BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kenyataan menunjukkan
bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, di mana masing-masing mereka
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi
kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya.
Agar antara
masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan
suatu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam
bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan
kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut
dengan hukum.
Untuk manusia secara
keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan tujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk menyampaikan
aturan-aturannya itu, Allah memilih mengangkat Rasul sebagai pesuruh dan
utusan-Nya kepada manusia. Rasul itulah yang bertugas menyampaikan dan
memberitahu hukum atau aturan-aturan tersebut kepada manusia.
Setelah Rasul diutus dan
aturan-aturan tersebut telah sampai kepada manusia, maka sejak saat itu pula
manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan tersebut dalam segala tindakan
yang mereka lakukan. Mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan
meninggalkan segala yang dilarang.
Tugas memberitahu
hukum syar’i berikutnya setelah Rasul meninggal diteruskan oleh para sahabat.
Kemudian, setelah periode sahabat berlalu, seterusnya para ulama tabi’in,
tabi’tabi’in, dan begitu seterusnya oleh para ulama, baik fuqaha, muhaddasin,
mutakallimin, dan lain sebagainya.
1
|
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian Hakim, Mahkum ‘Alaih dan Mahkum Fih ?
2. Bagaimana hubungan antara hakim dan mahkum ‘alaih ?
3. Sebutkan ragam-ragam hukum syari’at ?
2. Bagaimana hubungan antara hakim dan mahkum ‘alaih ?
3. Sebutkan ragam-ragam hukum syari’at ?
C. Tujuan Penulisan
1. Hendaknya mahasiswa mampu memahami pengertian hakim. Mahkum fih, mahkum
‘Alaih .
2. Dapat menjelaskan hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Agar mahasiswa mengetahui ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada
mukallaf.
D. Manfaat
1. Mengetahui pengertian Hakim, Mahkum fih dan Mahkum Alaih.
2. Mengetahui hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Mengetahui Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.
2. Mengetahui hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Mengetahui Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.
BAB II
PEMBAHASAN
I. MAHKUM
FIH ( OBYEK HUKUM)
A. Pengertian Mahkum Fih
Yang
dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum
syara’ (syukur,1990:132). Mahkum Fih ialah pekerjaan yag harus dilaksanakan
mukallaf yang dinilai hukumnya (sutrisno,1999:120). Sedangkan menurut ulama
ushul fiqih yang dimaksud Mahkum Fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang
mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan,dan yang bersifat
syarat,sebab,halangan,azimah.,rukhsah,sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’i,
2007:317). Jadi,secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum
syar’i.
Para ulama
pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada obyeknya yaitu perbuatan
mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.
Firman
Alloh dalam surat al baqoroh:43
و
اقيمو االصلاة……….. )البقرة(
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni
tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.
3
|
ولاتقتلواالنفس
االتي حر م االله الا باالحق )الانعا
م (151
Artinya:”Jangan
kamu membunuh jiwa xang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu
(sebab)yang benar’’.
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait
dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu
hukumnya haram.
3.
Firman
Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم
الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka
basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan
salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa obyek
hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
B. Syarat
–syarat mahkum fih
·
Mukallaf harus mengetahui
perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat di tangkap dengan jelas
dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untuk
melaksanakan sebelum dia tau persis.
Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat
“Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya
sekaligus memberi contoh sebagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku
sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa
dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di
ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
·
Mukallaf harus mengetahui
sumber taklif. seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Alloh
SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan
perintah Alloh semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu
perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari
kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
·
Perbuatan harus mungkin
untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini terdapat dengan
beberapa syarat yaitu:
1.
Tidak
sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di
tinggalkan.
2.
Tidak
sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas
nama orang lain.
3.
Tidak
sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan
fitrah manusia.
4.
Tercapaianya
syarat taklif tersebut (Syafe’i), seperti iman dalam masalah ibadah,suci
dalam masalah sholat
Disamping
syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain
sebagaimana berikut:
·
Sanggup mengerjakan,tidak
boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
·
Pekerjaan yang tidak akan
terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan
terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman.
·
Pekerjaan yang sukar sekali
dilaksanakan, yaitu yang kesukaranya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan
atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
·
Pekerjaan-pekerjaan yang
diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa
(Sutrisno,1999:121-123).
·
C. Al
masyaqqoh
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus
bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada
suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh
(halangan) serta pembagiannya
Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:
1. Masyaqqoh mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa
menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan
alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan itu tidak mungkin
terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat ini buakan
bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih dirinya
diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar
2. Masyaqqoh goiru mu’tadah
Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan
manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan.Alloh tidak
tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan
kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun
malam untuk sahur.
ير
يد الله بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر )البقره(185
Artinya:Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu(al baqoroh 185)
D. Macam
macam mahkum bih
Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka
mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1. Semata mata hak
Allah,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini
seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan
yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan
macam:
a.
Ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b.
Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat
fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c.Bantuan/santunan
yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d.Biaya/santunan
yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap
sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.Hukuman
secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat
zina
f.Hukuman
yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena membunuh
pemilik harta tersebut.
g.Hukuman
yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan senggama
disiang hari pada bulan ramadhan
h.Hak
hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta
tependam dan harta rampasan.
2. Hak hamba yang berkait
dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di
rusak.
3. Kompromi antara hak
Alloh dengan hak hamba,tetapi hak alloh didalamnya lebih dominan,seperti
hukuman untuk tindak pidana.
4. Kompromi antara hak
Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti masalah qishos (Syafe’i:2007:331)
II. MAHKUM ‘ALAIH (SUBYEK HUKUM)
A. Pengertian
mahkum alaih
Yang dimaksud dengan Mahkum
Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntutan hukum
syara’(Syukur,1990:138). Menurut ulama’ Ushul fiqih telah sepakat bahwa Mahkum
Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah,yang disebut
mukallaf(Syafe’i,2007:334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum
Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala
tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah
itu(Sutrisno,1999:103). Jadi,secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum
Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya
hukum Allah.
B. Syarat-syarat Mahkum Alaih
·
Orang tersebut mampu
mamahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara ornag
lain
·
Orang tersebut ahli bagi
apa yang akan ditaklifkan kepadanya(Koto,2006:157-158)
C. Dasar
Taklif
Orang yang dikenai taklif
adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau
dalam kata lain seseorang bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum berakal di anggap
tidak bisa memahami taklif dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda
nabi:
ر
فع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى
يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا
لب)
Artinya: Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis
orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila
sampai sembuh. (HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari
Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
D. Syarat
syarat taklif
Syarat taklif ada 2 yaitu:
1. Orang itu telah mampu
memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan
sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan untuk memahami taklif
ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit
di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang berakal atau
belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya seseorang yaitu dengan di
tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi
pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas tahun.
2. Seseorang harus mampu
dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.maka seseorang
yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan
tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena kecakapan bertindak hukumnya
hilang.
III. HUKUM
A. Pengertian
hukum
Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama,
sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim
diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan
tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya
menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan
hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam
dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam
merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak
ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan
ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka
menggunakan al-adillah
al-Syariyyah. Penggunaanmashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini,
tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang
diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam
Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur
ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan
urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di
kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan,
maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat
sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah
al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber
yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i. Sebagian
ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai
dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode
ijtihad.
Hukum Islam mengalami perkembangan yang pesat di
periode Nabi Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan
akidah dihilangkan, sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan
muamalah–sejauh masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan
diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami pergolakan
dan kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan dengan kondisi sosio-kultural
dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut
hemat penulis, hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan sunnah) sebagai
sumber primer dan fiqh yang diambil dari syariat yang pada dasarnya digunakan
sebagai landasan hukum.
Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha memberi
formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
1.
Wajib
Ulama
memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain suatu
ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau Suatu
ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab. Contoh, Shalat subuh hukumnya
wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak
berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah
atas dasar firman Allah swt:Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari sampai
malam telah gelap dan bacalah Al Qur’an di waktu Fajar, sesungguhnya membaca Al
Qur’an di waktu Fajar disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang bertugas di malam
hari dan yang bertugas di siang hari).
2.
Sunnah
Suatu
perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak
berdosa. Atau bisa
anda katakan sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak
wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa.
3.
Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak
boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
4.
Makruh
Arti
makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu
ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan.
Atau meninggalkannya
lebih baik dari pada melakukannya.
5.
Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau
sering kali juga disebut halal. Satu
perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya
atau tidak mengerjakannyaatau segala
sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya
tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
IV. HAKIM
A.
Pengertian
hakim
Bila
di tinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti, yaitu:
Pertama: ‘’pembuat
hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:
“yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Hakim termasuk persoalan yang cukup
penting dalam ushul fiqih, sebab berkait dengan pembuat hukum dalam syariat
islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan
dosa bagi pelanggarnya.
Dalam
ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Dari
pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalah
Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu satunya Sumber hukum yang di titihkan
kepada seluruh mukalla. Dalam islam, tidak ada syari’at kecuali dari Allah SWT.
Bakaitan dengan hukum-hukum taklif(wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah),
maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal,
fasid, azimah, dan rukhsah).
Sedangkan dari pengertian kedua tentang
hakim di atas, ulama ushul fiqih membedakannya sebagai berikut:
1.
Sebelum
Muhammad SAW di angkat sebagi rasul.
Golongan
mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat nabi Muhammad belum di
angkat menjadi rasul adalah Allah SWT.
2. Setelah di angkatnya Muhammad sebagai rasul dan menyebarnya
dakwah islam.
Para
ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah
SWT. Yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
B.
Takhsin
dan Taqbih
Alhusnuadalah
segala perbuatan yang di anggap sesuaia dengan tabia’t manusia, misalnya tentang
rasa manis dan menolong orang yang celaka.
Sedangkan qabih adalah segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat, tabi’at manusia, misalnya menyakiti
orang lain.
BAB
III
SIMPULAN
DAN SARAN
A.
Simpulan
Kita sebagai orang mukallaf
yang menjadi subyek hukum(mahkum alaih) wajib mengetahui semua obyek
hokum(mahkum fih) yang terdapat di dalam syariat agama islam, dengan mengetahui
obyek hukum tersebut segala perbuatan yang akan kita lakukan menjadi terkontrol
dan terarah sesuai syariat ajaran islam yang telah di tentukan oleh Allah SWT
sehingga kehidupan kita selalu lurus pada koridor syariat agama islam. Mudah-mudahan
Allah SWT selalu menuntun langkah kita menuju jalan yang lurus yang sesuai
dengan syariat agama islam, Amiin.
B. Saran
Untuk
megetahui sejauh mana tentang ushul fiqih yang ada dalam syaria’t Islam.
Sehingga segala pebuatan yang akan di lakukan menjadi terkontrol dan
terarah seuai syari’at islam yang telah di tentukan oleh Allah SWT.
15
|
DAFTAR
PUSTAKA
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.
PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya
Jakarta
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya
Ramadan, Said, Islamic Law, It’s Scope and Equity,
alih bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991)
Lismanto
dalam Pembaharuan Hukum Islam
Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan
Lokal
16
|
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat,taufik dan hidayahNya kepada kita
sehingga kita masih diberi kenikmatan baik yang berupa kenikmatan jasmani
maupun kenikmatan yang paling utama yaitu iman dan islam, Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Beliau yang
telah menuntun kita dari zaman yang biadab menuju zaman yang beradab yakni
dengan ajaran agama Islam.
Alhamdulillah
akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah
Selanjutnya penulis
memohon kritik dan saran dari semua pihak untuk lebih sempurnanya makalah ini
dan penulis berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat, terutama bagi yang
membutuhkannya.
Tasikmalaya, September 2013
Penulis,
i
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………........ i
DAFTAR
ISI……………………………………………. ii
BAB
1 PENDAHULUAN……………………………....... 1
A. Latar
belakang......................................................... 1
B. Rumusan masalah................................................... 2
C. Tujuan penulisan..................................................... 2
D. Manfaat
.................................................................. 2
BAB
2 PEMBAHASAN....................................................... 3
A. MAHKUM FIIH………………………………........ 3
- Pengertian Mahkum fih…………………………………. 3
- Syarat-syarat Mahkum fiih …………………………….. 4
- Al-musaqah……………………………………………… 6
- Macam-macam Mahkum fiih……………………………. 6
B. MAHKUM A’LAIH……………………………....... 8
1. Pengertian Mahkum
a’laih……………………………... 8
2. Syarat Mahkum a’laih……………………………….… 8
3. Dasar Taklif…………………………………………… 8
4. Syarat-syarat
Taklifi………………………….………… 9
C. HUKUM…………………………………………... 10
1. Pengertian
Hukum……………………………………….. 10
D. HAKIM…………………………………….............. 13
1. Pengertian
Hakim……………………..…………... 13
2. Takhsin dan
Taqbih…………………………….... 14
BAB 3 SIMPULAN DAN SARAN………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA………………………………...... 16
ii
|
MAKALAH
MAHKUM FIH MAHKUM ALAIH
HUKUM DAN HAKIM
( Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah)
Disusun oleh :
Fak.
/ Prodi
|
: Tarbiyah /
Pendidikan Agama Islam
|
|
Tingkat
/ Smt
|
: 1 / 1
|
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
TASIKMALAYA
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar