NIKAH MUT'AH
A. Pengertian Nikah M ut’ah
Kata
mut’ah berasal dari kata mata` dalam bahasa Arab berarti segala suatu dapat
dinikmati dan dimanfaatkan, misalnya makanan, pakaian, perabotan rumah tangga,
dan sebagainya. Kemudian, dalam istilah fiqh dimaksudkan sebagai suatu
pemberian dari suami kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai
“penghibur” atau “ganti Rugi”. (bedakan ini dari nikah mut’ah yang berarti
nikah untuk waktu tertentu sebagaimana telah diuraikan hukumnya dalam beberapa
bab sebelumnya ini).
Pemberian
mut’ah ini adalah sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT. Kepada para suami
agar selalu mempergauli istri-istri mereka dengan prinsip: imsak bi
ma’ruf aw tasrihbi ihsan (yakni mempertahankan
ikatan perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan [menceraikan] dengan
kebijakan). Oleh sebab itukalaupun hubungan perkawinan terpaksa diputuskan,
perlakuan baik harus tetap dijaga, hubungan baik pun dengan mantan istri dan
keluarganya sedapat mungkin di pertahankan, disamping melaksanakan pemberian mut’ah
dengan ikhlas dan sopan santun, tanpa sedikit pun menunjukkan kegusaran hati,
apalagi penghinaan dan pelecehan.[1]
Pengertian
nikah mut’ah atau nikah hingga batas tertentu; ialah apabila seorang laki-laki
dan seorang perempuan sepakat melakukan pernikahan hingga batas waktu yang
ditentukan atau tanpa waktu yang jelas, dengan imbalan harta yang telah
ditentukan.
Sebuah
bentuk pernikahan yang maksudnya semata-mata untuk melampiaskan nafsu syahwat,
dan berhenti masa berlakunya tanpa talak jika masa yang disepakati telah
selesai, atau bila terjadi perpisahan maka masa berlakunya secara otomatis
habis.
Tidak
diragukan bahwa bentuk pernikahan seperti ini bukankah bentuk pernikahan yang
di syariatkan dalam Islam dan misi Al-Quran dalam menetapkan pernikahan tidak
seperti itu.[2]
B. Landasan Pernikahan Dalam Islam
Al-Quran
mengarahkan agar sebuah pernikahan bertujuan untuk meraih mawaddah wa
rahmah (cinta dan kasih sayang) dari kedua belah pihak, dan hasil dari
pernikahan itu adalah membentuk sebuah keluarga sakinah, lahirlah anak-anak dan
cucu, dan adanya kerja sama dalam mendidik mereka.
Adakah semua itu bisa
tercapai dengan kawin mut’ah?
Di dalam Al-Quran
terdapat banyak hukum-hukum yang menetapkan syariat pernikahan dan yang
berkenaan denganya, seperti warisan, penetapan nasab, nafkah lahiriyah, talak,
iddah, ila’, zhihar, li’an, haram hukumnya menikah dengan wanita yang ke lima,
dan lain-lain yang sudah diketahui dengan oleh banyak orang, dan tidak ada
kaitanya semua itu dengan nikah mut’ah.
Al-Quran
terkadang memakai zawaj, kadang juga memakai kata nikah di dalam banyak ayat, dan
tidak bisa di pahami dari kedua kata itu selain pernikahan yang landasanya
adalah keabadian, membentuk keluarga, dan diikat denganhukum-hukum yang telah
saya jelaskan sebelumnya.
Cobalah baca ayat-ayat
berikut ini:
وَبُعُو
لَتُهُنَّ أَحَقُّ برَدّهنَّ
“dan
suami-suaminya berhak merujukinya…”
(QS. Al-Baqarah: 228)
وَلَهُنَّ
مثْلُ اُلَّذى عَلَيْهنَّ باُلْمَعْرُوْف
“dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban-nya menurut cara yang ma’ruf”.
(QS. Al-Baqarah: 228)
حَتَّى
تَنكحَ زَوْجاً غَيْرَهُ
“hingga dia
kawin dengan suami yang lain”.
(QS. Al-Baqarah: 230)
وَأَنْكحُوْا
اُلأَيَمَى منْكُمْ وَاُلصَّلحيْنَ منْ عبَاد كُمْ وَإماَىكُمْ
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba-hamba sahayamun yang perempuan.”
(QS. An-Nur: 32)
وَكَيْفَ
تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضكُمْ إلَى بَعْض وَأَخَذْ نَ منْكُمْ مّنْكُمْ
مّيْثقًا غَليْظًا
“Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
denganyang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat.”
(QS.An-Nisaa`: 21)
Cermatilah
ayat-ayat tersebut di atas dan ayat-ayat yang lainya, agar Anda tahu bahwa
bentuk pernikahan mut’ah yang di dengung-dengungkan oleh orang-orang syiah dan
pendukungnya sangat jauh dari syariat Islam, walaupun mereka mengklaim bahwa
nikah mut’ah tersebut sesuai dengan syariat Islam berdasarkan nafsu dan fanatisme
berlebihan mereka terhadap pendapat yang tidak berlandaskan dengan dalil yang
benar.
C. Hukum Islam
tentang Nikah Mut’ah
·
Nikah
mut’ah pernah dihalalkan kemudian di haramkan
Tidak
bisa diingkari bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan bagi prajurit yang sedang
berjihad di jalan Allah, namun tidak bisa di pungkiri bahwa setelah itu Nabi
mengharamkanya dengan pengharaman untuk selama-lamanya.
Imam
Muslim telah mengumpulkan dalam kitab Shahihnya, juga Al-Hafizt Ibnu Hajar
dalam Syarah (penjelasan) hadits Al-Bukhari tentang hadits-hadits yang melarang
kawin mut’ah. Seperti hadits dari Sabrah Al-Juhny yang diriwayatkan oleh Ahmad
dan Muslim berikut
عن
سبرة الجهني انه غزا مع النبي ص.م في فتح مكة فاذن لهم رسول الله ص.م في متعة
النساء قال فلم يخرج منها حتى حرمها رسمل الله ص.م (رواه مسلم و أحمد)
“
Dari Sabrah Al-Juhni bahwa ia ikut berperang bersama Nabi saw. Pada waktu
penaklukan Makkah, maka Rasulullah saw mengizinkan kepada mereka untuk
bermut’ah dengan wanita. Sabrah berkata : Ia tidak keluar dari wanita itu
hingga Rasulullah saw mengharamkannya”(HR Muslim dan Ahmad).
Maka
jumhur ulama memandang nikah mut’ah itu diharamkan selama-lamanya. Kebolehannya
terbatas pada waktu perang penaklukan Mekkah, sesudah itu dilarang oleh Nabi
untuk selama-lamanya dan syari’atnya sudah mansukh.
Adapun
larangan Umar tentang kawin Mut’ah dan ancamannya bagi pelakunya di depan para
sahabat, menunjukkan bahwa memang nikah mut’ah telah dilarang oleh Rasulullah,
dan itu adalah bentuk pengamalan terhadap hadits-hadits yang shahih, dan untuk
menepis anggapan bahwa nikah mut’ah itu belum diharamkan.
Nabi terkadang
memberikan keringanan bagi orang yang baru masuk Islam yang berada dalam
kondisi darurat hingga mereka mendapatkan penyelesaian dari masalahnya, dan
setelah mereka merasa nyaman dengan Islam dan aturan-aturannya barulah Nabi
mengharamkan perkara yang awalnya diringankannya baginya sebagimana Allah
mengharamkanya, dan mengharamkan itu berlaku umum dan untuk selama-lamanya.
Dari
penjelasan ini, jelas bahwa dua pandangan dalam masalah nikah mut’ah tidak
mungkin diletakkan dalam satu timbangan, apalagi jika diletakkan sejajar dalam
dua wadah timbangan, karena bolehnya nikah mut’ah pada zaman dahulu hanya yang
lebih hina dalam kondisi darurat sementara kaum muslimin pada waktu masih asing
dengan hukum-hukum Islam.
Bentuk
keringanan seperti tidak panas untuk dijadikan landasan dalam menetapkan hukum
syariat.
Kalau
ada aturan dalam agama yang memperbolehkan bagi wanita untuk menikahi dalam
satu tahun dengan sebelas laki-laki, atau membolehkan laki-laki untuk menikah
seenaknya dengan wanita dalam satu hari, tanpa membebankan kepadanya
tanggungjawab pernikahan, maka aturan agama yang memperbolehkan seperti itu
tidak mungkin berasal dari hukum Allah pemilik alam semesta alam mini, karena
bertentangan dengan wibawa kehormatan dan kesucian martabat manusia.
· Nikah mut’ah telah
diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
•
Dari al Qur`an : AL-MAARIJ 29-31
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui
dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah
istri dan bukan pula budak. [24]
Dan
barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila
mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan
yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi
wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi
orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di
antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Q.S. an Nisa`: 25].
Dalam
ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak
ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri
atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25].
Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah
sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi.
Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
•
Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan
dalil haramnya mut’ah.
•
Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah
telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah
mut’ah.
Di
antara pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul ‘Arabi
rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi
berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan
tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju
dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan
tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.
3. Qadhi
Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya,
kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”.
4. Dan
juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah
Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai
berikut :
1. Sesungguhnya
nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab
dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan
pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. ‘Umar
telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya
dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui
penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
3. Haramnya nikah mut’ah,
dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya
nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi
oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya
anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti
anak zina.
c.
Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang
lain, dan sebagainya.
D. Mut’ah
menurut kompilasi hukum perkawinan
Dalam kompilasi hukum
perkawinan yang berlaku di Indonesia, Bab XVII, pasal 149 disebutkan:
Bilamana perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberi mut’ah yang
layak kepada istri, baik berupa uang tau benda, kecuali bekas istri tersebut
(ditalak) qabla dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan
(yakni tempat tinggal) dan kiswah (yakni pakaian) kepada bekas istri selama
masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dalam
keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang
masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla dukhul.
d. Memberikan biaya
bandhanah untuk anak-anaknya belum mencapai umur 21 tahun.
Selanjutnya,
dalam pasal 158 disebutkan:
Mut’ah wajib diberikan
oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar
bagi istri ba’da dukhul.
b. Perceraian itu atas
kehendak suami.
Dalam
Pasal 159 disebutkan:
Mut’ah sunnah diberikan
bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.
Dalam
pasal 160 disebutkan:
Besarnya
mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.[3]
KESIMPULAN
Kesimpulan
nikah mut’ah adalah,
seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan
sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya.
Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak
dan tanpa warisan
dan hokum pernikahan
mut’ah adalah haram walaupun pernah dihalalkan. Tidak bisa diingkari bahwa
nikah mut’ah pernah dihalalkan bagi prajurit yang sedang berjihad di jalan
Allah, namun tidak bisa di pungkiri bahwa setelah itu Nabi mengharamkanya
dengan pengharaman untuk selama-lamanya.
Dan pendapat nikah
mut’ah menurut Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan,
bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah.
Di antara pernyataan
tersebut ialah :
1. Perkataan
Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi
berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan
tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju
dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan
tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.
3. Qadhi
Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya,
kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”.
4. Dan juga disebutkan
oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya
Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar