Ikhlas dalam Beribadah
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an)
dengan membawa kebenaran. Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya.”(Az-Zumar: 2).
Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang hamba
dalam beramal, agar amalnya diterima oleh Allah, adalah ikhlas. Apa yang
dimaksud dengan ikhlas? Bagaimana kita dapat melatih diri kita agar senantiasa
ikhlas dalam beramal? Kiranya pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk kita
ketahui jawabannya agar amal-amal kita dapat memenuhi syarat untuk diterima
oleh Allah. Oleh karena itu marilah kita mencoba mencari jawabannya dari
madrasah keikhlasan para tabi’in yang, sebagaimana rasul kita sabdakan,
merupakan generasi terbaik setelah shahabat.
Definisi Ikhlas
Ikhlas, sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in yang
bernama Al-Junaid, adalah “Rahasia antara Allah dan hamba-Nya, tidak diketahui
malaikat sehingga menulisnya, atau setan sehingga merusaknya, dan juga hawa
nafsu sehingga mengganggunya.”
Atau sebagaimana dikatakan Ruaim bin Ahmad, “Ikhlas
adalah engkau tidak menengok apa yang telah engkau kerjakan.”
Sedangkan, Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ikhlas yaitu
memurnikan amalan dari perhatian makhluk, dan menjauhkannya dari perhatian
makhluk bahkan dari dirinya sendiri. Barangsiapa menganggap amalannya telah
ikhlas, maka keikhlasannya perlu keikhlasan lagi. Dikatakan pula bahwa ikhlas
adalah melupakan perhatian makhluk dengan selalu mencari perhatian Sang
Khalik.”
Madrasah Tabi’in
Para salafus saleh adalah madrasah keikhlasan. Dari
mereka kita bisa belajar dan menempa diri. Berikut akan penulis paparkan
beberapa contoh tabi’in menjaga keikhlasannya dalam beramal
A. Ibrahim bin Adham dalam Menjauhi Popularitas
Ibrahim bin Adham pernah berkata, “Tidaklah seorang hamba
jujur kepada Allah selama ia masih suka popularitas.”
Ibnul Jauzi berkisah tentang Ibrahim bin Adham, “Ibrahim
bin Adham adalah seorang yang terkeal di suatu daerah. Suatu ketika, ada
sekelompok orang mencarinya dan ditunjukkan bahwa ia berada di kebun Fulan.
Mereka pun berkeliling sambil mencarinya di kebun tersebut sambil berteriak,
“Dimanakah Ibrahim bin Adham? Dimanakah Ibrahim bin Adham? Dimanakah Ibrahim
bin Adham?” Beliau (Ibrahim bin Adham) pun ikut berkeliling sambil berteriak,
“Dimanakah Ibrahim bin Adham?”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Ibrahim bin Adham adalah
orang yang suka merahasiakan amalnya. Tidak pernah aku melihatnya menampakkan
tasbih atau kebaikan sedikit pun.”
B. Abdullah bin Mubarak dalam Menyembunyikan Amal
Abdah bin Sulaiman mengisahkan, “Aku pernah bersama
Abdullah bin Mubarak dalam sebuah peperangan di dareah Romawi, dan kami bertemu
dengan musuh. Ketika kedua pasukan berhadap-hadapan, keluarlah seseorang dari
barisan musuh menantang duel. Maka keluarlah salah seorang dari kami. Dalam
beberapa saat saja dia berhasil mengalahkan musuh, menikam, dan membunuhnya.
Kemudian keluar lagi satu dari mereka dan dia berhasil membunuhnya. Kemudian
datang lagi yang lain dan dia berhasil lagi membunuhnya.
Orang-orang pun berkerumun di sekeliling laki-laki
tersebut dan aku termasuk salah seorang dari mereka. Namun, tiba-tiba lelaki
tersebut menutupi mukanya dengan lengan bajunya. Maka aku memegang ujung lengan
bajunya dan menariknya. Ternyata laki-laki tersebut adalah Abdullah bin
Mubarak. Maka ia berkata, ‘Dan engkau, wahai Abu Amru, termasuk orang yang
menjelekkaknku’.
Marilah kita renungkan ucapan beliau di atas. Beliau
menganggap kalau amalnya dilihat orang adalah suatu kejelekan padahal beliau
telah berusaha keras menyembunyikannya.
C. Menyembunyikan Ibadah dengan Menampakkan Aktivitas
Lain
Ini adalah cara lain untuk dapat menjaga keikhlasan kita
dalam beramal. Yaitu dengan menampakkan aktivitas lain setelah mengerjakan
suatu ibadah untuk lebih menyembunyikan amalnya. Abu Tamim bin Malik
mengisahkan:
“Adalah Mansur bin Al-Mu’tamir, apabila shalat subuh ia
menampakkan kebugaran kepada sahabat-sahabatnya (seakan-akan baru bangun
tidur). Ia berbicara dengan mereka dan bolak-balik kepada mereka, padahal semalaman
ia bangun untuk mendirikan shalat. Ia lakukan semua itu untuk menyembunyikan
apa yang telah ia kerjakan.”
Begitu pula Abu Ayyub as-Sakhtiyani, beliau bangun shalat
semalaman kemudian menyembunyikannya. Apabila datang waktu subuh, beliau
mengangkat suaranya seakan-akan baru bangun.
Para tabi’in mengajarkan keikhlasan bukan hanya kepada
diri mereka sendiri, tetapi juga kepada para pengikut mereka. Sebagai contoh,
Raja’ bin Haiwah ketika melihat salah seorang dari muridnya mengantuk setelah
subuh, beliau mengingatkannya, ‘Hati-hati, jangan sampai mereka mengira kalau
ini karena pengaruh bangun malam’.
Demikianlah beberapa contoh kisah dari tokoh-tokoh
tabi’in dalam menyembunyikan amal-amal mereka. Mereka melakukan hal ini tidak
lain hanyalah untuk dapat menjaga keikhlasan mereka dalam beramal. Sebagai
penutup, ada sebuah nasihat yang ditulis As-Samarqandy dalam bukunya Tanhibul
Ghaifilin, “Belajarlah keikhlasan dari penggembala kambing.apabila ia shalat di
sekitar kambing-kambingnya, ia tidak mengharapkan pujian dari kambingnya.
Begitu pula hendaknya seseorang dalam beramal. Jangan peduli dengan orang-orang
yang melihatnya, sehingga selalu beramal ikhlas karena Allah. Baik ketika
bersama manusia maupun ketika sendiri, semua sama saja, dan tidak mengharapkan
pujian dari manusia.
Sumber: Tarbiyah Ruhiyah Ala Tabi’in karangan Asyraf
Hasan Thabal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar