosen dalam rangka memenuhi salah satu tugas pokok  mata kuliah Ulum Al-Quran. Semoga adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sebagai penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan yang diharapkan oleh semuanya. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak menerima bantuan dan  dorongan dari semua pihak, sehingga makalah ini dapat terwujud. Semoga amal baik yang penulis terima mendapat  balasan dari Allah SWT.

Cipasung, Desember 2013

Penulis



i
 

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.....................................................................................             i
DAFTAR ISI....................................................................................................            ii
BAB    I        PENDAHULUAN......................................................................            1
A.      Latar Belakang.....................................................................            1
B.       Perumusan Masalah.............................................................            1
C.      Tujuan Penulisan.................................................................            2
BAB    II      PEMBAHASAN.........................................................................            3
A.      Pengertian Qiraat.................................................................            3
B.       Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat..................            4
C.      Penyebab Perbedaan Qiraat...............................................            8
D.      Macam-macam Qiraat.........................................................            9
E.       Urgensi Mempelajari Qiraat dan Pengaruhnya dalam Istinbath (Penetapan) Hukum                                                                                                         12
BAB    III     PENUTUP...................................................................................          15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................          16





ii
 



iii
 

QIRAAT AL-QURAN
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pokok
Mata Kuliah Ulum al-Quran


 








Disusun oleh:

Nama               : JAJA NURJAMAN
                                                           : TIAR ABDUL BARR
                                                           : M.  YUNUS
Tk. / Smt.       :  I E/ I
Fak. / Jur.      :  PAI



INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA TASIKMALAYA
2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar